THE GENERAL AGREEMENT ON TARIFFS AND TRADE (GATT) SEBAGAI
ORGANISASI EKONOMI INTERNASIONAL
Oleh : Budi Harman, SH.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.
The
General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) atau (Persetujuan Umum Mengenai Tarif Perdagangan) adalah suatu
perjanjian internasional yang sejarah lahirnya bertepatan dari sejarah lahirnya
ITO (Internasional Trade Organization).
Tujuannya antara lain sebagai forum yang membahas dan mengatur masalah
perdagangan dan ketenagakerjaan internasional. GATT sendiri merupakan bagian
dari perjanjian internasional di bidang perdagangan internasional yang mengikat
lebih dari 120 negara. Keseluruhan negara memainkan peranan sekitar 90 persen
dari produk dunia.
Tujuan dari persetujuan ini adalah untuk
menciptakan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi
masyarakat bisnis, serta suatu iklim perdagangan internasional, serta untuk
menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan di dalam penanaman
modal, lapangan kerja dan penciptaan iklim perdagangan yang sehat. Dengan
tujuan demikian, sistem perdagangan yang diupayakan GATT adalah sistem yang
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di seluruh dunia.[1]
Dasar pemikiran penyusunan GATT adalah
kesepakatan yang memuat hasil-hasil negosiasi tarif dan klausul-klausul
perlindungan (protektif) guna
mengatur komitmen tarif. GATT karenanya dirancang sebagai suatu persetujuan
tambahan yang posisinya dibawah piagam ITO. Tetapi tidak dirancang sebagai
organisasi internasional. Menyadari piagam ITO tidak diratifikasi oleh negara
pelaku utama perekonomian dunia, negara-negara mengambil inisiatif untuk
memberlakukan GATT melalui “Protocol of
Provisional Appliacation” (PPA) yang ditandatangani oleh 22 negara anggota
asli GATT pada akhir tahun 1947. sejak itulah GATT kemudian diberlakukan dan
perjalanan sejarah menunjukkan GATT bahkan berubah menjadi organisasi
internasional.
GATT menyelenggarakan putaran-putaran
perundingan untuk membahas isu-isu perdagangan dunia. Sejak berdiri tahun 1947,
GATT telah menyelenggarakan 8 (delapan) putaran putaran terakhir di Uruguay Round
berlangsung dari 1986 – 1994 yang dimulai dari kota Jenewa, Swiss.[2]
Oleh karena merupakan organisasi internasional.
GATT membentuk struktur kelembagaan yang ditetapkan dalam konferensi-konferensinya.
Yaitu, membentuk Sekretariat (di Jenewa, Swiss), Sekretariat Eksklusif (yang
kemudian diganti menjadi Direktur Jenderal), Komisi dan Consultative group yang
semua berfungsi melaksanakan dan membahas masalah – masalah yang timbul dalam
perundingan konferensi GATT.[3]
Tujuan utama GATT dapat dilihat pada
Preambulenya. Pada pokoknya ada empat tujuan yang hendak dicapai GATT, yaitu :
1.
Meningkatkan taraf
hidup manusia;
2.
Meningkatkan
kesempatan kerja;
3.
Meningkatkan
Pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan
4.
Meningkatkan produksi
dan tukar – menukar barang.
Dalam mencapai tujuan, GATT memiliki 3 (tiga)
fungsi utama; pertama, sebagai suatu
perangkat ketentuan-ketentuan aturan Multilateral yang mengatur tindak tanduk
perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan perangkat
ketentuan perdagangan (The rules of the
road for trade). Kedua, sebagai
suatu forum atau wadah perundingan-perundingan perdagangan. Disini diupayakan
agar praktek perdagangan dapat dibebaskan dari rintangan – rintangan yang
menganggu liberalisasi perdagangan. Dan aturan atau prkatek perdagangan yang
demikian menjadi jelas, baik melalui pembukaan pasar nasional atau melalui
penegakan dan penyebarluasan pemberlakuan peraturannya. Ketiga, GATT adalah sebagai pengadilan internasional dimana para
anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota – anggota GATT
lainnya.
B.
Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka penulis
merumuskan masalah tentang Bagaimana
terbentuknya GATT itu Sendiri, sehingga menjadi sebuah Organisasi Perdagangan
Internasional ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah GATT.
GATT dibentuk sebagai wadah yang sifatnya
sementara setelah Perang Dunia II. Pada masa itu timbul kesadaran masyarakat
internasional akan perlunya suatu lembaga multilateral disamping Bank Dunia dan
IMF. Kebutuhan akan adanya suatu lembaga multilateral yang khusus ini pada
waktu masyarakat internasional menemui kesulitan untuk mencapai kata sepakat
mengenai pengurangan dan penghapusan berbagai pembatasan kuantitatif serta
diskriminasi perdagangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terulangnya praktek
proteksionalisme yang berlangsung pada tahun 1930 – an yang sangat memukul
perekonomian dunia.
Negara-negara yang pertama kali bergabung menjadi
anggota adalah 23 (dua puluh tiga) negara. Negara-negara ini membuat dan
merancang piagam organisasi perdagangan internasional (International Trade Organization) yang pada waktu direncanakan
sebagai suatu badan khusus PBB. Dimana, isi piagam tersebut memuat aturan-aturan
dalam perdagangan dunia, ketenagakerjaan, praktek–praktek restriktif
(pembatasan perdagangan), penanaman modal internasional dan jasa.
Pertemuan penting diselenggarakan di Jenewa,
Swiss dari bulan April sampai November 1947. membuat rancangan piagam ITO. Perundingan–perundingan
bilateral berlangsung antara negara–negara komisi antara lain: Brazil, Ceylon,
Pakistan
dan Rhodesia Selatan. Kemudian pertemuan penting di Havana pada tanggal 21 November 1947 – 24
Maret 1948) bertambah menjadi 66 (enam puluh enam) negara bergabung untuk
membahas piagam ITO. Pertemuan berhasil mengesahkan piagam Havana. Namun, pertengahan tahun 1950,
negara–negara peserta menemui kesulitan dalam meratifikasinya. Hal ini
disebabkan karena Amerika Serikat, pelaku utama dalam perdagangan dunia, pada
tahun 1958, menyatakan bahwa negaranya tidak akan meratifikasi piagam tersebut.
Sejak itu pulalah ITO secara efektif tidak berfungsi sama sekali. Sehingga GATT
juga tidak berlaku.
Para perunding GATT mengeluarkan perjanjian internasional baru,
yaitu The Protocol of Provisional
Application. Sejak dikeluarkan protokol ini GATT tetap berlaku. Pada tahun
1954 – 1955, teks GATT mengalami perubahan penting yang terjadi pertama, dikeluarkannya Protokol yang
mengubah bagian 1 dan pasal XXIX dan XXX dan Protokol yang mengubah Preambule
dan bagian 2 dan 3. Pada tahun 1965, GATT mendapat tambahan bagian baru, yaitu
bagian ke empat. Bagian ini berlaku secara de
facto tanggal 8 Februari 1965 dan mulai berlaku efektif tanggal 27 Juni
1965. Bagian ini khusus mengatur kepentingan perluasan ekspor negara–negara
kurang maju (pasal XXXVI – XXXVIII).[4]
B.
Keanggotaan GATT.
Negara anggota GATT adalah anggota WTO. Perlu
dikemukan disini bahwa istilah anggota pada GATT bukan “member”, tetapi “Contracting
Party”. Hal ini merupakan konsekuensi dari status GATT yang sifatnya,
dengan meninjau sejarah berdirinya, “organisasi”.[5]
Cara menjadi anggota GATT diatur dalam Pasal
XXXIII GATT. Cara pertama, berlangsung dengan proses pengujian dan perundingan
yang panjang oleh Dewan GATT pada saat menerima permohonan aksesi. Badan ini
membuat putusan suatu kelompok kerja (working
party) yang bertugas menganalisa kebijakan perdagangan dan kemungkinan
kebijakan perdagangan negara pemohon di masa datang. Hasil dari perundingan
tersebut dilaporkan oleh kelompok kerja kepada Dewan. Persyaratan-persyaratan
yang disahkan Dewan kemudian menjadi bahan pemungutan suara yang mana 2/3 dari
semua anggota harus menyetujuinya. Pada tahap ini negara baru tersebut dapat
menanda tangani protokolnya dan untuk diratifikasi oleh perundang-undangan
nasionalnya.
Cara kedua lebih sederhana menjadi anggota GATT
diatur dalam Pasal XXVI, yaitu terhadap negara–negara yang menjadi negara
merdeka dari penjajahan dan yang telah menunjukkan kemandiriannya dalam melaksanakan
hubungan–hubungan komersial eksternalnya (luar negerinya).[6]
C.
Perjanjian Akhir Putaran Uruguay GATT.
Putaran Uruguay adalah putaran yang paling
kompleks dari 7 putaran yang ada sebelumnya yang dilaksanakan oleh 108 negara,
yang bukan saja merundingkan masalah-masalah tradisional seperti market access saja, akan tetapi lebih
luas dan juga membahas hal-hal baru dalam perdagangan sebagai akibat majunya
perdagangan dan perkembangan ekonomi yang cepat.
Ada 15 masalah yang dirundingkan, dan dari 15
masalah tersebut telah dihasilkan sebanyak 28 persetujuan yang disepakati dalam
putaran Uruguay, sebagaimana melaksanakan komitmen yang telah disepakati dalam
putaran Tokyo tahun 1979, terutama kesepakatan mengenai non tariff barier[7].
Selanjutnya, diadakan pertemuan tingkat menteri Contracting Parties GATT di Punta
del Este, Uruguay
pada tanggal 20 September 1986 untuk meluncurkan putaran perundingan
perdagangan multi lateral. Dari putaran ini terbentuk struktur perundingan,
terdiri dari tiga badan utama: (i) the
Trade Negotiation Committee (TNC) yang bertujuan untuk mengawasi seluruh
jalannya putaran perundingan; (ii) the
Group of Negotiation on Goods (GNG), yang bertujuan untuk mengawasi semua
subyek pembahasan kecuali jasa; (iii) the
Group of Negotiation of Service (GNS), yang bertujuan untuk mengawasi
perundingan di bidang jasa.[8]
Ada empat tujuan utama yang hendak dicapai dalam putaran Uruguay ini:
a.
Menciptakan
perdagangan bebas yang akan memberi keuntungan bagi semua negara khususnya
negara berkembang, memberi peluang bagi produk ekspor dalam memasuki pasar
melalui penurunan dan penghapusan tarif, pembatasan kuantitatif, dan
ganjalan-ganjalan tindakan non tarif lainnya;
b.
Meningkatkan peranan
GATT dan memperbaiki sistem perdagangan multilateral berdasarkan Prinsip-prinsip
dan ketentuan-ketentuan GATT yang efektif dan dapat dipaksakan;
c.
Meningkatkan
ketanggapan sistem GATT terhadap perkembangan situasi perekonomian dengan
mempelancar penyesesuaian struktural, mempererat hubungan GATT dengan
organisasi-organisasi internasional yang relevan mengingat prospek perdagangan
di masa yang akan datang, termasuk tumbuhnya produk-produk teknologi tinggi;
d.
Mengembangkan suatu
bentuk kerjasama pada tingkat nasional dan internasional untuk mempererat
hubungan antara kebijaksanaan perdagangan dengan kebijaksanaan ekonomi guna
memperbaiki sistem moneter internasional, arus aliran keuangan dan
sumber-sumber investasi ke negara sedang berkembang.
Pada waktu putaran Uruguay diluncurkan tahun1986, dan
direncanakan rampung tahun 1991, Arthur Dunkel seorang arsitek dari perjanjian
GATT Direkrtur Jenderal GATT, jauh-jauh hari sudah mengantisipasi
masalah-masalah hukum yang timbul. Insiatif ini berwujud dengan dikeluarkannya
rancangan Akhir Perjanjian Putaran Uruguay tahun 1991. baru pada bulan
Desember 1993 rancangan ini menjadi Perjanjian Akhir.
D.
Bentuk Perdagangan GATT
GATT selalu megupayakan terciptanya perdagangan
bebas dunia yang didasarkan pada ketentuan–ketentuan yang disepakati bersama.
Latar belakangnya dari suatu konsep keunggulan komparatif. Maksudnya, bahwa
negara menjadi makmur melalui konsentrasi terhadap produk apa yang bsia
diproduksi oleh negara tersebut dengan sebaik-baiknya. Untuk mendapatkan hasil
yang sebaik-baiknya itu, maka produk tersebut harus dapat menembus bukan saja
pasar dalam negeri tetapi juga pasar dunia.
Namun demikian, keberhasilan perdagangan
tersebut bersifat tidak langgeng. Kompetisi dalam produk tertentu dapat berdiri
antara satu negara dengan negara lain, perusahaan satu dengan perusahaan lain,
ketika terjadi perubahan di pasar terkait atau terciptanya teknologi baru yang
membuat satu produk menjadi lebih murah harganya dan lebih baik kualitasnya.
Kebijakan perdagangan seperti proteksi impor
atau subsidi dari pemerintah hanya akan membuat suatu perusahaan menjadi tidak
efektif, dan produk-produknya menjadi tidak menarik. Hal ini, pada akhirnya,
akan berakibat pada ditutupnya perusahaan tersebut, meskipun ada proteksi dan
subsidi yang diberikan kepada perusahaan itu. Secara keseluruhan, apabila
pemerintah terkait melaksanakan kebijakan perdagangan demikian maka pasar luar
negeri dan ekonomi dunia akan menyusut.
E.
Prinsip-Prinsip GATT.
Untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT
berpedoman pada lima
prinsip utama, yaitu[9]:
a.
Prinsip Most Favoured-Nation.
Prinsip ini merupakan
kebijakan yang menyatakan bahwa perdagangan dilaksanakan atas dasar
non-diskriminatif. Semua anggota terikat untuk memberikan perlakuan yang sama
terhadap negara-negara lain dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor
serta hal-hal yang menyangkut biaya-biaya lainnya.
Pendek kata, semua negara
harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan
dari suatu kebijakan perdagangan. Namun demikian, prinsip ini mendapat
pengecualian, khususnya dalam kepentingan negara yang sedang berkembang,
seperti pemberian preferensi-preferensi tarif dari negara-negara maju kepada
produk impor dari negara sedang berkembang atau negara-negara miskin dengan
pemberian fasilitas sistem preferensi umum (Generalised
System of Preferences).
b.
Prinsip National Treatment.
Produk dari satu negara
anggota yang diimpor ke dalam suatu negara lainnya harus diperlakukan sama
seperti halnya produk dalam negeri, baik dari segi pajak ataupun dari segi pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku pula
terhadap pengaturan perundang-undangan yang mempengaruhi penjualan, pembelian,
pengangkutan, distribusi, atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri.
c.
Prinsip Larangan
Restriksi (Pembatasan) Kuantitatif.
Restriksi kuantitatif
terhadap ekspor atau impor dalam bentuk apapun, misalnya penetapan kuota impor
atau ekspor, restriksi penggunaan lisensi impor atau ekspor, pengawasan,
pembayaran produk-produk impor atau ekspor, pada umumnya dilarang sesuai dengan
pasal IX GATT. Hal ini disebabkan karena praktek demikian bisa mengganggu
praktek perdagangan normal.
d.
Prinsip Perlindungan
melalui Tarif.
Pada prinsipnya, GATT hanya
memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif
(menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melakukan upaya-upaya perdagangan
lainnya (non tariff commercial measures).
e.
Prinsip Resiprositas.
Prinsip ini merupakan prinsip
fundamental dalam GATT. Prinsip ini
tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang
didasarkan kepada timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.
F.
Penyelesaian Sengketa menurut GATT.
Ketentuan GATT mengenai penyelesaian sengketa
ini, pertama-tama menekankan pada pentingnya konsultasi yang dilakukan di
antara para pihak yang bersengketa. Konsultasi tersebut bisa berupa perundingan
informal maupun formal seperti melalui saluran diplomatik.
Ada dua alternatif yang dapat dilakukan oleh
para pihak yang bersangkutan. Pertama, si termohon menerima dilakukannya
perdamaian, maka para pihak menyelesaikan sengketanya dalam keadaan damai, dan
dalam waktu 60 hari sejak permohonan
berkonsultasi diterima oleh pihak lainnya dikeluarkan putusan perdamaian
tersebut. Alternatif ke-dua, apabila si termohon menolak permohonan perdamaian
yang diajukan, maka pemohon dapat memohonkan suatu panel atau badan pekerja (working party) pada pengadilan GATT,
untuk menyelesaikan sengketanya.
Pembentukan panel ini dianggap sebagai upaya
terakhir suatu penyelesaian sengketa dalam GATT. Namun demikian, ketentuan GATT
masih mengizinkan para pihak untku bersepakat mencari alternatif penyelesaian
lainnya yang masih memungkinkan, yaitu jasa baik, konsiliasi, dan mediasi.
Ketiga bentuk alternatif itu pada pokoknya bersifat sama, yaitu mengundang
pihak ke-tiga yang netral untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Dalam kasus pisang antara masyarakat eropa (ME)
melawan negara-negara Amerika Latin, mereka menggunakan saluran jasa baik untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. ME dan negara-negara Amerika Latin sepakat
meminta Direktur Jendral GATT untuk menyelesaikan sengketa mereka.
Perkembangan lain yang lahir dari hasil
perjanjian dibolehkan upaya hukum banding, yaitu lembaga yang akan menerima
keberatan salah satu pihak dalam sengketa dan dibentuk panel yang terdiri dari
7 orang. Mereka bertugas selama 4 tahun. Setiap kali ada permohonan banding
maka 3 orang anggota akan menanganinya. Mereka adalah orang-orang yang diakui
otoritasnya, ahli dalam hukum perdagangan internasional dan masalah-masalah
GATT. Mereka adalah orang-orang privat atau swasta, yang tidak terikat oleh
tugas atau hubungan kerja apapun dengan pemerintahnya atau pemerintah tertentu.
Proses pemeriksaan banding tidak boleh lebih
dari 60 hari sejak para pihak memberi tahukan secara formal keinginannya untuk
banding. Hasil pemeriksaan dilaporkan dan disahkan oleh Badan Pemeriksa
Sengketa (BPS).
BAB III
PENUTUP
Tampaknya, dengan luasnya perubahan dan
penambahan ketentuan baru dalam GATT, perjanjian ini akan berdampak sangat luas
terhadap perkembangan hukum perdagangan internasional. Masalahnya sekarang
adalah bagaimana para pelaku kebijakan perdagangan dalam negeri memanfaatkan
peluang-peluang hukum yang diberikan oleh perjanjian GATT itu untuk memajukan
tingkat pertumbuhan ekonomi. Agar peluang
itu dapat efektif, pemahaman terhadap
isi perjanjian setebal 550 halaman itu merupakan sine qua non. Sesuatu yang
mau tidak mau harus dilakukan. Dengan adanya perubahan yang sangat besar dalam
hukum perdagangan global demikian itu, maka upaya mengidentifikasi
langkah-langkah implementasi perjanjian GATT dan Penyesesuaian produk – produk hukum nasional terhadapnya
harus segera dilaksanakan.
Daftar Pustaka
Agus Brotosusilo, Analisis
Dampak Yuridis Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia,
Makalah, Jakarta, 1995.
Alfonso Samosir, Sistem
Restrukturisasi Hubungan GATT dengan Blok-blok Perdagangan, Makalah,
Bandung, 1993.
Bambang Kesowo, Pokok-pokok
Catatan Mengenai Persetujuan TRIPs, Makalah, Jakarta, 1995.
Huala Adolf, Hukum
Ekonomi Internasional. Cetakan Ketiga, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.
Huala Adolf dan A, Chandrawlan. Masalah-masalah Hukum Perdagangan Internasional, Rajagrafindo
Persada,Jakarta, 1995.
Ida Bagus Wiyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis
Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000.
Narsif. Diktat
Hukum Ekonomi Internasional, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang,
2006.
Sudargo Gautama, Masalah-masalah,
Perjanjian, Hukum Perdata Internasional, Alumni, Bandung, 1986.
[1] Bambang
Kesowo, Pokok-pokok Catatan Mengenai Perstujuan TRIPs, Makalah,
Jakarta, 1995, hlm. 3.
[2] Huala
Adolf, Hukum Ekonomi Internasional. Cetakan Ketiga, Rajagrafindo
Persada, Jakarta, 2002, hlm. 104-105.
[3] Narsif, Diktat Hukum Ekonomi Internasional,
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang,
2005, hlm. 96.
[4] Ida
Bagus Wiyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis
Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm. 74-76.
[5] John H.
Jackson, dalam Haula Adolf, Op. Cit., hlm. 108.
[6] Huala
Adolf dan Chandra Wulan. A, Masalah-masalah
Hukum dalam Perdagangan Internasional,
Rajagrafindo Persada, Jakarta,
1995, hlm. 95-97.
[7] Alfonso
Samosir, Sistem Restrukturisasi, Hubungan
GATT dengan Blok-blok Perdagangan, Makalah Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran, Bandung, 1993, hlm. 13.
[8] Ibid
[9] Agus
Broto Susilo, Analisis Dampak Yuridis
Ratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, Makahal,
Jakarta, 1995, hlm. 4-7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar