AKAD
SALAM DALAM PERBANKAN SYARIAH
Oleh Budi Harman, SH.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Kegiatan yang dilakukan perbankan syariah antara lain adalah penghimpunan
dana, penyaluran dana, membeli, menjual dan menjamin atas risiko serta
kegiatan-kegiatan lainnya. Pada perbankan syariah, prinsip jual beli dilakukan
melalui perpindahan kepemilikan barang (transfer of property). Tingkat
keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi salah satu bagian harga atas
barang yang dijual. Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk
pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti murabahah, salam dan
istishna’.
Pada makalah ini akan dibahas jenis jual-beli “SALAM” saja. Namun
sebelum membahas lebih detil, akan dijelaskan dulu landasan kebolehan jual beli
secara kredit dan perkembangan akad jual beli di perbankan syariah Indonesia
secara umum.
Allah telah
berfirman dalam Al-Quran surat Al Baqarah ayat 275 yang artinya :
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS.
Al-Baqarah 2:275).
Firman ini telah menjadi dalil bagi kebolehan jual beli secara umum dan
salah satu adalah jual beli dengan cara salam, yaitu akad pemesanan suatu
barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada
saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan dengan akad ini kedua
belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur tipu-menipu atau gharar
(untung-untungan).
Pembeli (biasanya) mendapatkan keuntungan berupa jaminan untuk
mendapatkan barang sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia
inginkan.Sebagaimana ia juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila
dibandingkan dengan pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang
tersebut.Sedangkan penjual juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar
dibanding pembeli, diantaranya penjual mendapatkan modal untuk menjalankan
usahanya dengan cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan
mengembangkan usahanya tanpa harus membayar bunga.
Dengan demikian selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang
pembayaran tersebut untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban apapun.Penjual memiliki keleluasaan
dalam memenuhi permintaan pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara
transaksi dan penyerahan barang pesanan berjarak cukup lama.
Jual-beli dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh
Islam guna menghindari riba. Dan mungkin ini merupakan salah satu hikmah
disebutkannya syari'at jual-beli salam sesuai larangan memakan riba.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah: Apa sesungguhnya yang
dimaksud dengan Akad Salam dan bagaimana aplikasinya dalam perbankan syariah ?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk mengetahui Akad
Salam dan aplikasinya dalam perbankan Syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN BAI’ AS-SALAM
Secara
bahasa, salam adalah al-i'tha dan
at-taslif. Keduanya bermakna pemberian. Ungkapan aslama ats
tsauba lil al-khayyath bermakna : dia telah menyerahkan baju kepada
penjahit.
Sedangkan secara
istilah syariah, akad
salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: Jual-beli barang yang disebutkan sifatnya
dalam tanggungan dengan
imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam
tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan
kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam
boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara
tunai.
Secara
lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran
dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atauforward
buying atau future sale) dengan
harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas,
serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.[1]
Pengertian lainnya As
salam adalah akad atas suatu barang dengan criteria tertentu sebagai tanggungan
tertunda dengan harga yang dibayarkan pada majlis akad.[2]
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan
“penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij).
Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya
kebutuhan mendesak pada masing-masing
penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan
pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang.[3]
Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa
mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut
benar-benar tersedia.
B. LANDASAN SYARIAH
Landasan
syariah transaksi bai’ as-Salam
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
a. Al-Quran
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[4]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.[5]
Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan
utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang
utang-piutang dalam jual beli salam.
Dalam
kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan
transaksi bai’ as-Salam, hal ini
tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya
bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca
ayat tersebut.[6]
b. Al-Hadist
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun
dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka
hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu."
Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan
sesuatu."
Abdurrahman
Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima
harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah
beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum,
sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa
tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka
mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada
mereka. (HR. Bukhari).[7]
Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin
Syadad bin Haad pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu
mereka utus saya kepada Ibnu Abi Aufa.Lantas saya tanyakan kepadabya perihal
iti.Jawabnya.‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar,
pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma.
Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga.(Bukhari).[8]
Dari
berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salamdiperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.
C. RUKUN BAI’ AS-SALAM
1. Muslam (pembeli) adalah pihak yang
membutuhkan dan memesan barang.
2. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak
yang memasok barang pesanan.
3. Modal atau uang. Ada pula yang
menyebut harga (tsaman).
4. Muslan fiih adalah barang yang
dijual belikan.
5. Shigat adalah
ijab dan qabul.
D. SYARAT
JUAL BELI SALAM
Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah sebagai
berikut:[10][15]
1. Pihak-pihak yang
berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2. Barang yang dijadikan
obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3. Modal atau uang
disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika
berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan
di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek
riba melalui mekanisme Salam.pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan
utang penjual.
4. Ijab dan qabul harus
diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat
memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli
salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat
barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua
belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa akad salam yang
sah harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih.
1. Syarat-syarat In’iqad
a.
Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang
telah disebutkan.
b.
Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan
harta. Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam merupakan transaksi harta benda, yang hanya
sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan harta, sepertihalnya akad
jual beli.
2. Syarat Sah Salam
a. Pertama,
pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat
kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan pembayaran
salam ditangguhkan,terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli utang dan
piutang, jikaharga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung
gharar.
b.
Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat
penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak
maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima
pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan
sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau layak dijadikan tempat penyerahan barang
tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.
3. Syarat Muslam Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang
pesanan, yaitu sebagai berikut:
a.
Pertama, barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan
sifatnya. Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya
dengan barang lain dan tentu mempunyai
fungsi yang berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum,jagung putih, jagung
kuning dan jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan
barang-barang langka tidak dapat dijadikan barang jual beli salam. Penyebutan karakteristik tersebut sangat
perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b.
Kedua, barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan
takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang
dapat diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan
yang tidak dapat diukur dengan takaran.
‘Abdullah ibn Mas‘ud melarang adanya kontrak
salam pada binatang. Tetapi ‘Abdullah ibn ‘Umar membolehkannya jikapembayaran
ditentukan pada waktu yang telah disepakati.Hal ini menunjukkan bahwa para
sahabat terus mengizinkan praktek penjualan di muka.
c.
Ketiga, barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi
tanggungan).
d.
Keempat, barang pesanan dapat
diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan. Barang yang sulit diserahkan tidak
boleh diperjual belikan, karena itu dilarang alam akad salam.[11]
Hal-hal lain yang terkait
dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:[12]
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1
DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a)
Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
i. Alat
bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat;
ii. Dilakukan
saat kontrak disepakati (inadvance); dan
iii. Pembayaran
tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli
mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan
harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar
utang Anda yang dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang
memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad
salam tersebut.
i. Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui
sebagai utang;http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5106813058403322940
iii. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan ber-
dasarkan kesepakatan;
iv. Pembeli
tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh).
Ini prinsip dasar jual beli; dan
v. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis
sesuai kesepakatan.
c)
Penyerahan Barang sebelum Tepat Waktu:
i. Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan
kuantitas yang disepakati;
ii. Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih
tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga;
iii. Jika penjual
menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya,
maka pembeli tidak boleh meminta pengurangan harga (diskon); dan
iv. Penjual
dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat:
kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut
tambahan harga.
Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat
pada waktu penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya,
maka pembeli memiliki dua pilihan:
1. Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
2. Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak
merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka
persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga
memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian sengketa.Tetapi jika lembaga ini yang
dipilih dan disepakati sejak awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama.
Menentukan Waktu Penyerahan Barang
Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha
memiliki pendapat berikut:
a. Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk
beberapa penundaan,selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual
meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam
Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal dan
jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapibelum menyerahkan barang yang
dijual kepada pembeli,barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan pembeli
yang ada di tangan penjual.
b. Menurut
Syafi’i salam dapat segera dan tertunda.
c. Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.
E. SALAM
PARALEL
1. Pengertian
Salam paralel yaitu melaksanakan dua transaksi bai’ as-Salam
antara bank dengan nasabah, dan antara bank dengan pemasok (supplier)
atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Dewan Pengawas
Syariah Rajhi Banking & Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang
membolehkan praktek salam paralel dengan syarat pelaksanaan
transaksi salam kedua tidak tergantung pelaksanaan akad salam yang pertama.
Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam
paralel terutama jika perdagangan dan
transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan
menjurus kepada riba.
2.
Ketentuan
Umum
a. Pembatalan kontrak
Pembatalan kontrak dengan pengembalian uang pembelian, menurut jumhur
ulama, dimungkinkan dalam kontrak salam. Pembatalan
penuh pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai ganti
pembayaran kembali seluruh modal salam yang
telah dibayarkan. Demikian juga pembatalan sebagian penyerahan barang dapat
dilakukan dengan mengembalikan sebagian modal.
b.
Penverahan muslam
fihi sebelum atau pada waktunva.
Muslam ilaih harus menyerahkan muslam
fihi tepat pada waktunya dengan kualitas dan kuantitas sesuai
kesepakatan.Jika muslam ilaih menyerahkan muslam
fihi dengan kualitas yang lebih tinggi, muslam harus
menerimanya dengan syarat bahwa muslam ilaih
tidak meminta harga yang lebih tinggi sebagai ganti kualitas yang lebih baik
tersebut.
Jika muslam
ilaih mengantar muslam fihi dengan kualitas lebih rendah,
pembeli mempunyai pilihan untuk menolak atau menerimanya.Para ulama berbeda
pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih
menyerahkan muslam
fihi yang berbeda dari yang telah disepakati.
Muslam
ilaih dapat menyerahkan muslam fihi
lebih cepat dari yang telah disepakati, dengan beberapa syarat:
a)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi telah disepakati.
b)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih tinggi dari
kesepakatan.
c)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih rendah dari
kesepakatan.
d)
Jika semua atau sebagian muslam fihi
tidak tersedia pada waktu penyerahan, muslam
mempunyai dua pilihan. Pertama, membatalkan kontrak dan meminta kembali
uangnya. Kedua, menunggu sampai muslam fihi
tersedia.
3.
Perbedaan Bai’ as Salam dengan Ijon
Banyak orang
yang menyamakan bai’ as salam dengan ijon Padahal, terdapat
perbedaan besar di antara keduanya. Dalamijon, barang yang dibeli tidak diukur
atau ditimbang secara jelas dan spesifik.Demikian
juga penetapan harga beli, sangat tergantung kepada keputusan sepihak si
tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya
lebih lemah. Sedangkan transaksi bai 'as salam
mengharuskan adanya 2 hal:
a. Pengukuran
dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadits Rasulullah
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. "Barangsiapa melakukan
transaksi salaf (salam), maka hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas,
timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula."
b.
Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama
dalam penyepakati harga. Allah berfirman: "Kecuali
denganjalanperniagaanyang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian."
(Q.S. An Nisa: 29).
Untuk memastikan
adanya harga yang “fair” ini pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan
pembinaan.
Contoh
Ijon:
Pembeli membeli beras yang saat itu
masih belum dipanen sebanyak satu hektar, dan diantar pada saat panen.
Contoh Bai’ as Salam:
Pembeli membeli padi sebanyak satu
ton padi dari petani yang diantar pada waktu panen.
Pada contoh ijon
terdapat spekulasi yang akan merugikan salah satu pihak. Jika pembeli
memperkirakan hasil panen sebanyak lima ton dan membayar seharga itu, sedangkan
kenyataannya menghasilkan tujuh ton, maka petani merugi. Ia tidak bisa
menikmati duaton kelebihannya. Tetapi sebaliknya, jika hasilnya hanya tiga ton
maka pembeli yang merugi karena telah membayar seharga lima ton.
Pada contoh bai'
as salam, petani hanya menjual sebagian dari produknya. Kalau
terjadi gagal panen, ia hanya wajib menyediakan padi sebanyak yang dapat
dipenuhinya.
4.
Aplikasi dalam Perbankan
Bai’
as
salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan
jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank
adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak bemiat untuk
menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory,
maka dilakukan akad bai’as salam kepada pembeli kedua, misalnya
kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan
Islam dikenal sebagai salam paralel.
Bai
’ as salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang
industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut
sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan
garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut.Hal itu berarti bahwa
bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayamya pada waktu pengikatan
kontrak.Bank kemudian mencari pembeli kedua.Pembeli tersebut bisa saja rekanan
yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut Bila garmen itu telah
selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut.Rekanan
kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
5.
Risiko
dan Manfaat
Berdasarkan
sifatnya yang paralel, bai'as salam mengandung risiko berdasarkan
sifatnya yang simultan, salam paralel memiliki beberapa manfaat dan
risiko yang harus diantisipasi oleh bank syariah, di antaranya:
a.
Default.Jika
pemasok tidak bisa mendatangkan barang yang dipesan karena lalai atau menipu.
Maka, bank tidak bias memenuhi barang yang diminta oleh pembeli.[13]
b.
Tak terjual, bank tidak bisa mencari pembeli dari barang salam.
Hal terjadi jika pemasok mengantarkan barang yang tidak sesuai dengan
kesepakatan saat kontrak.
c.
Harga, harga barang ketika diantar lebih rendah dari harga yang
disepakati dengan penjual saat kontrak.
Manfaat bai’as
salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga
jual kepada pembeli.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Salam berasal dari kata As salaf yang artinya pendahuluan karena
pemesan barang menyerahkanuangnya di muka.Para fuqaha menamainya al mahawi’ij(barang-barang
mendesak) karenaia sejenis jual beli yang dilakukan mendesak walaupunbarang
yang diperjualbelikan tidak ada tempat.”Mendesak”,dilihat dari sisi penjua,ia
sangat membutuhkan barang tersebut dikemudian hari sementara dari sisi
penjual,ia sangat membutuhkan uang tersebut.
Salam dapat didefenisikan sebagai
transaksi atau akad jual beli dimana barang yang diperjualbelikan belum ada
ketika transaksi dilakukan,dan pembeli melakukan pembayaran dimuka sedangkan
penyerahan barang baru dilakukan di kemudian hari.PSAK 103,mendefinisikan salam
sebagai akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) dengan pengiriman
dikmudian hari oeh penjual (muslam
alaihi) dan pelunasannya dilakukan oleh pembeli (al muslam) pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat
tertentu.
2. Rukun salam ada tiga,yaitu:
a.
Pelaku,terdiri
penjual (muslam alaih) dan pembeli (muslam)
b. Objekakad berupa barang yang akan
diserahkan (muslam alaih) dan modal
salam (ra’su maalis salam)
c. Ijab kabul/serah terima.
3. Jenis Akad salam
a.
Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang
diperjualbelikan belum ada ketika transaksi dilakukan,pembeli melakukan
pembayaran di muka,sedangkan penyerahan barang baru dilakukan dikemudian hari.
b. Salam
Paralel,artinya
melaksanakan dua transaksi salam yaitu antara pemesan pembeli dan penjual serta
antara penjual dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya.Hal ini
terjadi ketika penjual tidak memilki barang barang pesanan dan memesan kepada
pihak lain untuk menyediakan barang pesanan tersebut.
4. Berakhirnya akad salam di sebabkan karena
a. Barang yang dipesan tidak ada pada waktu
yang ditentukan.
b. Barang yang dikirim cacat atau tidak
sesuai dengan yang disepakati dalam akad.
c. Barang ang dikirim kualitasnya lebih
rendah,dan pembeli memilih menolak untuk membatalkan akad
d. Barang yang dikirim kualitasnya tidak
sesuai akad tetapi pembeli menerimanya.
e. Barangditerima.
B.
SARAN
Bahwa dalam perbankan syariah
banyak sekali jenis akad seperti Al Wadi’ah (titipan atau simpanan), Bagi hasil
(Al Musyarakah, Al Mudharabah), Jual Beli (Bai’ Al Murabahah, Bai’ As Salam),
sehingga sangat diperlukannya sosialisasi dari kalangan akademisi dan
pemerintah dalam memajukan dan memasyarakatkan ekonomi islam.
Dafrat Pustaka
Al-Qu’an al-Karim
Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam : Sejarah, Konsep,
Instrumen, Negara dan Pasar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.
Ascarya, Akad
dan Produk Bank Syariah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 90.
Abu Fahmi, Jual
Beli Salam, http://sanggelombang.wordpress.com/2010/12/02/jual-beli-salam/,
di akses tanggal 12 Mei 2014
Habiburrahman MuhZa,
Akad Salam, http://penabanten.blogspot.com/2011/06/akad-salam.html, di
akses tanggal 12 Mei 2014
Ibnu Hajar Al-‘Atsqolany. Bulughul Maram min Adillatil ahkam, Mutiara Ilmu, Surabaya, 2011.
Ibrahim bin Fatih bin Abd Al-Muqtadir, Uang Haram, Amzah, Jakarta, 2006, hal.
21.
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan, Jakarta, 2006.
Nurul Huda dan Muhammad Haekal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, Kencana,
Jakarta, 2010.
Rahmat Syafe’i, Fiqih
Muamalah, Pustaka Setia,
Bandung, 2004.
Veithzal Rivai. dkk, Islamic Bussiness and Economic Ethics: Mengacu pada Al-Qur’an dan
Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi, Bumi Aksara, Jakarta, 2012.
Wahbah Zuhaili. Fiqih
Imam Syafi’i, Almahira, Jakarta, 2008.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 05/DSN-MUI/IV/2000
tentang Jual Beli Salam
[2] Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam : Sejarah, Konsep, Instrumen, Negara
dan Pasar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, Hal. 259.
[5] Al-Qu’an
al-Karim, surat Albaqarah ayat 282
[6] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana
Ulama & Cendekiawan, Jakarta, 2006, hal. 131
[7] Ibnu Hajar
Al-‘Atsqolany. Bulughul Maram min
Adillatil ahkam, Mutiara Ilmu, Surabaya, 2011, hal.382-383.
[8] Veithzal
Rivai. dkk, Islamic Bussiness and
Economic Ethics: Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW
dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi,
Bumi Aksara, Jakarta, 2012, hal. 357.
[12] Nurul Huda dan Muhammad Haekal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, Kencana, Jakarta,
2010, hal. 50.
[13] Habiburrahman MuhZa, Akad Salam,
http://penabanten.blogspot.com/2011/06/akad-salam.html, di akses tanggal 12 Mei
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar