PERANAN HAKIM DALAM MEDIASI
BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2008
Oleh BUDI HARMAN, SH.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagai
makhluk individu, seorang manusia selalu ingin berhubungan satu sama lain untuk
membentuk kerukunan, kedamaian satu sama lain saling membutuhkan dan mempunyai
kebutuhan masing-masing (zoon politicon) kesemuaannya ini membentuk
suatu hukum, dimana ada masyarakat disitu ada hukum ( Ibi Ius Ibi Societas
), lambat laun hukum itu berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan
membentuk perubahan sesuai dengan kebutuhan sosialnya dapat terpenuhi secara
maksimal.
Hukum adalah seperangkat
peraturan tertulis dan tidak tertulis apabila dilanggar akan mendapat sanksi.
Oleh sebab itu dengan adanya hukum akan melindungi hak dan kewajiban setiap
subjek hukum secara damai, sedangkan kedamaian itu sendiri adalah merupakan
keserasian antar ketertiban ( order ) dengan ketentraman[1]
Namun tidak jarang pula dalam kehidupan
manusia terjadi kesalah fahaman sehingga dapat menimbulkan terganggu hak nya
dan menimbulkan konflik. Konflik-konflik tersebut kadang dapat diselesaikan
lewat Pengadilan (Litigation ) maupun diluar Pengadilan ( Non
Litigation ).
Tidak selalu membawa perkara perdata dan
bisnis ke Pengadilan bernilai negatif sebagaimana yang diissukan akhir-akhir
ini, bahkan sebaliknya mengajukan perkara kedepan pengadilan akan membentuk
substansi dan pelaksanaan negosiasi penyelesaian.[2]
Sebab dengan mengajukan gugatan kepengadilan, salah satu fungsi tugas dari
hakim yang berperan sebagai mediator akan memperoleh informasi yang nyata dan
tatap muka langsung dengan para pihak. Proses perkara perdata dipengadilan
merupakan proses pencarian fakta dan informasi dari kedua belah pihak, sebagai
hakim yang berperan sebagai mediator atau pihak ketiga yang netral, akan
menuntun memperhatikan dan menilai secara wajar terhadap pendapat-pendapat dari
kedua belah pihak dan apabila terjadi kesepakatan akan dituangkan dalam satu
putusan yang isinya menegaskan secara hukum tentang hak dan kewajiban para
pihak.
Oleh sebab itu pengajuan
perkara perdata dan bisnis ke pengadilan tidak harus diakibatkan karena
buntunya atau gagalnya mencari solusi problem yang dinegosiasikan, malah
terkadang dengan prediksi yang akurat pihak penggugat menempuh jalan melalui
gugatan kepengadilan. Keadaan semacam ini banyak dilakukan pihak penggugat
kapada tergugat dan hasilnya ternyata juga baik, karena isi gugatan tersebut
untuk membangkitkan shock therapy kepada diri tergugat untuk bernegosiasi.[3]
Salah satu fungsi hakim sebagai
mediator wajib memanggil kedua belah pihak, baik secara pribadi (in person) atau
melalui kuasanya duduk mendengar bersama kompromi menyelesaikan masalah dengan
baik dan menuangkan pendapat masing-masing dalam kesepakatan.[4]
Walaupun ada anggapan dari masyarakat perkotaan berperkara kepengadilan membuat
orang kecewa, karena hakim selalu jauh dari masyarakat miskin dalam menerapkan
keadilan dan hukum selalu dekat pada orang-orang kuat dan berduit.[5]
Arah politik hukum pemerintah
Indonesia untuk mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif sebagai salah
satu strategi penyelesaian sengketa sudah jelas. Beberapa Undang-Undang dan
Surat Edaran dan Peraturan Mahkamah Agung RI, telah memberikan tempat
penyelesaian sengketa alternatif sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa
di Indonesia.[6]
Untuk penerapan penyelesaian
sengketa alternatif di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, kemudian Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 2002 tanggal 30 januari 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai, dan Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2003 Tentang Proses Mediasi Menyelesaikan
Perkara Perdata di Pengadilan (Court-Connented ADR) yang telah direvisi
oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Bertitik
tolak dari latar belakang ini, maka timbul keinginan kami untuk menganalisa
dalam sebuah makalah yang berjudul “PERANAN HAKIM DALAM MEDIASI BERDASARKAN
PERMA NO. 1 TAHUN 2008”.
B. Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas serta
dianalisis dengan bertitik tolak pada peraturan-peraturan yang berlaku, teori,
pendapat para sarjana, serta asas-asas hukum guna melengkapi pembahasan secara
lengkap dan menyeluruh.
Adapun
permasalahan yang akan angkat didalam makalah ini adalah Bagaimana peranan
hakim dalam mediasi berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008?
C. Tujuan
dan Manfaat Penulisan
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adalah : untuk mengetahui tentang peranan hakim dalam
mediasi berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008.
Sedangkan
manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah : kiranya dapat
bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu
pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang
berhubungan dengan peranan hakim dalam mediasi berdasarkan PERMA No. 1 tahun
2008.
B A B
II
PEMBAHASAN
Di pengadilan, penyelesaian
perkara perdata dimulai
dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang
berwenang dan dalam pemeriksaan di persidangan juga harus memperhatikan surat
gugatan yang bisa diubah sebelum jadwal persidangan ditentukan oleh ketua
pengadilan atau oleh hakim itu sendiri, Apabila dalam pengajuan gugatan ke
pengadilan negeri dan gugatan dinyatakan diterima oleh pihak
pengadilan negeri, maka oleh hakim yang memeriksa perkara perdata, perdamaian
selalu diusahakan sebelum pemeriksaan perkara perdata dilakukan. Seperti yang
tercantum dalam pasal 130 HIR ayat (1) yang menyatakan :
Jika pada hari yang
telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri
dengan perantaraan ketuanya berusaha mencapai perdamaian antara kedua belah
pihak.
Hal ini dikuatkan dengan PERMA
No 1 tahun 2008 Tentang Mediasi, yang mewajibkan agar semua perkara yang
diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk diselesaikan melalui
perdamaian dengan bantuan mediator yang diatur dalam pasal 2, ayat (3) dan (4) PERMA
No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi yaitu:
(3) Tidak
menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran
terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan
putusan batal demi hukum.
(4) Hakim
dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan
telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator
untuk perkara yang bersangkutan.
Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008
menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata
yang diajukan ke Pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang diselesaikan
melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha. Perkara yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara perdata
yang menjadi kewenangan lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan agama.
Dalam
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008, pengertian mediasi disebutkan pada
Pasal 1 butir 6, yaitu: ”Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Di sini disebutkan kata
mediator, yang harus mencari ”berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa” yang
diterima para pihak.
Pengertian
mediator, disebutkan dalam Pasal 1 butir 5, yaitu: ”Mediator adalah pihak yang
bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam
mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa”. Para pihak akan mengambil
keputusan sendiri atas dasar negosiasi dengan pihak lawannya.
Sebagai pihak ketiga yang
netral, independen, tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak (secara langsung
melalui lembaga mediasi), mediator berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Walau demikian
dapat diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka
penyelesaian sengketa para pihak[7]
Didalam Pasal 6 ayat 4
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, dapat kita katakan bahwa Undang-undang membedakan mediator kedalam: pertama,
mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 ayat 3
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999). Kedua, mediator yang ditunjuk oleh
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk
oleh para pihak (Pasal 6 ayat 4 Undang-undang No. 30 Tahun 1999).[8]
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak yang
berperkara untuk menyelesaikan permasalahan untuk memperoleh kesepakatan guna
mengakhiri sengketa.
Pada
prinsipnya mediasi di lingkungan pengaadilan dilakukan oleh mediator yang
berasal dari luar pengadilan. Namun, mengingat jumlah mediator yang sangat
terbatas dan tidak semua pengadilan tingkat pertama tersedia mediator, maka
Perma ini mengizinkan hakim menjadi mediator. Hakim yang menjadi mediator
bukanlah hakim yang sedang menangani perkara yang akan dimediasikan, tetapi
hakim-hakim lainnya di Pengadilan tersebut. Mediator nonhakim dapat berpraktik
di pengadilan, bila memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah
mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat akreditasi
Mahkamah Agung RI (Pasal 5 Ayat (1) Perma).
Mediasi sebagai bagian dari
proses beracara di pengadilan mengikat hakim. Hakim mewajibkan para pihak untuk
menempuh mediasi pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri oleh para
pihak. Mengingat pentingnya mediasi dalam proses beracara, maka ketidak hadiran
tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. Hakim atau kuasa hukum berkewajiban mendorong para pihak untuk
berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Adanya kewajiban menjalankan
mediasi, membuat hakim dapat menunda proses persidangan perkara. Dalam
menjalankan mediasi, para pihak bebas memilih mediator yang disediakan oleh
pengadilan atau mediator di luar pengadilan. Untuk memudahkan memilih mediator,
ketua pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5
(lima) nama mediator yang disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman
para mediator. Ketua Pengadilan
tiap tahunnya selalu mengevaluasi mediator dan
memperbaharui daftar mediator. (Pasal
9 Ayat (7) Perma). Bila para pihak yang memilih mediator hakim, maka para pihak tidak dipungut biaya apa pun,
sedangkan bila memilih mediator non hakim, maka uang jasa ditanggung bersama para pihak
berdasarkan kesepakatan.
Dalam Pasal 11 PERMA No. 1
Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak diwajibkan oleh hakim pada sidang
pertama untuk memilih mediator atau 2 (dua) hari kerja sejak hari pertama sidang. Para pihak segera menyampaikan mediator
terpilih kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim memberitahukan
mediator untuk melaksanakan tugasnya. Bila dalam masa 2 (dua) hari sejak sidang
pertama, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator, maka para pihak
wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada mejelis hakim, dan
ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang
bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.
Proses mediasi dapat
berlangsung selama 40 (empat puluh) hari sejak mediator dipilih oleh para pihak
atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, masa
proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari sejak
berakhirnya masa 40 (empat puluh) hari. Selama proses mediasi berlangsung,
mediator berkewajiban menyiapkan jadwal mediasi, mendorong para pihak secara
langsung berperan dalam proses mediasi, dan bila dianggap perlu dapat melakukan
kaukus. Dalam proses mediasi, mediator dapat melibatkan ahli seorang
atau lebih untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu
menyelesaikan perbedaan pendapat para pihak. Pelibatan ahli atas dasar
persetujuan para pihak dan biaya untuk jasa ahli juga ditanggung oleh para
pihak berdasarkan kesepakatan mereka.
Perilaku mediator, yaitu taktik dan strategi apa yang akan ia
gunakan, ditentukan oleh konteks mediasi, tujuan atau sasaran mediator, dan
persepsi mediator. Beberapa pilihan strategis bagi prilaku mediator adalah:
1.
Problem solving atau integrasi, yaitu usaha menemukan jalan keluar
“menang-menang”. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menerapkan
pendekatan ini bila mereka memiliki perhatian yang besar terhadap aspirasi
pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa jalan keluar menang-menang sangat
mungkin dicapai.
2.
Kompensasi atau usaha mengajak
pihak-pihak yang bertikai supaya membuat konsesi atau mencapai kesepakatan
dengan menjanjikan mereka imbalan atau keuntungan. Salah satu perkiraan
mengatakan bahwa mediator akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki
perhatian yang besar terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap
bahwa jalan keluar menang-menang sulit dicapai.
3.
Tekanan, yaitu tindakan memaksa
pihak-pihak yang bertikai supaya membuat konsesi atau sepakat dengan memberikan
hukuman atau ancaman hukuman. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator
akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang sedikit
terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa kesepakatan
yang menang-menang sulit dicapai.
4.
Diam atau inaction, yaitu
ketika mediator secara sengaja membiarkan pihak-pihak yang bertikai menangani
konflik mereka sendiri. Mediator diduga akan menggunakan strategi ini bila
mereka memiliki perhatian yang sedikit terhadap aspirasi pihak-pihak yang
bertikai dan menganggap bahwa kemungkinan mencapai kesepakatan “menang-menang”
tinggi.
Dalam
praktek, sebagai bagian dari proses mediasi, mediator berbicara secara tertutup
masing-masing pihak. Di sini mediator perlu membangun kepercayaan para
pihak yang bersengketa lebih dahulu. Banyak cara yang dapat dilakukan mediator
untuk menanamkan kepercayaan, misalnya dengan memperkenalkan diri melakukan
penelusuran kesamaan dengan para pihak. Kesamaan tersebut mungkin dari segi
hubungan kekeluargaan, pendidikan, agama, profesi, hobi, dan apa saja yang
dirasakan dapat memperdekat jarak dengan para pihak yang bersangkutan.
Ada banyak taktik
yang dapat dilakukan mediator ketika melakukan intervensi. Penggunaan taktik
mediasi amat tergantung pada aneka faktor dan suasana suasana. Contoh-contoh
taktik:
1.
mengusahakan supaya pihak-pihak yang
bertikai menerima mediasi
2.
mengusahakan supaya pihak-pihak yang
bertikai mempercayai mediator
3.
mengusahakan supaya pihak-phak yang
bertikai mempercayai proses mediasi.
4.
mengumpulkan informasi
5.
menjalin hubungan (rapport)
dengan pihak-pihak yang terlibat
6.
mengontrol komunikasi di antara
pihak-pihak yang bertikai (e.g. dengan caucus)
7.
mengidentifikasi masalah, isu,
posisi.
8.
menyeimbangkan hubungan kekuasaan
yang timpang
9.
membantu menyelamatkan muka
Cara
praktek itu tampaknya kemudian dituangkan dalam Perma No 01 tahun 2008.
Pasal 9 ayat (3) yang menyatakan: ”Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan
kaukus”. Pengertian kaukus disebutkan dalam Pasal 1 butir (4), yaitu:
”...pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak
lainnya. ”Pembicaraan atau diskusi-diskusi tersebut dilakukan tanpa adanya
prasangka. Semua harus terbuka dan tanpa tipu muslihat.
Mediator berkewajiban
menyatakan proses mediasi menemui kegagalan atau mencapai kesepakatan kepada
ketua majelis hakim. Mediasi dinyatakan gagal bila para pihak atau salah satu
pihak telah dua kali secara berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi
sesuai dengan jadwal pertemuanyang telah disepakati, atau telah dua kali
berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan yang sah. Jika
para pihak mencapai kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator
wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani
oleh para pihak dan mediator. Para pihak yang telah mencapai kesepakatan damai,
wajib menghadap kepada hakim, pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan
kesepakatan damai. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan damai kepada hakim
untuk dikuatkan dalam akta perdamaian.
Bila para pihak tidak mencapai
kesepakatan dalam masa 40 (empat puluh) hari sejak para pihak memilih mediator,
maka mediator wajib menyampaikan secara tertulis bahwa proses mediasi telah
gagal, dan memberitahukan kegagalan mediasi kepada hakim. Segera setelah
menerima pemberitahuan tersebut, maka hakim melanjutkan pemeriksaan perkara
sesuai dengan ketentuan hukum
acara yang berlaku.
Ada beberapa jenis
tindakan mediator yang terbukti efektif terlepas dari situasi pertikaiannya.
Contohnya adalah:
1.
Mediator yang dapat mengontrol
komunikasi di antara pihak-pihak yang bertikai dapat membantu mereka memahami posisi satu sama lain
sehingga membantu pencapaian kesepakatan.
2.
Mediator yang dapat mengontrol
agenda mediasi akan meningkatkan keberhasilan mediasi, misalnya mempercepat
pencapaian kesepakatan, membantu meyakinkan pihak-pihak yang bertikai bahwa
kesepakatan dapat dicapai.
3.
Mediasi bergaya bersahabat juga
efektif terlepas dari tekanan waktu yang dihadapi para perunding.
4.
Mediator dapat mengatasi masalah
“devaluasi reaktif” dengan mendaku suatu proposal sebagai proposalnya, bila
proposal itu dapat diterima suatu pihak tetapi akan ditolak bila diajukan oleh
pihak lain.
5.
Membuat konsesi terhadap mediator
tidak tampak sebagai pertanda kelemahan seorang perunding dan dapat menjadi
salah satu cara menyelamatkan muka.
6.
Mediator dapat mengurangi optimisme
seorang perunding tentang kemungkinan pihak lawan akan membuat konsesi besar,
sehingga mempermudah si perunding membuat konsesi.
7.
Para mediator menganggap bahwa
semakin aktif dan semakin banyak mereka menggunakan taktik-taktik mediasi,
semakin efektif pula usaha mereka sebagai mediator.
Berikut ini adalah
beberapa jenis tindakan mediator yang keberhasilannya tergantung pada situasi
konflik atau sengketa. Tindakan tersebut adalah:
1.
Intervensi yang dilakukan secara
langsung dan kuat dapat efektif bila konflik antara pihak-pihak yang bertikai
begitu mendalam sehingga mereka tidak dapat melakukan problem solving bersama.
Akan tetapi, intervensi semacam ini bisa merugikan bila para pihak yang
bertikai dapat berbicara kepada satu sama lain.
2.
Taktik-taktik mediator yang
substantif dan kuat secara positif berhubungan dengan pencapaian kesepakatan
apabila tingkat permusuhan tinggi, tetapi berhubungan secara negatif dengan
pencapaian kesepakatan bila permusuhan rendah.
3.
Usaha meningkatkan komunikasi dan
saling pengertian di antara para perunding akan efektif bila tingkat permusuhan
tinggi dan perbedaan posisi besar.
4.
Tindakan mediator merangsang gagasan
dan pikiran baru dengan mengajukan masalah yang akan diselesaikan bisa efektif
bila suasan permusuhannya tinggi dan para pihak yang bertikai kesulitan
melakukan problem solving.
5.
Taktik menekan (misalnya dengan
mengatakan bahwa posisi salah satu pihak tidak realistis) secara positif
terkait dengan pencapaian kesepakatan bila intensitas konfliknya tinggi, tetapi
secara negatif terkait dengan pencapaian kesepakatan bila intensitas konfliknya
rendah.
6.
Intervensi yang dilakukan mediator
pada tahap dini tepat bila permusuhan terbuka menghadang di depan mata. Dengan
kata lain, argumen yang mengatakan mediator harus menunggu sampai pihak-pihak
yang bertikai berada dalam jalan buntu yang merugikan (hurting stalemate),
tidak selalu dapat diandalkan. Tindakan para perunding, misalnya saling
menyerang dan menyalahkan, dapat menimbulkan eskalasi sehingga konflik sulit
dikendalikan. Selain itu, semakin banyak korban yang jatuh karena konflik,
semakin sedikit yang dapat diperoleh dalam mediasi.
7.
Mediasi dapat berhasil dalam jangka
panjang bila (a) pihak-pihak yang terlibat menerima butir-butir kesepakatan,
(b) terjadi peningkatan hubungan di antara mereka, (c) tidak ada masalah baru
yang timbul.
8.
Mediasi dapat berhasil dalam jangka
panjang bila (a) pihak-pihak yang terlibat mediasi melakukan problem solving
bersama pada tahap diskusi dan pembicaraan tentang prosedur mediasi; (b)
pihak-pihak yang bertikai merasa bahwa prosedur yang fair digunakan dalam
mediasi; dan (c) mereka diberi kesempatan mengemukakan masalah dan keprihatinan
mereka.
Hakim wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila hakim melanggar atau enggan
menerapkan proses mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya,
hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang
bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan
nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas,
mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para
pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara
”pribadi” dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak yang netral tersebut
tugas pertamanya adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lainnya
sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu
mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi.
Peran mediator sebagai sebuah garis rentang dari sisi peran
yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat. Sisi peran terlemah adalah
apabila mediator hanya melaksanakan peran sebagai berikut: penyelenggaraan
pertemuan, pemimpin diskusi netral, pemelihara atau penjaga aturan perundingan
agar proses perundingan berlangsung secara beradab, pengendalian emosi para
pihak, dan pendorong pihak atau perunding yang kurang mampu atau segan
mengemukakan pandangannya. Sedangkan sisi yang kuat mediator adalah bila dalam
perundingan mediator mengerjakan atau melakukan hal-hal sebagai berikut:
mempersiapkan dan membuat notulen perundingan, merumuskan titik temu atau
kesepakatan para pihak, membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukan
sebuah pertarungan untuk dimenangkan, melainkan diselesaikan, menyusun dan
mengusulkan alternatif pemecahan masalah, dan membantu para pihak menganalisis
alternatif pemecahan masalah.[9]
Peran dan tugas hakim dalam menyelesaikan sengketa adalah
memulihkan hubungan-hubungan sosial antara pihak-pihak yang bersengketa
sehingga tercipta kembali hubungan yang damai dan harmonis, menyelesaikan pokok
sengketa secara adil dan damai sehingga tidak ada pihak yang merasa kalah dan
menang tetapi sama-sama menang, memberikan kepastian dan perlindungan hukum
kepada para pihak. [10]
Pada posisi tersebut diatas, kedudukan hukum dan moral telah
berjalan dengan seimbang dan peran hakim sebagai mediator telah membantu para
pihak dalam menyelesaikan sengketa alternatif melalui pengadilan.
Kesemuanya ini tanpa peran aktif dari pada pihak sebagai subyek
yang potensial dan yang bertanggung jawab dalam penyelesaian sengketa
tidaklah mungkin sengketa ini dapat diselesaikan secara tuntas dan final.[11]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Bahwa
sebenarnya Hakim mempunyai peranan yang sangat besar dalam menyelesaikan sengketa
lewat penyelesaian sengketa alternatif dan perdamaian (dading) adalah
suatu cara penyelesaian yang jauh lebih baik dan lebih bijaksana, karena tidak
ada yang kalah dan tidak ada yang menang (win-win) dari pada vonis hakim
dengan putusan kalah dan menang (win-lose), karena dipandang dari segi
hubungan kekeluargaan sudah tidak baik lagi, demikian juga dari segi waktu dan
biaya.
B. Saran
Masih lambatnya
proses penyelesaian sengketa di pengadilan disebabkan masih kurangnya mendapat
perhatian dari hakim, sehingga masih banyak perkara yang sudah terdaftar di
Pengadilan tetap berlanjut sampai diputuskan oleh vonis hakim.
Daftar Pustaka
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan Kritik
dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Gary
Goodpaster, Panduan Negosiasi Dan Medias, Edisi Pertama, Proyek ELIP, Jakarta,
1999.
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian
Sengketa, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
H.P.Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung
Dalam Praktek Sehari – Hari, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan
Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata
Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan dan Putusan Pengadilan, Cet. Ke-6,
Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Runtung, Keberhasilan Dan Kegagalan
Penyelesaian Sengketa Alternatif : Study Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak
Karo di Kabanjahe Dan Brastagi, Disertasi, USU Medan, 2002.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali
Press, Jakarta, 1987.
Suyud Margono, ADR & Arbitrase
(Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000.
PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang prosedur mediasi di
Pengadilan
http://dwisantosapambudi.blogspot.com/2012/11/mediasi-dalam-lembaga-peradilan_18.html akses
3 April 2014
[2] Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi Dan
Mediasi, Edisi Pertama, Proyek ELIPS, Jakarta, 1999, hal. 218.
[3]
Runtung, Keberhasilan Dan
Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Study Mengenai Masyarakat
Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe Dan Brastagi, Disertasi, USU, Medan,
2002, hal. 16.
[4] M.
Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian
Sengketa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 243.
[5] H.P.Pangabean,
Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari – Hari, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 2001, hal. 2.
[6] Runtung,
op.cit, hal. 18.
[7] Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 91
[8] Ibid.
[9] Suyud
Margono, ADR & Arbitrase (Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hal.
59-60.
[10] A. Mukti Arto, Mencari Keadilan
Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal.24
[11] Ibid,
hal. 205.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar