Senin, 08 September 2014

Peranan Hakim Dalam Mediasi Berdasarkan Perma No. 1 Tahun 2008



PERANAN HAKIM DALAM MEDIASI
BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2008

Oleh BUDI HARMAN, SH.

 BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Sebagai makhluk individu, seorang manusia selalu ingin berhubungan satu sama lain untuk membentuk kerukunan, kedamaian satu sama lain saling membutuhkan dan mempunyai kebutuhan masing-masing (zoon politicon) kesemuaannya ini membentuk suatu hukum, dimana ada masyarakat disitu ada hukum ( Ibi Ius Ibi Societas ), lambat laun hukum itu berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan membentuk perubahan sesuai dengan kebutuhan sosialnya dapat terpenuhi secara maksimal.
Hukum adalah seperangkat peraturan tertulis dan tidak tertulis apabila dilanggar akan mendapat sanksi. Oleh sebab itu dengan adanya hukum akan melindungi hak dan kewajiban setiap subjek hukum secara damai, sedangkan kedamaian itu sendiri adalah merupakan keserasian antar ketertiban ( order ) dengan ketentraman[1]
 Namun tidak jarang pula dalam kehidupan manusia terjadi kesalah fahaman sehingga dapat menimbulkan terganggu hak nya dan menimbulkan konflik. Konflik-konflik tersebut kadang dapat diselesaikan lewat Pengadilan (Litigation ) maupun diluar Pengadilan ( Non Litigation ).
 Tidak selalu membawa perkara perdata dan bisnis ke Pengadilan bernilai negatif sebagaimana yang diissukan akhir-akhir ini, bahkan sebaliknya mengajukan perkara kedepan pengadilan akan membentuk substansi dan pelaksanaan negosiasi penyelesaian.[2] Sebab dengan mengajukan gugatan kepengadilan, salah satu fungsi tugas dari hakim yang berperan sebagai mediator akan memperoleh informasi yang nyata dan tatap muka langsung dengan para pihak. Proses perkara perdata dipengadilan merupakan proses pencarian fakta dan informasi dari kedua belah pihak, sebagai hakim yang berperan sebagai mediator atau pihak ketiga yang netral, akan menuntun memperhatikan dan menilai secara wajar terhadap pendapat-pendapat dari kedua belah pihak dan apabila terjadi kesepakatan akan dituangkan dalam satu putusan yang isinya menegaskan secara hukum tentang hak dan kewajiban para pihak.
Oleh sebab itu pengajuan perkara perdata dan bisnis ke pengadilan tidak harus diakibatkan karena buntunya atau gagalnya mencari solusi problem yang dinegosiasikan, malah terkadang dengan prediksi yang akurat pihak penggugat menempuh jalan melalui gugatan kepengadilan. Keadaan semacam ini banyak dilakukan pihak penggugat kapada tergugat dan hasilnya ternyata juga baik, karena isi gugatan tersebut untuk membangkitkan shock therapy kepada diri tergugat untuk bernegosiasi.[3]
Salah satu fungsi hakim sebagai mediator wajib memanggil kedua belah pihak, baik secara pribadi (in person) atau melalui kuasanya duduk mendengar bersama kompromi menyelesaikan masalah dengan baik dan menuangkan pendapat masing-masing dalam kesepakatan.[4] Walaupun ada anggapan dari masyarakat perkotaan berperkara kepengadilan membuat orang kecewa, karena hakim selalu jauh dari masyarakat miskin dalam menerapkan keadilan dan hukum selalu dekat pada orang-orang kuat dan berduit.[5]
Arah politik hukum pemerintah Indonesia untuk mengembangkan penyelesaian sengketa alternatif sebagai salah satu strategi penyelesaian sengketa sudah jelas. Beberapa Undang-Undang dan Surat Edaran dan Peraturan Mahkamah Agung RI, telah memberikan tempat penyelesaian sengketa alternatif sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa di Indonesia.[6]
Untuk penerapan penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia diatur dalam Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif, kemudian Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 1 tahun 2002 tanggal 30 januari 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan tingkat pertama menerapkan lembaga damai, dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 tahun 2003 Tentang Proses Mediasi Menyelesaikan Perkara Perdata di Pengadilan (Court-Connented ADR) yang telah direvisi oleh PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Bertitik tolak dari latar belakang ini, maka timbul keinginan kami untuk menganalisa dalam sebuah makalah yang berjudul “PERANAN HAKIM DALAM MEDIASI BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2008”.

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan permasalahan yang akan dibahas serta dianalisis dengan bertitik tolak pada peraturan-peraturan yang berlaku, teori, pendapat para sarjana, serta asas-asas hukum guna melengkapi pembahasan secara lengkap dan menyeluruh.
Adapun permasalahan yang akan angkat didalam makalah ini adalah Bagaimana peranan hakim dalam mediasi berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008?

C.     Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah : untuk mengetahui tentang peranan hakim dalam mediasi berdasarkan PERMA No. 1 Tahun 2008. 
Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah : kiranya dapat bermanfaat untuk dapat memberikan masukan sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang hal-hal yang berhubungan dengan peranan hakim dalam mediasi berdasarkan PERMA No. 1 tahun 2008.


B A B  II
PEMBAHASAN
Di pengadilan, penyelesaian perkara perdata dimulai dengan mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang dan dalam pemeriksaan di persidangan juga harus memperhatikan surat gugatan yang bisa diubah sebelum jadwal persidangan ditentukan oleh ketua pengadilan atau oleh hakim itu sendiri, Apabila dalam pengajuan gugatan ke pengadilan negeri dan gugatan dinyatakan diterima oleh pihak pengadilan negeri, maka oleh hakim yang memeriksa perkara perdata, perdamaian selalu diusahakan sebelum pemeriksaan perkara perdata dilakukan. Seperti yang tercantum dalam pasal 130 HIR  ayat (1) yang menyatakan :
Jika pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak datang menghadap, maka pengadilan negeri dengan perantaraan ketuanya berusaha mencapai perdamaian antara kedua belah pihak.
Hal ini dikuatkan dengan PERMA No 1 tahun 2008 Tentang Mediasi, yang mewajibkan agar semua perkara yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator yang diatur dalam pasal 2, ayat (3) dan (4) PERMA No. 1 Tahun 2008 yang berbunyi yaitu:
(3)   Tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(4)   Hakim dalam pertimbangan putusan perkara wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.

Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Perkara yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara perdata yang menjadi kewenangan lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan agama.
Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008, pengertian mediasi disebutkan pada Pasal 1 butir 6, yaitu: ”Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator”. Di sini disebutkan kata mediator, yang harus mencari ”berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa” yang diterima para pihak.
Pengertian mediator, disebutkan dalam Pasal 1 butir 5, yaitu: ”Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa”. Para pihak akan mengambil keputusan sendiri atas dasar negosiasi dengan pihak lawannya.
Sebagai pihak ketiga yang netral, independen, tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak (secara langsung melalui lembaga mediasi), mediator berkewajiban untuk melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Walau demikian dapat diikuti dan pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak[7]
Didalam Pasal 6 ayat 4 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dapat kita katakan bahwa Undang-undang membedakan mediator kedalam: pertama, mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999). Kedua, mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (Pasal 6 ayat 4 Undang-undang No. 30 Tahun 1999).[8]
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak yang berperkara untuk menyelesaikan permasalahan untuk memperoleh kesepakatan guna mengakhiri sengketa.
Pada prinsipnya mediasi di lingkungan pengaadilan dilakukan oleh mediator yang berasal dari luar pengadilan. Namun, mengingat jumlah mediator yang sangat terbatas dan tidak semua pengadilan tingkat pertama tersedia mediator, maka Perma ini mengizinkan hakim menjadi mediator. Hakim yang menjadi mediator bukanlah hakim yang sedang menangani perkara yang akan dimediasikan, tetapi hakim-hakim lainnya di Pengadilan tersebut. Mediator nonhakim dapat berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung RI (Pasal 5 Ayat (1) Perma).
Mediasi sebagai bagian dari proses beracara di pengadilan mengikat hakim. Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri oleh para pihak. Mengingat pentingnya mediasi dalam proses beracara, maka ketidak hadiran tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi. Hakim atau kuasa hukum berkewajiban mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Adanya kewajiban menjalankan mediasi, membuat hakim dapat menunda proses persidangan perkara. Dalam menjalankan mediasi, para pihak bebas memilih mediator yang disediakan oleh pengadilan atau mediator di luar pengadilan. Untuk memudahkan memilih mediator, ketua pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 (lima) nama mediator yang disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para mediator. Ketua Pengadilan tiap tahunnya selalu mengevaluasi mediator dan memperbaharui daftar mediator. (Pasal 9 Ayat (7) Perma). Bila para pihak yang memilih mediator hakim, maka para pihak tidak dipungut biaya apa pun, sedangkan bila memilih mediator non hakim, maka uang jasa ditanggung bersama para pihak berdasarkan kesepakatan.
Dalam mengevaluasi mediasi, khususnya evaluasi terhadap efektif-tidaknya intervensi mediator yang dilakukan pada saat mediasi, beberapa kriteria berikut dapat digunakan:
1.      Fairness, yaitu menyangkut perhatian mediator terhadap kesetaraan, pengendalian pihak-pihak yang bertikai, dan perlindungan terhadap hak-hak individu.
2.      Kepuasan pihak-pihak yang bertikai, yaitu apakah intervensi mediator membantu memenuhi tujuan pihak-pihak yang bertikai, memperkecil kerusakan, meningkatkan peran serta, dan mendorong komitmen.
3.      Efektivitas umum, seperti kualitas intervensi, permanen tidaknya intervensi, dapat tidaknya diterapkan.
4.      Efisiensi dalam waktu, biaya, dan kegiatan.
5.      Apakah kesepakatan tercapai atau tidak.
Dalam Pasal 11 PERMA No. 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama untuk memilih mediator atau 2 (dua) hari kerja sejak hari pertama sidang. Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim memberitahukan mediator untuk melaksanakan tugasnya. Bila dalam masa 2 (dua) hari sejak sidang pertama, para pihak tidak dapat bersepakat memilih mediator, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada mejelis hakim, dan ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.
Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 (empat puluh) hari sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 (empat belas) hari sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh) hari. Selama proses mediasi berlangsung, mediator berkewajiban menyiapkan jadwal mediasi, mendorong para pihak secara langsung berperan dalam proses mediasi, dan bila dianggap perlu dapat melakukan kaukus. Dalam proses mediasi, mediator dapat melibatkan ahli seorang atau lebih untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu menyelesaikan perbedaan pendapat para pihak. Pelibatan ahli atas dasar persetujuan para pihak dan biaya untuk jasa ahli juga ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan mereka.
Perilaku mediator, yaitu taktik dan strategi apa yang akan ia gunakan, ditentukan oleh konteks mediasi, tujuan atau sasaran mediator, dan persepsi mediator. Beberapa pilihan strategis bagi prilaku mediator adalah:
1.      Problem solving atau integrasi, yaitu usaha menemukan jalan keluar “menang-menang”. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menerapkan pendekatan ini bila mereka memiliki perhatian yang besar terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa jalan keluar menang-menang sangat mungkin dicapai. 
2.      Kompensasi atau usaha mengajak pihak-pihak yang bertikai supaya membuat konsesi atau mencapai kesepakatan dengan menjanjikan mereka imbalan atau keuntungan. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang besar terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa jalan keluar menang-menang sulit dicapai.
3.      Tekanan, yaitu tindakan memaksa pihak-pihak yang bertikai supaya membuat konsesi atau sepakat dengan memberikan hukuman atau ancaman hukuman. Salah satu perkiraan mengatakan bahwa mediator akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang sedikit terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa kesepakatan yang menang-menang sulit dicapai.
4.      Diam atau inaction, yaitu ketika mediator secara sengaja membiarkan pihak-pihak yang bertikai menangani konflik mereka sendiri. Mediator diduga akan menggunakan strategi ini bila mereka memiliki perhatian yang sedikit terhadap aspirasi pihak-pihak yang bertikai dan menganggap bahwa kemungkinan mencapai kesepakatan “menang-menang” tinggi.
Dalam praktek, sebagai bagian dari proses mediasi, mediator berbicara secara tertutup masing-masing pihak. Di sini mediator perlu membangun kepercayaan para pihak yang bersengketa lebih dahulu. Banyak cara yang dapat dilakukan mediator untuk menanamkan kepercayaan, misalnya dengan memperkenalkan diri melakukan penelusuran kesamaan dengan para pihak. Kesamaan tersebut mungkin dari segi hubungan kekeluargaan, pendidikan, agama, profesi, hobi, dan apa saja yang dirasakan dapat memperdekat jarak dengan para pihak yang bersangkutan.
Ada banyak taktik yang dapat dilakukan mediator ketika melakukan intervensi. Penggunaan taktik mediasi amat tergantung pada aneka faktor dan suasana suasana. Contoh-contoh taktik:
1.      mengusahakan supaya pihak-pihak yang bertikai menerima mediasi
2.      mengusahakan supaya pihak-pihak yang bertikai mempercayai mediator
3.      mengusahakan supaya pihak-phak yang bertikai mempercayai proses mediasi.
4.      mengumpulkan informasi
5.      menjalin hubungan (rapport) dengan pihak-pihak yang terlibat
6.      mengontrol komunikasi di antara pihak-pihak yang bertikai (e.g. dengan caucus)
7.      mengidentifikasi masalah, isu, posisi.
8.      menyeimbangkan hubungan kekuasaan yang timpang
9.      membantu menyelamatkan muka
Cara praktek itu tampaknya kemudian dituangkan dalam Perma No 01 tahun 2008. Pasal 9 ayat (3) yang menyatakan: ”Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus”. Pengertian kaukus disebutkan dalam Pasal 1 butir (4), yaitu: ”...pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh pihak lainnya. ”Pembicaraan atau diskusi-diskusi tersebut dilakukan tanpa adanya prasangka. Semua harus terbuka dan tanpa tipu muslihat.
Mediator berkewajiban menyatakan proses mediasi menemui kegagalan atau mencapai kesepakatan kepada ketua majelis hakim. Mediasi dinyatakan gagal bila para pihak atau salah satu pihak telah dua kali secara berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai dengan jadwal pertemuanyang telah disepakati, atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan yang sah. Jika para pihak mencapai kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Para pihak yang telah mencapai kesepakatan damai, wajib menghadap kepada hakim, pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan damai. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan damai kepada hakim untuk dikuatkan dalam akta perdamaian.
Bila para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam masa 40 (empat puluh) hari sejak para pihak memilih mediator, maka mediator wajib menyampaikan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal, dan memberitahukan kegagalan mediasi kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, maka hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku.
Ada beberapa jenis tindakan mediator yang terbukti efektif terlepas dari situasi pertikaiannya. Contohnya adalah:
1.      Mediator yang dapat mengontrol komunikasi di antara pihak-pihak yang bertikai dapat membantu mereka memahami posisi satu sama lain sehingga membantu pencapaian kesepakatan.
2.      Mediator yang dapat mengontrol agenda mediasi akan meningkatkan keberhasilan mediasi, misalnya mempercepat pencapaian kesepakatan, membantu meyakinkan pihak-pihak yang bertikai bahwa kesepakatan dapat dicapai.
3.      Mediasi bergaya bersahabat juga efektif terlepas dari tekanan waktu yang dihadapi para perunding.
4.      Mediator dapat mengatasi masalah “devaluasi reaktif” dengan mendaku suatu proposal sebagai proposalnya, bila proposal itu dapat diterima suatu pihak tetapi akan ditolak bila diajukan oleh pihak lain.
5.      Membuat konsesi terhadap mediator tidak tampak sebagai pertanda kelemahan seorang perunding dan dapat menjadi salah satu cara menyelamatkan muka.
6.      Mediator dapat mengurangi optimisme seorang perunding tentang kemungkinan pihak lawan akan membuat konsesi besar, sehingga mempermudah si perunding membuat konsesi.
7.      Para mediator menganggap bahwa semakin aktif dan semakin banyak mereka menggunakan taktik-taktik mediasi, semakin efektif pula usaha mereka sebagai mediator.
Berikut ini adalah beberapa jenis tindakan mediator yang keberhasilannya tergantung pada situasi konflik atau sengketa. Tindakan tersebut adalah:
1.      Intervensi yang dilakukan secara langsung dan kuat dapat efektif bila konflik antara pihak-pihak yang bertikai begitu mendalam sehingga mereka tidak dapat melakukan problem solving bersama. Akan tetapi, intervensi semacam ini bisa merugikan bila para pihak yang bertikai dapat berbicara kepada satu sama lain.
2.      Taktik-taktik mediator yang substantif dan kuat secara positif berhubungan dengan pencapaian kesepakatan apabila tingkat permusuhan tinggi, tetapi berhubungan secara negatif dengan pencapaian kesepakatan bila permusuhan rendah.
3.      Usaha meningkatkan komunikasi dan saling pengertian di antara para perunding akan efektif bila tingkat permusuhan tinggi dan perbedaan posisi besar.
4.      Tindakan mediator merangsang gagasan dan pikiran baru dengan mengajukan masalah yang akan diselesaikan bisa efektif bila suasan permusuhannya tinggi dan para pihak yang bertikai kesulitan melakukan problem solving.
5.      Taktik menekan (misalnya dengan mengatakan bahwa posisi salah satu pihak tidak realistis) secara positif terkait dengan pencapaian kesepakatan bila intensitas konfliknya tinggi, tetapi secara negatif terkait dengan pencapaian kesepakatan bila intensitas konfliknya rendah.
6.      Intervensi yang dilakukan mediator pada tahap dini tepat bila permusuhan terbuka menghadang di depan mata. Dengan kata lain, argumen yang mengatakan mediator harus menunggu sampai pihak-pihak yang bertikai berada dalam jalan buntu yang merugikan (hurting stalemate), tidak selalu dapat diandalkan. Tindakan para perunding, misalnya saling menyerang dan menyalahkan, dapat menimbulkan eskalasi sehingga konflik sulit dikendalikan. Selain itu, semakin banyak korban yang jatuh karena konflik, semakin sedikit yang dapat diperoleh dalam mediasi.
7.      Mediasi dapat berhasil dalam jangka panjang bila (a) pihak-pihak yang terlibat menerima butir-butir kesepakatan, (b) terjadi peningkatan hubungan di antara mereka, (c) tidak ada masalah baru yang timbul.
8.      Mediasi dapat berhasil dalam jangka panjang bila (a) pihak-pihak yang terlibat mediasi melakukan problem solving bersama pada tahap diskusi dan pembicaraan tentang prosedur mediasi; (b) pihak-pihak yang bertikai merasa bahwa prosedur yang fair digunakan dalam mediasi; dan (c) mereka diberi kesempatan mengemukakan masalah dan keprihatinan mereka.
Beberapa kondisi di balik keberhasilan mediasi adalah:
1.      Serupa negosiasi, mediasi lebih efektif untuk konflik yang moderat daripada konflik yang gawat.
2.      Mediasi lebih efektif bila para pihak yang bertikai memiliki motivasi yang tinggi mencapai kesepakatan, misalnya ketika mereka sedang berada dalam jalan buntu yang amat merugikan mereka sehingga mereka tidak tahan mengalami status quo tersebut lebih lama lagi (disebut dengan hurting stalemate).
3.      Mediasi lebih efektif bila pihak-pihak yang bertikai bersungguh-sungguh menerima mediasi, bila tidak ada kekurangan atau kelangkaan sumberdaya yang parah, bila isu yang ditengahi tersebut tidak menyangkut prinsip-prinsip umum, dan bila pihak-pihak yang bertikai relatif setara dalam kekuasaan.
4.      Mediasi lebih efektif bila ada ancaman arbitrase sebagai langkah selanjutnya setelah mediasi gagal.
Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila  hakim melanggar atau enggan menerapkan proses mediasi, maka putusan hakim tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian di atas, mediasi merupakan suatu proses informal yang ditujukan untuk memungkinkan para pihak yang bersengketa mendiskusikan perbedaan-perbedaan mereka secara ”pribadi” dengan bantuan pihak ketiga yang netral. Pihak yang netral tersebut tugas pertamanya adalah menolong para pihak memahami pandangan pihak lainnya sehubungan dengan masalah-masalah yang disengketakan, dan selanjutnya membantu mereka melakukan penilaian yang objektif dari keseluruhan situasi.
Peran mediator sebagai sebuah garis rentang dari sisi peran yang terlemah hingga sisi peran yang terkuat. Sisi peran terlemah adalah apabila mediator hanya melaksanakan peran sebagai berikut: penyelenggaraan pertemuan, pemimpin diskusi netral, pemelihara atau penjaga aturan perundingan agar proses perundingan berlangsung secara beradab, pengendalian emosi para pihak, dan pendorong pihak atau perunding yang kurang mampu atau segan mengemukakan pandangannya. Sedangkan sisi yang kuat mediator adalah bila dalam perundingan mediator mengerjakan atau melakukan hal-hal sebagai berikut: mempersiapkan dan membuat notulen perundingan, merumuskan titik temu atau kesepakatan para pihak, membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, melainkan diselesaikan, menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah, dan membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.[9]
Peran dan tugas hakim dalam menyelesaikan sengketa adalah memulihkan hubungan-hubungan sosial antara pihak-pihak yang bersengketa sehingga tercipta kembali hubungan yang damai dan harmonis, menyelesaikan pokok sengketa secara adil dan damai sehingga tidak ada pihak yang merasa kalah dan menang tetapi sama-sama menang, memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pihak. [10]
Pada posisi tersebut diatas, kedudukan hukum dan moral telah berjalan dengan seimbang dan peran hakim sebagai mediator telah membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa alternatif melalui pengadilan.
Kesemuanya ini tanpa peran aktif dari pada pihak sebagai subyek yang potensial dan yang bertanggung jawab dalam penyelesaian sengketa tidaklah mungkin sengketa ini dapat diselesaikan secara tuntas dan final.[11]

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan.
Bahwa sebenarnya Hakim mempunyai peranan yang sangat besar dalam menyelesaikan sengketa lewat penyelesaian sengketa alternatif dan perdamaian (dading) adalah suatu cara penyelesaian yang jauh lebih baik dan lebih bijaksana, karena tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang (win-win) dari pada vonis hakim dengan putusan kalah dan menang (win-lose), karena dipandang dari segi hubungan kekeluargaan sudah tidak baik lagi, demikian juga dari segi waktu dan biaya.

B.     Saran
Masih lambatnya proses penyelesaian sengketa di pengadilan disebabkan masih kurangnya mendapat perhatian dari hakim, sehingga masih banyak perkara yang sudah terdaftar di Pengadilan tetap berlanjut sampai diputuskan oleh vonis hakim.


Daftar Pustaka

A. Mukti Arto, Mencari Keadilan Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi Dan Medias, Edisi Pertama, Proyek ELIP, Jakarta, 1999. 
Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. 
H.P.Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari – Hari, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. 
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan dan Putusan Pengadilan, Cet. Ke-6, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Runtung, Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Study Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe Dan Brastagi, Disertasi, USU Medan, 2002. 
Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 1987. 
Suyud Margono, ADR & Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000. 
PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang prosedur mediasi di Pengadilan


[1]  Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Rajawali Pres, Jakarta, 1987, hal. 65. 
[2]  Gary Goodpaster, Panduan Negosiasi Dan Mediasi, Edisi Pertama, Proyek ELIPS, Jakarta, 1999, hal. 218. 
[3] Runtung, Keberhasilan Dan Kegagalan Penyelesaian Sengketa Alternatif : Study Mengenai Masyarakat Perkotaan Batak Karo di Kabanjahe Dan Brastagi, Disertasi, USU, Medan, 2002,  hal. 16. 
[4]  M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 243.
[5]  H.P.Pangabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktek Sehari – Hari, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hal. 2.
[6]  Runtung, op.cit, hal. 18. 
[7]  Gunawan Widjaja, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 91 
[8] Ibid.  
[9]  Suyud Margono,  ADR & Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000, hal. 59-60. 
[10] A. Mukti Arto, Mencari Keadilan Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal.24 
[11]  Ibid, hal. 205. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar