POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI
Oleh : Budi Harman, SH.
Latar
Belakang.
Politik Hukum Menurut Moh. Mahfud MD adalah Legal Policy atau
garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka
mencapai tujuan Negara.[1]
Sedangkan
Bintan mengemukakan pengertian politik hukum adalah adalah kebijakan hukum (legal
policy), tidak hanya sekedar das sollen (keinginan, keharusan) atau das
sein (kenyataan), tetapi ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan
materi pasal-pasalnya maupun dalam implementasi penegakannya.[2]
Dengan pengertian lain politik hukum adalah hukum positif, yaitu hukum yang berlaku pada waktu sekarang di
Indoensia sesuai dengan azaz hirarchi hukum itu sendiri.[3]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan Politik Hukum adalah kebijakan
pemerintah mengenai hukum mana yang akan dipertahankan, hukum mana yang akan
diganti, hukum mana yang akan direvisi dan hukum mana yang akan dihilangkan.
Peraturan
perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi
Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang. Khusus mengenai pemberantasan
tindak pidana korupsi secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa
Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, memiliki 30 (tiga puluh) pasal yang secara
efektif diberlakukan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, namun di dalam
praktek hanya Pasal 2 dan Pasal 3 saja yang efektif diterapkan untuk
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Korupsi yang telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat baik
dalam instansi sosial, politik, ekonomi budaya, hankam maupun dalam institusi
aparat penegak hukum, telah dilakukan upaya penanggulangannya oleh pemerintah
melalui upaya penegakan hukum. Korupsi sudah ada sejak zaman dahulu kala
yang merupakan fenomena universal dan merupakan tindak pidana tertua. Sehingga
penanganannya perlu dilakukan secara extraordinary. Dalam penegakan hukumnya,
pemerintah juga harus tetap mejaga dan menghormati hak-hak asasi manusia guna
tetap menjaga nilai keadilan sebagai tujuan dari penegakan hukum itu sendiri.
Perumusan
Masalah.
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1)
Bagaimana penegakan hukum dalam pemberantasan
korupsi di Indonesia.
2)
Bagaimanakah sifat Lex Specialis dalam
konteks pemberantasan korupsi dilihat dari segi politik hukum.
PEMBAHASAN
1. Penegakan Hukum Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah
berlangsung sejak 1960-an dan telah berganti peraturan perundang-undangannya
sebanyak empat kali. Terakhir dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001.
Sekalipun pergantian undang-undang sebanyak itu akan tetapi filosofi, tujuan
dan misi pemberantasan korupsi tetap sama.
Secara filosofis, peraturan perundang-undangan pemberantasan
korupsi menegaskan bahwa, kesejahteraan bangsa Indonesia merupakan suatu cita
bangsa, dan sekaligus cita pendiri kemerdekaan Republik Indonesia yang
dicantumkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dan diadopsi ke dalam
sila kelima Pancasila.
Oleh karena itu setiap ancaman dan hambatan terhadap tercapainya
kesejahteraan bangsa ini merupakan pelanggaran terhadap cita bangsa. Akan
tetapi sebagai suatu negara hukum, langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi
harus dilandaskan kepada asas kepastian hukum dan seoptimalnya dilandaskan
kepada cita keadilan sebagai cita hukum sejak zaman Yunani.
Landasan yuridis, adalah UUD 1945 sebagai ”grund-norm”(hukum dasar) yang seharusnya diwujudkan ke dalam suatu
Undang-undang yang mencerminkan cita-cita dan tujuan hukum sebagaimana
diuraikan di atas. Perlu dikaji sejauh mana Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (UUTipikor) telah mencerminkan asas-asas hukum dan cita hukum
dimaksud, akan diuraikan dalam tulisan ini.
Landasan sosiologis dari penegakan hukum pemberantasan korupsi
adalah bahwa, kemiskinan yang melanda kurang lebih 35 (tiga puluh lima) juta
sampai dengan -50 (lima puluh) juta penduduk Indonesia masa kini adalah
disebabkan karena korupsi yang telah bersifat sistemik dan meluas ke seluruh lapisan
birokrasi (30 % dana APBN terkuras karena korupsi), dan tidak lepas dari
pengaruh timbal balik antara birokrasi dan sektor swasta.
Oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi
masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan mendesak (urgent needs) bangsa
Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapat mungkin dari muka bumi
pertiwi ini, karena dengan demikian penegakan hukum pemberantasan tindak pidana
korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan.
Bertitik tolak dari ketiga landasan politik pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia di atas jelas bahwa, langkah penegakan hukum
pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan kewajiban bersama bukan hanya
penegak hukum melainkan juga seluruh komponen bangsa dengan bimbingan dan
tauladan para pemimpin bangsa ini mulai dari Presiden selaku kepala negara dan
kepala pemerintahan, wakil presiden sampai kepada pimpinan birokrasi di daerah,
lembaga legislatif dan judikatif. Serta adanya peran serta masyarakat sipil (civil society-cso) dalam mendorong, memonitoring
dan mengevaluasi keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Sifat Lex Specialis dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi
dilihat dari segi Politik Hukum
Landasan yuridis pemberantasan korupsi dalam bingkai UUD 1945
seharusnya dapat menjamin dan memelihara
keseimbangan proteksi terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa serta terpidana
korupsi dan korban (individual dan kolektif) sesuai dengan bunyi ketentuan
Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 J UUD 1945.[4]
Merujuk kepada uraian di atas, dan berkaitan dengan masalah hukum yang
dipandang dilematis dan kontroversial di dalam penerapan UU Tipikor selama ini,
maka perlu dijelaskan posisi dan peran Kitab Undang-undang Hukum Pidana (lege generali) dan Undang-undang Tindak pidana Korupsi (lex specialis) di satu sisi, dan Undang-undang administratif yang diperkuat
dengan ketentuan pidana( lex specialis
systematic) .
Di dalam KUHP, Pasal 63 ayat (1) ditegaskan jika suatu
tindak pidana masuk ke dalam dua peraturan pidana, maka peraturan pidana
dengan ketentuan pidana yang lebih berat, yang harus diberlakukan (asas concursus idealis). Di dalam ayat
(2) ditegaskan lebih jauh, bahwa, jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu
aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka
hanya yang khusus itulah yang dikenakan.[5]
Dalam praktik, suatu tindak pidana korupsi yang berasal dari
aktivitas perbankan, pasar modal atau di bidang pajak, telah banyak yang
diterapkan ketentuan Pasal tersebut, sehingga dapat dituntut dan dipidana
sebagai tindak pidana korupsi. Penuntutan sebagai tindak pidana korupsi
berdasarkan Undang-undang tindak pidana Korupsi yg berlaku (Undang-undang Nomor
31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001)
sebagai lex specialis. Sesuai dengan asas ”lex specialis derogat lege generali”
maka Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 20 tahun 2001 itu yang harus diterapkan sekalipun perbuatan
tsb termasuk ke dalam tindak pidana menurut KUHP (seperti delik jabatan) khusus
jika delik jabatan tsb kemudian menimbulkan kerugian negara. Akan tetapi
terhadap Peraturan Perundang-undangan lainnya selain Undang-undang Tipikor
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14, maka penerapan Undang-undang Tipikor
terhadap pelanggaran ketentuan pidana di dalam Peraturan Perundang-undangan
lain masih dimungkinkan jika di dalam Peraturan
Perundang-undangan lain itu, ditegaskan
bahwa pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana korupsi.
Penafsiran hukum a contrario
atas ketentuan Pasal 14 diatas mengandung makna bahwa, jika di dalam UU Lain
itu, pelanggaran atas ketentuan pidana tidak ditegaskan sebagai tindak pidana
korupsi maka ketentuan pidana di dalam UU Lain itu yang diberlakukan bukan UU
Tipikor . Logika hukum yang terjadi adalah, bahwa Pasal 14 Tipikor jelas telah
membatasi pemberlakuan Pasal 63 ayat (1) KUHP/asas concursus idealis tersebut. Pasal 14 Tipikor menegaskan bahwa Undang-undang
tindak poidana korupsi tidak berlaku terhadap setiap dugaan tindak pidana
korupsi atas suatu perbuatan yang terjadi di dalam aktivitas yang
dilindungi oleh suatu UU Lain seperti Undang-undang Perbankan, Perpajakan atau
Pasar Modal.
Pembatasan ini dimungkinkan, hal ini disebabkan karena :
a.
UU Tipikor merupakan lex specialis, sedangkan KUHP merupakan
lege generali.
b.
Pembatasan ini sejalan dengan bunyi
Pasal 103 KUHP, yang menegaskan bahwa, pemberlakuan Bab I sampai dengan Bab
VIII KUHP berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh
undang-undang ditentukan lain.
Ketentuan Pasal 103 KUHP menegaskan, bahwa UU pidana khusus yang
dibentuk dapat menyimpangi ketentuan dalam Buku Kesatu KUHP termasuk asas hukum, concursus idealis, sebagaimana
dimuat dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP. Hal ini harus diartikan bahwa, ketentuan
Pasal 14 UU PK 1999 mengenyampingkan
ketentuan Bab Kesatu, Pasal 63 ayat (1)
KUHP.
Dalam praktik, ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) dihadapkan kepada
pilihan ketentuan pidana yang seharusnya diterapkan, JPU tidak konsisten terhadap pijakan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 dalam penegakan hukum
pemberantasan korupsi dan justru kembali menggunakan ketentuan Pasal 63 ayat
(1) dan ayat (2) KUHP sebagai lege
generali. Seharusnya, sejalan
dengan Ketentuan Pasal 103 KUHP, JPU tetap menerapkan ketentuan Pasal 14 Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun
2001, dan tidak mengajukan dakwaan tindak pidana korupsi,
melainkan diajukan dakwaan tindak pidana sebagaimana diatur di dalam UU LAIN
itu seperti, ketentuan pidana dalam UU Perbankan, UU Pajak, UU Pasar Modal dll.
Begitu pula halnya dengan para Majelis hakim pengadilan tipikor
segera menyatakan dakwaan tidak dapat diterima karena telah menyimpang atau
bertentangan dengan bunyi Pasal 14 Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun
2001 yang nota bene menjadi dasar hukum dakwaan JPU itu sendiri. Bahkan para
penasehat hukum terdakwa yang dituntut tindak pidana korupsi, seharusnya sejak
awal mengajukan eksepsi atas dasar hukum pasal 14 tadi. Namun di dalam praktik,
eksepsi tidak dilakukan; dakwaan tetap diajukan; dan perkara tindak pidana
korupsi yang diajukan tetap terus diperiksa dan diputus pengadilan sampai
kepada tingkat kasasi atau PK. Peristiwa
tersebut telah berlangsung hampir 35 tahun lebih!
Sesungguhnya politik hukum pemberantasan korupsi, berdasarkan Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun
2001, apalagi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai unsur melawan hukum
yang harus ditafsirkan secara formil sudah sangat jelas. Para penegak hukum
konsisten seharusnya menafsirkan secara komprehensif ketentuan dalam Undang-undang Nomor 31 tahun
1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001, dan mengoptimalkan
peranan filsafat hukum dan logika hukum. bahwa, dengan penafsiran hukum yang
memadai atas rumusan ketentuan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001, disertai dengan landasan filosofis, yuridis,
dan sosiologis yang sesuai jiwa bangsa Indonesia sebagaimana dimuat dalam UUD
1945, maka politik hukum pemberantasan korupsi telah berada dalam jalan yang
benar.
Politik pemberantasan korupsi dimaksud, adalah, pertama, memelihara
dan mempertahankan cita keadilan sosial dan kesejahteraan bangsa di dalam
negara RI sebagai negara hukum sebagai landasan filosofis; memelihara dan
melindungi hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28
D ayat (1) UUD 1945) sebagai landasan penegakan hukum; mempertahankan fungsi
hukum pidana khususnya UU PK 1999 dan 2001 sebagai landasan operasional yang
lebih mengutamakan keseimbangan fungsi pemelihara ketertiban dan keamanan di
satu sisi, dan fungsi penjeraan /penghukuman di sisi lain di atas landasan
asas-asas hukum pidana: lex specialis derogat lege generali; asas subsidiaritas
dan asas proporsionalitas, dan last but not least, memperankan hukum pidana (UU
Tipikor) sebagai ultimum remedium (bukan primum remedium) terutama dalam
menghadapi kasus-kasus tindak pidana LAIN yang bukan merupakan tindak pidana
korupsi (murni) (lex specialis systematic).
Tindak pidana yang murni merupakan tindak pidana korupsi adalah ketentuan Pasal
3 dan Pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001. Sasaran UU Tipikor sejak awal
kelahirannya termasuk di semua negara, ditujukan terhadap para pemangku jabatan
publik; bukan terhadap setiap orang. Sesuai dengan namanya, ”korupsi”, sesungguhnya yang berarti
perilaku koruptif, hanya dikenal dalam ranah pejabat publik (pemegang jabatan
publik) bukan pada pada setiap orang sebagai adresat pemberantasan korupsi pada
awal mulanya. Adapun jika ada orang lain selain, pejabat publik, yang turut
melakukan tindak pidana korupsi, telah ada ketentuannya di dalam Pasal 55 dan
Pasal 56 KUHP. Penempatan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 merupakan kebijakan hukum
yang bersifat kasuistik dan kondisional, sesungguhnya tidak patut dirumuskan
sebagai norma baru dan tersendiri.
Selama ini ternyata masih ada beberapa masalah hukum yang dihadapi
penegak hukum dalam menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi, khususnya
menyangkut perbankan. Apalagi setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi pada
tanggal 24 Juli 2006 atas pengajuan uji material beberapa Pasal dalam UU No 31
tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU Tipikor) dan UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (KPK). Salah satu amar putusannya menyatakan bahwa pengertian unsur
'melawan hukum' hanya dapat ditafsirkan dalam pengertian formil, maka akan
semakin menambah kesulitan bagi penegak hukum dalam membasmi korupsi di
Indonesia.
Masalah hukum pertama
adalah kendala prosedural (hukum acara) bagi penyidik kejaksaan (dan KPK) dalam
menangani kasus Tindak pidana korupsi yang tumpang tindih dengan tindak pidana
lain. Dalam praktik penyidikan Tindak pidana korupsi, sering dijumpai tersangka
juga terbukti melakukan pidana lain yang terkait dengan Tindak pidana korupsi-nya,
seperti money laundering, tindak pidana perbankan, perpajakan, atau
kepabeanan. Hukum acara pidana di Indonesia (KUHAP) menerapkan sistem
fragmentalisme (pemisahan) dalam penyidikan kasus pidana yang membatasi
kewenangan penyidik kejaksaan dan KPK dalam menyidik perkara Tindak pidana
korupsi yang bersamaan dengan tindak pidana lain.
Jika ditinjau dari segi kepraktisan dan efektivitas penanganan
perkara sesuai dengan asas peradilan yang cepat, murah dan sederhana, sistem
yang berlaku selama ini jelas merugikan para justisiabelen. Sebab,
penanganan perkara Tindak pidana korupsi yang bersamaan dengan tindak pidana
lain menjadi bertele-tele, berulang-ulang, dan sangat tidak efisien. Karena
masalah ini masuk koridor kebijakan politik hukum, solusinya ada di tangan
pemerintah dan DPR. Solusi lain adalah terobosan hukum melalui yurisprudensi
(putusan hakim/Mahkamah Agung), yaitu apabila hakim dapat menerima dan memutus
perkara Tindak pidana korupsi yang diajukan bersama tindak pidana lain hasil
penyidikan dari kejaksaan atau KPK. Kini saatnya penyusun RUU KUHAP dan RUU
Perubahan UU Tipikor untuk mengubah sistem penyidikan TPK yang berlaku selama
ini, agar terwujud peradilan yang cepat, murah dan sederhana.
Masalah hukum kedua
ialah adanya ketidakjelasan deskripsi tentang penerapan asas lex specialist
terhadap aturan-aturan pidana dalam UU PTPK yang dapat tumpang tindih dengan ketentuan
pidana dalam beberapa UU lain, seperti aturan pidana dalam UU Perbankan, UU
Kepabeanan, UU Perpajakan, dan UU Anti Money Laundering. Bahwa sudah semestinya
Kejaksaan agar berhati-hati dalam menangani kasus-kasus kredit macet, karena
jenis kasus tersebut sebenarnya masih masuk domain UU Perbankan.
Hal tersebut hendaklah disikapi secara kritis. Apalagi sebenarnya
saat ini memang masih terjadi semacam ketidakjelasan, lebih tepatnya
kebingungan, dari kalangan praktisi maupun teoritisi hukum terhadap
aturan-aturan pidana khusus yang dapat tumpang tindih. Yaitu adanya perbuatan
yang memenuhi rumusan tindak pidana korupsi, tapi juga memenuhi rumusan
unsur-unsur pidana dalam UU tertentu lainnya, misalnya UU No 10 tahun 1998
tentang Perbankan, UU Perpajakan, UU No 70 tahun 2007 tentang Kepabeanan, atau
UU No 25 tahun 2003 tentang Money Laundering.
Keberadaan aturan-aturan pidana dalam berbagai UU tertentu
tersebut dianggap sebagai aturan khusus (lex specialist). Tetapi UU PTPK
juga merupakan aturan khusus. Bahkan, saat ini Tindak pidana korupsi sudah
dinyatakan sebagai extraordinary crime yang harus diprioritaskan
penanganannya. Apabila terjadi suatu perbuatan yang memenuhi rumusan UU Tipikor
tetapi juga memenuhi aturan pidana dalam UU khusus lainnya, UU manakah yang
harus diterapkan? Contohnya dalam kasus perbankan sangat sulit membidik para
pelaku dengan UU tipikor. Lebih tepat bila dikenakan UU Perbankan.[6]
Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kasus yang demikian dikenal sebagai concursus
idealis yaitu satu perbuatan melanggar beberapa aturan pidana (Pasal 63
ayat (1) KUHP ), sehingga yang dikenakan adalah aturan pidana dengan ancaman
terberat. Bagi jaksa penuntut umum, sesuai dengan prinsip penuntutan perkara
pidana, dakwaan akan dibuat secara alternatif, atau dakwaan primer subsider.
Yaitu dengan mendakwakan Pasal yang mengancam pidana terberat, disusul dengan
dakwaan pasal-pasal pidana yang lebih ringan ancaman pidananya.
Dalam kasus perbankan, ancaman pidana dalam Tindak pidana korupsi
jelas lebih berat jika dibandingkan dengan ancaman pidana dalam UU Perbankan.
Demikian pula bila terjadi berbarengan kasus TPK dengan aturan pidana khusus
lainnya, misalnya UU Perpajakan, UU Kepabeanan, dan UU Kehutanan. Dalam UU
PTPK, di samping ancaman pidana pokoknya lebih berat (bahkan dalam keadaan
tertentu dapat diancam pidana mati), juga ancaman denda yang jauh lebih tinggi
dan ada tuntutan ganti rugi sejumlah kerugian negara yang ditimbulkannya serta
perampasan harta kekayaan terpidana. Oleh karena itu, dalam penanganan
kasus-kasus pidana yang dapat tumpang tindih, seperti kasus Bank Mandiri, demi
upaya pemberantasan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat dan sifat TPK
sebagai extraordinary crime serta demi memaksimalkan upaya pengembalian
kerugian negara, penerapan UU Tipikor dipandang jauh lebih tepat dan punya
dampak prevensi yang lebih efektif.
Masalah hukum ketiga
adalah masih adanya perbedaan pendapat di antara penegak hukum (hakim, jaksa
dan penasihat hukum) tentang pemahaman unsur--dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara--dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK. Selama ini, pemahaman
unsur tersebut di antara penegak hukum ternyata masih berbeda-beda.
Kesimpulan.
Dari makalah yang di paparkan
diatas, maka dapat di tarik kesimpulan yaitu bahwa Landasan yuridis
pemberantasan korupsi dalam bingkai UUD 1945 seharusnya dapat menjamin dan memelihara keseimbangan
proteksi terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa serta terpidana korupsi dan
korban (individual dan kolektif) sesuai dengan bunyi ketentuan
Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 J UUD 1945. Diperlukannya Kitab UU Hukum
Pidana (lege generali) dan UU PK (lex
specialis) serta UU administratif
yang diperkuat dengan ketentuan pidana( lex
specialis systematic) dalam menyelesaikan kasus Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (PTPK) . Di samping itu
diperlukan kesamaan persepsi penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Selama ini ternyata masih ada
beberapa masalah hukum yang dihadapi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus
tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut perbankan. Apalagi setelah ada
putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 Juli 2006 atas pengajuan uji
material beberapa pasal dalam UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dan UU No 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Salah satu amar
putusannya menyatakan bahwa pengertian unsur 'melawan hukum' hanya dapat
ditafsirkan dalam pengertian formil, maka akan semakin menambah kesulitan bagi
penegak hukum dalam membasmi korupsi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2001.
Bintan Regen Saragih, Politik
Hukum , CV.Utomo, Jakarta, 2006.
Imam
Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar
Politik Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.
Moelyanto, KUHP,
Sinar Grafika Offset, Jakarta; 2001.
Moh. Mahfud
MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet.
3, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010
R. Wiyono, Pembahasan
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ed. II, Cet. III, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012.
R. Sugandhi, KUHP Dengan Penjelasannya, Usaha
Nasional, Surabaya, 1981.
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan
Antardisiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar baru, Jakarta, 1985.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
[1] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,
Cet. 3, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 1
[2] Bintan Regen Saragih, Politik Hukum (Jakarta:CV.Utomo, 2006) hal. 6
[3] Ibid hal. 17
[4]
Pasal 28 D ayat (1) pada khususnya, dan Pasal 28 A sd I UUD 1945 menekankan
pada HAK setiap warga Negara; akan tetapi Pasal 28 J menekankan kepada
perlindungan atas HAK warga Negara lainnya (masyaraat) serta KEWAJIBAN setiap warga Negara untuk menghormat HAK
orang lain dalam mempertahankan dan melaksanakan HAK individu dimaksud.
Penerapan UUD 1945 dalam konteks penegakan hukum pidana, menempatkan posisi dan status hokum tersangka//terdakwa
adalah sederajat/setara dengan korban (individual dan kolektif) kejahatan
tersangka/terdakwa ybs.
[5]
Moelyanto, KUHP; Sinar Grafika Offset; 2001, halaman 27. Di dalam KUHP Belanda(1996), ketentuan pasal
tsb diatur dalam Pasal 55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar