Kamis, 07 Agustus 2014

Politik Hukum Pemberantasan Korupsi

 POLITIK HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI

Oleh : Budi Harman, SH.

Latar Belakang.
Politik Hukum Menurut Moh. Mahfud MD adalah Legal Policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara.[1]
Sedangkan Bintan mengemukakan pengertian politik hukum adalah adalah kebijakan hukum (legal policy), tidak hanya sekedar das sollen (keinginan, keharusan) atau das sein (kenyataan), tetapi ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi pasal-pasalnya maupun dalam implementasi penegakannya.[2] Dengan pengertian lain politik hukum adalah hukum positif, yaitu hukum yang berlaku pada waktu sekarang di Indoensia sesuai dengan azaz hirarchi hukum itu sendiri.[3]
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan Politik Hukum adalah kebijakan pemerintah mengenai hukum mana yang akan dipertahankan, hukum mana yang akan diganti, hukum mana yang akan direvisi dan hukum mana yang akan dihilangkan.
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang. Khusus mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, memiliki 30 (tiga puluh) pasal yang secara efektif diberlakukan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi, namun di dalam praktek hanya Pasal 2 dan Pasal 3 saja yang efektif diterapkan untuk pemberantasan tindak pidana korupsi.
Korupsi yang telah merambah ke seluruh lapisan masyarakat baik dalam instansi sosial, politik, ekonomi budaya, hankam maupun dalam institusi aparat penegak hukum, telah dilakukan upaya penanggulangannya oleh pemerintah melalui upaya penegakan hukum.  Korupsi sudah ada sejak zaman dahulu kala yang merupakan fenomena universal dan merupakan tindak pidana tertua. Sehingga penanganannya perlu dilakukan secara extraordinary. Dalam penegakan hukumnya, pemerintah juga harus tetap mejaga dan menghormati hak-hak asasi manusia guna tetap menjaga nilai keadilan sebagai tujuan dari penegakan hukum itu sendiri.

Perumusan Masalah.
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1)   Bagaimana penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
2)   Bagaimanakah sifat Lex Specialis dalam konteks pemberantasan korupsi dilihat dari segi politik hukum.


PEMBAHASAN
1.      Penegakan Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi di Indonesia telah berlangsung sejak 1960-an dan telah berganti peraturan perundang-undangannya sebanyak empat kali. Terakhir dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Sekalipun pergantian undang-undang sebanyak itu akan tetapi filosofi, tujuan dan misi pemberantasan korupsi tetap sama.
Secara filosofis, peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi menegaskan bahwa, kesejahteraan bangsa Indonesia merupakan suatu cita bangsa, dan sekaligus cita pendiri kemerdekaan Republik Indonesia yang dicantumkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, dan diadopsi ke dalam sila kelima Pancasila.
Oleh karena itu setiap ancaman dan hambatan terhadap tercapainya kesejahteraan bangsa ini merupakan pelanggaran terhadap cita bangsa. Akan tetapi sebagai suatu negara hukum, langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi harus dilandaskan kepada asas kepastian hukum dan seoptimalnya dilandaskan kepada cita keadilan sebagai cita hukum sejak zaman Yunani.
Landasan yuridis, adalah UUD 1945 sebagai ”grund-norm”(hukum dasar) yang seharusnya diwujudkan ke dalam suatu Undang-undang yang mencerminkan cita-cita dan tujuan hukum sebagaimana diuraikan di atas. Perlu dikaji sejauh mana Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUTipikor) telah mencerminkan asas-asas hukum dan cita hukum dimaksud, akan diuraikan dalam tulisan ini.
Landasan sosiologis dari penegakan hukum pemberantasan korupsi adalah bahwa, kemiskinan yang melanda kurang lebih 35 (tiga puluh lima) juta sampai dengan -50 (lima puluh) juta penduduk Indonesia masa kini adalah disebabkan karena korupsi yang telah bersifat sistemik dan meluas ke seluruh lapisan birokrasi (30 % dana APBN terkuras karena korupsi), dan tidak lepas dari pengaruh timbal balik antara birokrasi dan sektor swasta.
Oleh karena itu, pemberantasan korupsi bukanlah sekedar aspirasi masyarakat luas melainkan merupakan kebutuhan mendesak (urgent needs) bangsa Indonesia untuk mencegah dan menghilangkan sedapat mungkin dari muka bumi pertiwi ini, karena dengan demikian penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi diharapkan dapat mengurangi dan seluas-luasnya menghapuskan kemiskinan.
Bertitik tolak dari ketiga landasan politik pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia di atas jelas bahwa, langkah penegakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan kewajiban bersama bukan hanya penegak hukum melainkan juga seluruh komponen bangsa dengan bimbingan dan tauladan para pemimpin bangsa ini mulai dari Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, wakil presiden sampai kepada pimpinan birokrasi di daerah, lembaga legislatif dan judikatif. Serta adanya peran serta masyarakat sipil (civil society-cso) dalam mendorong, memonitoring dan mengevaluasi keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi.

2.      Sifat Lex Specialis dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi dilihat dari segi Politik Hukum
Landasan yuridis pemberantasan korupsi dalam bingkai UUD 1945 seharusnya  dapat menjamin dan memelihara keseimbangan proteksi terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa serta terpidana korupsi dan korban (individual dan kolektif) sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 J UUD 1945.[4] Merujuk kepada uraian di atas, dan berkaitan dengan masalah hukum yang dipandang dilematis dan kontroversial di dalam penerapan UU Tipikor selama ini, maka perlu dijelaskan posisi dan peran Kitab Undang-undang Hukum Pidana (lege generali)  dan Undang-undang Tindak pidana Korupsi (lex specialis) di satu sisi, dan  Undang-undang administratif yang diperkuat dengan ketentuan pidana( lex specialis systematic) .
Di dalam KUHP, Pasal 63 ayat (1) ditegaskan  jika suatu  tindak pidana masuk ke dalam dua peraturan pidana, maka peraturan pidana dengan ketentuan pidana yang lebih berat, yang harus diberlakukan (asas concursus idealis). Di dalam ayat (2) ditegaskan lebih jauh, bahwa, jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan.[5]
Dalam praktik, suatu tindak pidana korupsi yang berasal dari aktivitas perbankan, pasar modal atau di bidang pajak, telah banyak yang diterapkan ketentuan Pasal tersebut, sehingga dapat dituntut dan dipidana sebagai tindak pidana korupsi. Penuntutan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-undang tindak pidana Korupsi yg berlaku (Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001) sebagai lex specialis. Sesuai dengan asas ”lex specialis derogat lege generali” maka Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 itu yang harus diterapkan sekalipun perbuatan tsb termasuk ke dalam tindak pidana menurut KUHP (seperti delik jabatan) khusus jika delik jabatan tsb kemudian menimbulkan kerugian negara. Akan tetapi terhadap Peraturan Perundang-undangan lainnya selain Undang-undang Tipikor sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14, maka penerapan Undang-undang Tipikor terhadap pelanggaran ketentuan pidana di dalam Peraturan Perundang-undangan lain  masih dimungkinkan jika di dalam Peraturan Perundang-undangan lain  itu, ditegaskan bahwa pelanggaran tersebut merupakan tindak pidana korupsi.
Penafsiran hukum a contrario atas ketentuan Pasal 14 diatas mengandung makna bahwa, jika di dalam UU Lain itu, pelanggaran atas ketentuan pidana tidak ditegaskan sebagai tindak pidana korupsi maka ketentuan pidana di dalam UU Lain itu yang diberlakukan bukan UU Tipikor . Logika hukum yang terjadi adalah, bahwa Pasal 14 Tipikor jelas telah membatasi pemberlakuan Pasal 63 ayat (1) KUHP/asas concursus idealis tersebut. Pasal 14 Tipikor menegaskan bahwa Undang-undang tindak poidana korupsi tidak berlaku terhadap setiap dugaan tindak pidana korupsi  atas suatu perbuatan   yang terjadi di dalam aktivitas yang dilindungi oleh suatu UU Lain seperti Undang-undang Perbankan, Perpajakan atau Pasar Modal.
Pembatasan ini dimungkinkan, hal ini disebabkan karena :
a.       UU Tipikor merupakan lex specialis, sedangkan KUHP merupakan lege generali.
b.      Pembatasan ini sejalan dengan bunyi Pasal 103 KUHP, yang menegaskan bahwa, pemberlakuan Bab I sampai dengan Bab VIII KUHP berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.
Ketentuan Pasal 103 KUHP menegaskan, bahwa UU pidana khusus yang dibentuk dapat menyimpangi ketentuan dalam Buku Kesatu KUHP termasuk asas hukum, concursus idealis, sebagaimana dimuat dalam Pasal 63 ayat (1) KUHP. Hal ini harus diartikan bahwa, ketentuan Pasal 14 UU PK  1999 mengenyampingkan ketentuan  Bab Kesatu, Pasal 63 ayat (1) KUHP.
Dalam praktik, ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) dihadapkan kepada pilihan ketentuan pidana yang seharusnya diterapkan, JPU tidak  konsisten terhadap pijakan  Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi dan justru kembali menggunakan ketentuan Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) KUHP sebagai lege generali.   Seharusnya, sejalan dengan Ketentuan Pasal 103 KUHP, JPU tetap menerapkan ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001, dan  tidak   mengajukan dakwaan tindak pidana korupsi, melainkan diajukan dakwaan tindak pidana sebagaimana diatur di dalam UU LAIN itu seperti, ketentuan pidana dalam UU Perbankan, UU Pajak, UU Pasar Modal dll.
Begitu pula halnya dengan para Majelis hakim pengadilan tipikor segera menyatakan dakwaan tidak dapat diterima karena telah menyimpang atau bertentangan dengan  bunyi Pasal 14 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 yang nota bene menjadi dasar hukum dakwaan JPU itu sendiri. Bahkan para penasehat hukum terdakwa yang dituntut tindak pidana korupsi, seharusnya sejak awal mengajukan eksepsi atas dasar hukum pasal 14 tadi. Namun di dalam praktik, eksepsi tidak dilakukan; dakwaan tetap diajukan; dan perkara tindak pidana korupsi yang diajukan tetap terus diperiksa dan diputus pengadilan sampai kepada tingkat kasasi atau PK.  Peristiwa tersebut telah berlangsung hampir 35 tahun lebih! 
Sesungguhnya politik hukum pemberantasan korupsi, berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001, apalagi dengan Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai unsur melawan hukum yang harus ditafsirkan secara formil sudah sangat jelas. Para penegak hukum konsisten seharusnya menafsirkan secara komprehensif  ketentuan dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001, dan mengoptimalkan peranan filsafat hukum dan logika hukum. bahwa, dengan penafsiran hukum yang memadai atas rumusan ketentuan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001,  disertai dengan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis yang sesuai jiwa bangsa Indonesia sebagaimana dimuat dalam UUD 1945, maka politik hukum pemberantasan korupsi telah berada dalam jalan yang benar.
Politik pemberantasan korupsi dimaksud, adalah, pertama, memelihara dan mempertahankan cita keadilan sosial dan kesejahteraan bangsa di dalam negara RI sebagai negara hukum sebagai landasan filosofis; memelihara dan melindungi hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum (Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945) sebagai landasan penegakan hukum; mempertahankan fungsi hukum pidana khususnya UU PK 1999 dan 2001 sebagai landasan operasional yang lebih mengutamakan keseimbangan fungsi pemelihara ketertiban dan keamanan di satu sisi, dan fungsi penjeraan /penghukuman di sisi lain di atas landasan asas-asas hukum pidana: lex specialis derogat lege generali; asas subsidiaritas dan asas proporsionalitas, dan last but not least, memperankan hukum pidana (UU Tipikor) sebagai ultimum remedium (bukan primum remedium) terutama dalam menghadapi kasus-kasus tindak pidana LAIN yang bukan merupakan tindak pidana korupsi (murni) (lex specialis systematic). Tindak pidana yang murni merupakan tindak pidana korupsi adalah ketentuan Pasal 3 dan Pasal 12 B Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001. Sasaran UU Tipikor sejak awal kelahirannya termasuk di semua negara, ditujukan terhadap para pemangku jabatan publik; bukan terhadap setiap orang. Sesuai dengan namanya, ”korupsi”, sesungguhnya yang berarti perilaku koruptif, hanya dikenal dalam ranah pejabat publik (pemegang jabatan publik) bukan pada pada setiap orang sebagai adresat pemberantasan korupsi pada awal mulanya. Adapun jika ada orang lain selain, pejabat publik, yang turut melakukan tindak pidana korupsi, telah ada ketentuannya di dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Penempatan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 2001 merupakan kebijakan hukum yang bersifat kasuistik dan kondisional, sesungguhnya tidak patut dirumuskan sebagai norma baru dan tersendiri.
Selama ini ternyata masih ada beberapa masalah hukum yang dihadapi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut perbankan. Apalagi setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 Juli 2006 atas pengajuan uji material beberapa Pasal dalam UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Salah satu amar putusannya menyatakan bahwa pengertian unsur 'melawan hukum' hanya dapat ditafsirkan dalam pengertian formil, maka akan semakin menambah kesulitan bagi penegak hukum dalam membasmi korupsi di Indonesia.
Masalah hukum pertama adalah kendala prosedural (hukum acara) bagi penyidik kejaksaan (dan KPK) dalam menangani kasus Tindak pidana korupsi yang tumpang tindih dengan tindak pidana lain. Dalam praktik penyidikan Tindak pidana korupsi, sering dijumpai tersangka juga terbukti melakukan pidana lain yang terkait dengan Tindak pidana korupsi-nya, seperti money laundering, tindak pidana perbankan, perpajakan, atau kepabeanan. Hukum acara pidana di Indonesia (KUHAP) menerapkan sistem fragmentalisme (pemisahan) dalam penyidikan kasus pidana yang membatasi kewenangan penyidik kejaksaan dan KPK dalam menyidik perkara Tindak pidana korupsi yang bersamaan dengan tindak pidana lain.
Jika ditinjau dari segi kepraktisan dan efektivitas penanganan perkara sesuai dengan asas peradilan yang cepat, murah dan sederhana, sistem yang berlaku selama ini jelas merugikan para justisiabelen. Sebab, penanganan perkara Tindak pidana korupsi yang bersamaan dengan tindak pidana lain menjadi bertele-tele, berulang-ulang, dan sangat tidak efisien. Karena masalah ini masuk koridor kebijakan politik hukum, solusinya ada di tangan pemerintah dan DPR. Solusi lain adalah terobosan hukum melalui yurisprudensi (putusan hakim/Mahkamah Agung), yaitu apabila hakim dapat menerima dan memutus perkara Tindak pidana korupsi yang diajukan bersama tindak pidana lain hasil penyidikan dari kejaksaan atau KPK. Kini saatnya penyusun RUU KUHAP dan RUU Perubahan UU Tipikor untuk mengubah sistem penyidikan TPK yang berlaku selama ini, agar terwujud peradilan yang cepat, murah dan sederhana.
Masalah hukum kedua ialah adanya ketidakjelasan deskripsi tentang penerapan asas lex specialist terhadap aturan-aturan pidana dalam UU PTPK yang dapat tumpang tindih dengan ketentuan pidana dalam beberapa UU lain, seperti aturan pidana dalam UU Perbankan, UU Kepabeanan, UU Perpajakan, dan UU Anti Money Laundering. Bahwa sudah semestinya Kejaksaan agar berhati-hati dalam menangani kasus-kasus kredit macet, karena jenis kasus tersebut sebenarnya masih masuk domain UU Perbankan.
Hal tersebut hendaklah disikapi secara kritis. Apalagi sebenarnya saat ini memang masih terjadi semacam ketidakjelasan, lebih tepatnya kebingungan, dari kalangan praktisi maupun teoritisi hukum terhadap aturan-aturan pidana khusus yang dapat tumpang tindih. Yaitu adanya perbuatan yang memenuhi rumusan tindak pidana korupsi, tapi juga memenuhi rumusan unsur-unsur pidana dalam UU tertentu lainnya, misalnya UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan, UU Perpajakan, UU No 70 tahun 2007 tentang Kepabeanan, atau UU No 25 tahun 2003 tentang Money Laundering.
Keberadaan aturan-aturan pidana dalam berbagai UU tertentu tersebut dianggap sebagai aturan khusus (lex specialist). Tetapi UU PTPK juga merupakan aturan khusus. Bahkan, saat ini Tindak pidana korupsi sudah dinyatakan sebagai extraordinary crime yang harus diprioritaskan penanganannya. Apabila terjadi suatu perbuatan yang memenuhi rumusan UU Tipikor tetapi juga memenuhi aturan pidana dalam UU khusus lainnya, UU manakah yang harus diterapkan? Contohnya dalam kasus perbankan sangat sulit membidik para pelaku dengan UU tipikor. Lebih tepat bila dikenakan UU Perbankan.[6] Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kasus yang demikian dikenal sebagai concursus idealis yaitu satu perbuatan melanggar beberapa aturan pidana (Pasal 63 ayat (1) KUHP ), sehingga yang dikenakan adalah aturan pidana dengan ancaman terberat. Bagi jaksa penuntut umum, sesuai dengan prinsip penuntutan perkara pidana, dakwaan akan dibuat secara alternatif, atau dakwaan primer subsider. Yaitu dengan mendakwakan Pasal yang mengancam pidana terberat, disusul dengan dakwaan pasal-pasal pidana yang lebih ringan ancaman pidananya.
Dalam kasus perbankan, ancaman pidana dalam Tindak pidana korupsi jelas lebih berat jika dibandingkan dengan ancaman pidana dalam UU Perbankan. Demikian pula bila terjadi berbarengan kasus TPK dengan aturan pidana khusus lainnya, misalnya UU Perpajakan, UU Kepabeanan, dan UU Kehutanan. Dalam UU PTPK, di samping ancaman pidana pokoknya lebih berat (bahkan dalam keadaan tertentu dapat diancam pidana mati), juga ancaman denda yang jauh lebih tinggi dan ada tuntutan ganti rugi sejumlah kerugian negara yang ditimbulkannya serta perampasan harta kekayaan terpidana. Oleh karena itu, dalam penanganan kasus-kasus pidana yang dapat tumpang tindih, seperti kasus Bank Mandiri, demi upaya pemberantasan kejahatan yang sangat merugikan masyarakat dan sifat TPK sebagai extraordinary crime serta demi memaksimalkan upaya pengembalian kerugian negara, penerapan UU Tipikor dipandang jauh lebih tepat dan punya dampak prevensi yang lebih efektif.
Masalah hukum ketiga adalah masih adanya perbedaan pendapat di antara penegak hukum (hakim, jaksa dan penasihat hukum) tentang pemahaman unsur--dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara--dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK. Selama ini, pemahaman unsur tersebut di antara penegak hukum ternyata masih berbeda-beda.
Kesimpulan.
Dari makalah yang di paparkan diatas, maka dapat di tarik kesimpulan yaitu bahwa Landasan yuridis pemberantasan korupsi dalam bingkai UUD 1945 seharusnya  dapat menjamin dan memelihara keseimbangan proteksi terhadap hak asasi tersangka dan terdakwa serta terpidana korupsi dan korban (individual dan kolektif) sesuai dengan bunyi ketentuan Pasal 28 D ayat (1) dan Pasal 28 J UUD 1945. Diperlukannya Kitab UU Hukum Pidana (lege generali)  dan UU PK (lex specialis) serta  UU administratif yang diperkuat dengan ketentuan pidana( lex specialis systematic) dalam menyelesaikan kasus Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) . Di samping itu diperlukan kesamaan persepsi penegak hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selama ini ternyata masih ada beberapa masalah hukum yang dihadapi penegak hukum dalam menangani kasus-kasus tindak pidana korupsi, khususnya menyangkut perbankan. Apalagi setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 24 Juli 2006 atas pengajuan uji material beberapa pasal dalam UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) dan UU No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Salah satu amar putusannya menyatakan bahwa pengertian unsur 'melawan hukum' hanya dapat ditafsirkan dalam pengertian formil, maka akan semakin menambah kesulitan bagi penegak hukum dalam membasmi korupsi di Indonesia.
  
DAFTAR  PUSTAKA
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.
Bintan Regen Saragih, Politik Hukum , CV.Utomo, Jakarta, 2006.
Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008.
Moelyanto, KUHP, Sinar Grafika Offset, Jakarta; 2001.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet. 3, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ed. II, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
R. Sugandhi, KUHP Dengan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981.
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antardisiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Sinar baru, Jakarta, 1985.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi




[1]  Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet. 3, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 1
[2]  Bintan Regen Saragih, Politik Hukum (Jakarta:CV.Utomo, 2006) hal.  6
[3]  Ibid hal. 17
[4] Pasal 28 D ayat (1) pada khususnya, dan Pasal 28 A sd I UUD 1945 menekankan pada HAK setiap warga Negara; akan tetapi Pasal 28 J menekankan kepada perlindungan atas HAK warga Negara lainnya (masyaraat) serta KEWAJIBAN  setiap warga Negara untuk menghormat HAK orang lain dalam mempertahankan dan melaksanakan HAK individu dimaksud. Penerapan UUD 1945 dalam konteks penegakan hukum pidana, menempatkan  posisi dan status hokum tersangka//terdakwa adalah sederajat/setara dengan korban (individual dan kolektif) kejahatan tersangka/terdakwa ybs.
[5] Moelyanto, KUHP; Sinar Grafika Offset; 2001, halaman 27.  Di dalam KUHP Belanda(1996), ketentuan pasal tsb diatur dalam Pasal 55
[6] Andi Hamzah. 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta; Sinar Grafika. Hlm 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar