Penegakan Hukum Di Pengadilan Dikaitkan
Dengan Sosiologi Hukum
Oleh : Budi Harman, SH.
A. LATAR
BELAKANG
Peradilan
merupakan suatu sistem atau proses penegakan hukum dan keadilan. Proses
memberikan keadilan dilakukan oleh hakim di Pengadilan dengan cara menerima,
memeriksa dan memutuskan serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya, sesuai dengan aturan hukum acara. Dengan proses tersebut maka hukum
yang dilanggar dapat ditegakkan kembali, dan pada akhirnya keadilan bisa
ditegakkan.[1]
Peradilan
(judiaciary, rechtspraak) berpaut
dengan fungsi pemberian keadilan (justice,
gerechtgheid) dilakukan oleh Pengadilan atau badan peradilan (court, rechtbank). Fungsi Pemberian
keadilan lazim disebut rechts
prekendefunctie. Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia (RI),
Peradilan diselenggarakan oleh Kekuasaan Kehakiman, disebut pula Kekuasaan
Peradilan, la puissance de jugger,
judiciary power. Pasal 24 ayat (1) UUD NKRI tahun 1945 (redaksi baru hasil
perubahan) menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum.[2]
Kehadiran
lembaga peradilan dalam kehidupan masyarakat tidak hanya sekedar menerima dan
menyelesaikan sengketa, akan tetapi mengandung makna filosofis yang lebih dalam
dari itu yakni pengadilan bertindak sebagai wali masyarakat.[3]
Oleh karena itu, hakim yang berfungsi dalam peradilan itu harus berperan dan
bertindak sebagai wali dan bapak yang berbudi luhur kepada setiap anggota
masyarakat pencari keadilan. Setiap anggota masyarakat yang teraniaya atau hak
dan kepentingannya dilanggar oleh pihak lain, pengadilan melalui tangan hakim
harus memberi perlindungan sesuai dengan ketentuan hukum dan rasa keadilan yang
berlaku. Hakim harus berpegang teguh kepada prinsip negara hukum, yang
menempatkan hukum yang berlandaskan Pancasila diatas segala-galanya sesuai
dengan supremasi hukum yakni harus ditempatkan diatas segala kehidupan
bernegara dan bermasyarakat.
Memutus menurut hukum
merupakan tugas pertama dan terakhir seorang hakim. Hukum adalah pintu masuk
dan pintu keluar setiap putusan hakim[4]. Oleh karena itu, hakim
perlu memahami bahwa pekerjaannya bukanlah sebagai pegawai negeri sipil
lainnya. Melainkan lebih dari itu, sebagai orang yang memperhatikan kebutuhan
sosial, kebutuhan masyarakat dan syarat-syarat hukum yang memainkan peran yang
strategis untuk memilih berdasarkan keadilan.
Ada hal yang menarik
dari penegakan hukum saat ini. Bahwa hakim dalam memutuskan perkara banyak
melakukan manuver-manuver hukum, yang kadang kala hal tersebut bila dilihat
bertentang dengan aturan yang telah ada. Hal inilah yang terjadi pada
Peninjauan Kembali (PK) oleh Kejaksaan dalam Kasus Pidana. Dimana Hakim Agung,
mengabulkan PK Kejaksaan tersebut dan menghukum para terdakwa. Padahal bila kita
lihat dalam Pasal 163 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
dinyatakan bahwa “yang berhak mengajukan peninjauan kembali, yakni terpidana
atau ahli warisnya”.
Bila dikaitkan dengan
adagium di atas, terlihat jelas bahwa pasal tersebut sudah jelas bahwa yang
dapat mengajukan PK hanya terpidana atau ahli warisnya dan Jaksa tidak
mempunyai hak yuridis untuk mengajukan PK. Oleh karena itu hakim tidak perlu
melakukan penafsiran terhadap pasal tersebut. Penafsiran yang dilakukan oleh
Hakim Agung tersebut sungguh mengebiri hak terdakwa untuk mendapatkan suatu keadilan
dan kepastian hukum.
Disamping itu,
pengadilan dijadikan pasar. Kenapa dikatakan pasar, karena disana terdapat
transaksi tawar menawar. Objek dari yang ditawarkan adalah pasal yang akan
diputuskan dalam amar putusan. Dalam transaksi jual beli pasal tersebut tidak
hanya menyangkut dua pihak saja (hakim dan terdakwa), melainkan untuk melakukan
transaksi tersebut menggunakan jasa perantara, seperti panitera, jaksa dan
advokat. Hal tersebut jamak diketahui bila ingin hukuman ringan. Hal senada
juga diungkapkan oleh Mulyana W. Kusuma[5], bahwa pengendalian
sosial-formal dan informal atas pelaksanaan penegakan hukum kurang. Membuka
peluang untuk terjadinya perdagangan hukum seperti issu-issu mafia peradilan,
bisnis putusan dan sebagainya.
Praktek
Peradilan di Indonesia sampai saat ini menunjukkan bahwa moralitas para penegak
hukum mulai dari polisi, advokat, jaksa, hakim atau badan panitera atau staf di
Pengadilan, sudah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Banyak diantara
mereka yang tidak bisa dilepaskan dari praktek korupsi dan mafia peradilan.
Istilahnya pada saat ini sangat sulit sekali mencari aparat penegak hukum yang
benar-benar bersih. Penilaian masyarakat bahwa sistem peradilan kita sudah
bobrok terlihat dari mencuatnya kasus-kasus yang terjadi belakangan ini.[6]
Pengadilan bukan lagi sebagai “rumah
keadilan” melainkan sebagai “bursa keadilan”. Pengadilan dijadikan bursa untuk
mencari penawar tertinggi untuk “membeli” keadilan. Hakim dan Jaksa dan Polisi
memainkan peranan sebagai penjual keadilan di dalam sebuah sandiwara, sementara
Advokat memainkan peranan sebagai pembeli keadilan. Jadi lengkaplah sudah
sandiwara pengadilan sebagai sebuah bursa yang menjual aneka jenis keadilan dan
hukum.[7]
Kita belum mendengar Mahkamah Agung
(MA) melakukan langkah progresif untuk memecati para hakim nakal. Sebagian
besar hakim nakal hanya diberi sanksi berupa larangan menangani perkara atau
menjadi hakim nonpalu. Sejak dahulu seperti itu. Dunia peradilan dibersihkan
dengan cara yang usang dan formalistis. Sampah yang mestinya dibuang, tapi
hanya dipinggirkan. Tak ada perubahan. Pantas jika lembaga yudisial tetap pada
wibawanya yang rendah, dicibir bibir sosial. Kalau hakim tak bermoral tetap
dipelihara sama halnya menimbun sampah. Dunia peradilan kita kini ibarat tubuh
manusia yang berpenyakit komplikatif. Ada kanker, tumor, diabetes, sakit liver,
hipertensi dan lain-lain, bahkan usus-ususnya ditumbuhi varises serta kurap.
Penyakit peradilan kita dimulai dari penyakit korup polisi, jaksa, advokat
(pengacara) dan hakim, ditambah lagi hobi masyarakat berduit
untuk merampas keadilan dengan cara membeli melalui jalur-jalur mafioso
tersebut.[8]
Sementara
korupsi peradilan memang memiliki sejumlah faktor yang saling kait mengkait.
Tapi paling tidak ada tiga faktor utama yang menentukan[9].
Pertama, masalah transparansi
pelayanan umum dan administrasi Pengadilan. Masalah ini gejalanya muncul dalam
bentuk-bentuk putusan-putusan pengadilan ganda atau pemalsuan putusan, surat
sakti untuk menggagalkan eksekusi putusan, penunjukan hakim yang
dilatarbelakangi favoritisme dan sebagainya.
B. PERMASALAHAN.
Berdasarkan hal diatas, penulis menarik untuk membahas lebih
mendalam untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum di pengadilan dalam upaya
memperoleh keadilan dikaitkan dengan Sosiologi Hukum.
C. PEMBAHASAN.
1. Pengertian Keadilan dan Penegakan Hukum.
Pada zaman Romawi kita kenal paham-paham tentang keadilan, antara
lain: Summum ius, summa iniura, bahwa keadilan yang tertinggi adalah ketidak
adilan yang tertinggi, maksudnya bahwa di dunia ini tidak akan diperdapat
keadilan yang sebenarnya, sebab kemungkinan saja keadilan yang tertinggi itu
bagi seseorang, tetapi bagi orang lain adalah ketidak adilan tertinggi[10].
Asas lain dari hukum Romawi dikatakan: Justitia est contans et
perpetua voluntas ius suum quique tribuendi, artinya keadilan adalah
kehendak yang tetap dan tak ada akhirnya, untuk memberi pada tiap-tiap
orang, apa yang menjadi haknya. Pengertian ini diperoleh dari ajaran
Ariestoteles. Selanjutnya dikatakan, Juris praecepta sunt haec; honeste
vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere, artinya peraturan-peraturan dasar hukum adalah hidup dengan patut tidak
merugikan orang lain, memberi pada orang lain, apa yang menjadi bagiannya[11]. Pemaparan paham di atas,
hanya sebagai pandangan untuk melihat dari beberapa aspek apa yang dinamakan
dengan keadilan tersebut tanpa penulis harus mengikuti apa yang disebut dengan
adil. Karena penulis berpandangan bahwa keadilan tersebut berbeda bagi setiap
orang.
Theory of Justice yang diperkenalkan
oleh Aristoteles, teori ini terdiri dari distributive justice dan teori
coreective justice atau teori remedial justice[12].
Teori distributive justice memberi petunjuk tentang pembagian kehormatan
dan barang-barang kepada masing-masing orang, menurut tempatnya di
masyarakat. Keadilan ini menghendaki perlakuan yang sama terhadap mereka yang
sama menurut hukum. Kalau kita gunakan teori ini sebagai alat analisis dalam
implementasi perlindungan terhadap anak akibat perceraian orang tua, maka
perlakuan terhadap anak baik yang orang tuanya bercerai ataupun tidak bercerai
adalah sama. Sedangkan teori coreective
justice atau teori remedial justice pada intinya adalah ukuran dari
prinsip-prinsip teknis yang mengatur penerapan hukum. Dengan kata lain
coreective justice keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya
dengan tak mengingat jasa-jasa perorangan. Teori ini digunakan untuk sebagai dasar
bagaimana pelaksanaan perlindungan terhadap anak akibat perceraian. Sehingga,
apa yang dicita-citakan persamaan dihadapan hukum dapat terwujud.
Sedangkan untuk teori penegakan hukum perlu dijelaskan bahwa
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan pengejawantah dan sikap
tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup[13].
Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila tidak
ada keserasian antara tritunggal nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan
tersebut terjadi apabila terjadi ketidak serasian antara nilai-nilai yang
berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan
pola perilaku tidak terarah yang mengganggu
kedamaian pergaulan hidup[14].
Nilai yang dimaksud dalam kaitan ini adalah segala sesuatu yang
berharga, oleh karena itu hak asasi manusia merupakan hal yang penting untuk
melindungi anak supaya tumbuh dan berkembang dengan baik. Pengertian kaidah
adalah kaidah hukum, dimana seperti diketahui bahwa yang membedakan antara
kaidah yang ada dan kaidah hukum adalah bahwa dalam kaidah hukum adanya sanksi.
Maksud dari perilaku adalah bagaimana sikap masyarakat terhadap penerapan nilai
dan kaidah hukum yang sedang berjalan. Apabila ketiganya tidak dapat berjalan
dengan baik maka dapat menimbulkan gangguan-ganguan dalam masyarakat.
Lebih lanjut Soerjono
Soekanto menjelaskan tentang beberapa unsur atau faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum: Faktor-faktor tersebut
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak
pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai
berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, yang dalam tulisan
ini akan dibatasi undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum.
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegak hukum.
4.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya,
cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia didalam pergaulan hidup[15].
2. Perubahan Hukum Dan Masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat senantiasa terdapat perbedaan antara
pola-pola perikelakuan atau tata-kelakuan yang berlaku dalam masyarakat dengan
pola-pola perikelakuan yang dikehendaki oleh norma-norma (kaidah) hukum. Hal
ini dapat menyebabkan timbulnya suatu masalah berupa kesenjangan sosial
sehingga pada waktu tertentu
cenderung terjadi konflik
dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat mengganggu jalannya perubahan masyarakat sebagaimana arah yang
dikehendaki. Keadaan demikian terjadi oleh karena adanya ketertinggalan
hukum yang relatif tidak mampu mengimbangi perubahan masyarakat (perubahan
hukum tidak secepat perubahan masyarakat
bersama segenap kepentingannya).
Hukum tidak dapat diciptakan atas dasar kehendak pribadi atau
golongan etile atau penguasa, jika hukum tersebut hendak diterapkan secara
konsekuen dan efektif. Hukum lazimnya diciptakan atas dasar
pemikiraan-pemikiran kearah mana suatu masyarakat berkembang? apakah sudah
memerlukan aturan baru? masalah apa saja yang timbul dalam kehidupan
masyarakat masa kini?
kesemuanya ini perlu disesuaikan. Perlu diketahui bahwa
kecenderungan perubahan hukum senantiasa menantikan dan tergantung pada
perubahan yang terjadi pada tubuh masyarakat. lagi pula masyarakat tidak ubahnya
seperti sistem yang dinamik yang secara terus menerus mengalami
perubahan-peruba-han. Sementara itu hukum dibentuk/diciptakan sebagai alat
pengendali yang relatif statis. inilah sebabnya
maka perkembangan hukum selalu nampak tertinggal dari perubahan masyarakat; jika tidak keberadaan hukum yang dibuat atas
dasar kehendak penguasa tadi tidak akan bermanfaat, bahkan dapat meresahkan
masyarakat.
Hukum yang diciptakan diharapkan dapat dijadikan pedoman
(standard) dalam bertindak bagi masyarakat, kendatipun pada masa tertentu hukum
harus dihapuskan karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kehendak
masyarakat. Cirinya adalah jika pada masa tertentu hukum sudah mulai tidak
dipatuhi lagi (dilanggar), lantaran hukum dianggap tidak lagi dapat menjamin kepentingan
masyarakat; paling tidak hukum sudah dianggap sebagai penghambat untuk mendapat
kemudahan dalam mencapai tujuan, terutama dibidang kesejahteraan.
Terlebih lagi jika penerapan
hukum itu tidak sesuai dengan
masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat masa kini, karena mungkin pihak penegak hukum sendiri tidak mampu
memberi contoh dan tidak mampu mematuhi hukum yang berlaku.
Dengan demikian maka tidak mengherankan jika norma hukum itu tidak lagi
efektif untuk digunakan sebagai alat pengendali masyarakat agar patuh
dan menyesuaikan diri dengan hukum yang berlaku itu.
Menurut Soerjono Soekanto (1986), bahwa hukum tertinggal, apabila hukum tersebut tidak dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu.
Soejono mencontohkan
perkembangan teknologi bidang Nuklir untuk
maksud damai, ternyata
dapat pula menghancurkan manusia
karena tidak terkendali, terutama
oleh karena hukum sebagai kendalinya
tidak sanggup mengatur (atau belum sempat diatur oleh hukum-hukum baru tentang
pernukliran tersebut).
3. Keterlibatan Hukum Dalam Permasalahan
Secara sosiologis masyarakat menganggap bahwa hukum merupakan alat
kontrol, penangkal dan pelindung dari berbagai macam bentuk ancaman kejahatan.
Tidak ada satupun manusia dalam hidup
ini yang tidak menghendaki keamanan, dan
oleh karenanya disengaja atau tidak keterlibatan hukum senantiasa ada dan
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Penyelesaian masalah atau sengketa melalui keterlibatan (campur
tangan) hukum merupakan suatu proses institusi integrasi sosial. Jika proses
ini berlangsung terus dan banyak mendapatkan pengakuan akan manfaatnya, maka
penciptaan metodologi dan teori hukum yang berkaitan erat dengan inter-pretasi
prinsip keadilan semakin mendesak untuk dikembangkan. Prinsip pengembangan
metodologi dan teori hukum
ini adalah suatu kepentingan perlindungan hukum dan perluasan
kepentingan per-individu yang berorientasi pada kesadaran dan saling pengertian
yang terlepas dari kesengajaan untuk menyalahgunakan hukum.
Upaya pengembangan metodologi dan teori hukum yang didasarkan pada
hasil penelitian empiris merupakan jaminan tambahan terhadap tujuan
perlindungan hukum. Oleh karena itu tidak sedikit anggapan bahwa ilmu hukum
(legal science) itu bertujuaan untuk menginterpretasikan norma-norma (sosial)
agar dapat memelihara stabilitas masyarakat dan terhindar dari berbagai ancaman
kejahatan dari pihak atau kelompok lain.
Secara sosiologis tujuan hukum adalah untuk meredam dan
menyelesaikan suatu konflik; memelihara keamanan dan ketenteraman masyarakat sehingga
diharapkan integritas sosialnya tetap terjamin. Mengenai tindakan atau aplikasi
hukum perlu dilandasi dengan
moral positif dan iman yang
kuat. Jika tidak, maka penyelesaian konflik dan sengketa tidak akan dapat diselesaikan secara
konsensus, kendatipun telah melalui institusi-institusi hukum. Alasan sosiologisnya
bahwa hampir tidak ada keputusan pengadilan yang menangani suatu kasus dapat
dijadikan standard keadilan, karena dalam setiap keputusan selalu dipengaruhi
oleh unsur-unsur pribadi dan banyak lagi variabel yang mempunyai nilai ganda.
Seorang terdakwa tidak akan pernah merasa
rela secara tulus untuk meringkuk dalam penjara dikala ia tahu bahwa hakim dan aparat
hukum selalu luput dari ancaman hukum, kendatipun sama-sama pernah melakukan pelanggaran hukum.
Masyarakat beranggapan bahwa penyalahgunaan dalam penerapan hukum adalah lebih kejam dari pada pelanggaran
hukum karena membela diri dari ancaman hukum yang sewenang-wenang. Banyak masyarakat yang menuduh
bahwa peranan hakim dalam mengambil keputusan kurang mempertimbangkan titik
sosial dari kondisi perubahan masyarakat dan latar belakang empiris suatu
perkara.
Bentuk alamiah penerapan hukum menurut interpretasi umum masyarakat
adalah terletak pada besarnya kadar keseimbangan aturan-aturan normatif dengan moral
yang senantiasa konflik. Interpretasi ini lebih banyak dipengaruhi oleh unsure perasaan
dan kepercayaan hukum-hukum yang menganut paham bahwa pengunaan hukum tidak terbatas.
Padahal perkembangan hukum senantiasa mengarah pada kekhususan bidang yang
kadang-kadang tidak mencakup kegunaan terhadap pemecahan masalah umum. Kendala
ini tercermin pada perbedaan standard kontrol
hukum yang berlaku terhadap individu.
Ada penerapan hukum yang melalui ukuran sosial, logika, moral dan
ada pula yang diarahkan pada ukuran sikap mental atau perasaan yang erat
kaitannya dengan kepentingan tertentu. Namun demikian kekhawatiran ini tidak
perlu berkepanjangan, karena dengan sedikit mengurangi dominasi masing ukuran
aplikasi hukum dan pertimbangan pengurangan unsur pertentangan antaraperaturan
satu sama lainnya, maka interpretasi
negatif masyarakat akan semakin paralel (sama) dan umum.
Menurut Habermas (dikutip dari Adam P dan C.J. Whelan 1987:206), bahwa Aturan-aturan hukum dari
sudut pandang seorang pelaku, dijalankan untuk mendukung orientasi bersama
kearah tindakan dan tujuan dari pelaku itu bersama pelaku-pelaku lainnya.
Dikatakan bahwa kitapun bisa memandang hukum sebagai suatu aturan yang
dilembagakan yang relatif tidak tergantung atau bebas dari tindakan-tindakan, sikap dan motof-motif tertentu yang dimiliki
individu.
Harapan dari teori Habermas tersebut banyak mendapat tanggapan
dari kalangan ahli hukum, akan tetapi kelemahan kebanyakan kritik yang
dilontarkan sedikit kurang mempertimbangkan segi empiris. Akibatnya mereka
menjadi kurang mampu untuk menerangkan peristiwa dan kondisi sosial, sehingga
ukuran dalam suatu aplikasi hukum menjadi sedikit kabur.
Jika prinsip penerapan hukum berlangsung terus dengan tidak dilandasi oleh operasionalisasi empiris, maka
hukum akan segera menjadi usang. Untuk mengurangi kelemahan ini para ahli
sosiologi menawarkan cara operasionalisasi empiris, yaitu cara pengukuran
terhadap nilai-nilai dan norma-norma hukum berdasarkan fakta dalam kehidupan
masyarakat. Para ahli sosiologi bertugas mengembangkan dan menjelaskan berbagai peristiwa sosial sebagai
bahan prediksi ekspresi emosi dan perilaku yang berhubungan dengan aplikasi
hukum.
4.
Hakim dan Pengadilan
Hakim merupakan suatu profesi, namun profesi hakim ini menjadi
ajang perebutan antara kelompok-kelompok pekerja. Oleh karena itu para manusia
yang mau menjadi hakim hanya memandang hakim sebagai suatu pekerjaan. Konsekuensinya
hakim di pengadilan dalam melaksankan tugasnya hanya memandang tugasnya sebagai
pekerjaan bukan sebagai profesi yang mempunyai tanggungjawab untuk menetapkan
kebenaran yang sesungguhnya untuk menemukan keadilan.
Hakim sebagai profesi hukum, menempatkan kasus atau masalah
sebagai bagian penting dari hukum dan salah satu yang utama penegakan hukum
dalam masyarakat. Hakim berhubungan dengan sentalitas pemahaman mereka sebagai
pemutus perkara atau masalah. Artinya disini, hakim ditempatkan di tempat yang
utama dalam masyarakat. Hakim adalah tempat penyimpan hukum, yaitu sebagai
orang bijak yang hidup.
Keadilan dan sikap tidak memihak sangatlah penting bagi eksistensi
pengadilan, karena merupakan jangtung utama dari proses hukum. Martin Sharpiro,
menjelaskan mengenai bentuk ideal pengadilan dalam 4 element, yaitu:
a.
Hakim yang idependen
b.
Menggunakan norma – norma yang telah ada
sebelumnya.
c.
Mencari
cara lawan kerja lawan.
d.
Untuk mencapai sebuah keputusan dikotomi dimana
satu dari kelompok yang berselisih dinyatakan benar menurut hukum dan pihak
lainnya dinyatakan salah menurut hukum[16].
Pengadilan hadir untuk memenuhi beberapa fungsi, yakni: sebagai
legitimasi dari otoritas politik, interprestasi dari tujuan utama
kebijaksanaan, saluran dari peran dan harapan serta sosialisasi. Oleh karena
itu, keputusan pengadilan merupakan hasil dari sebuah rangkaian kesatuan
penyelesaian perselisihan dan penjatuhan hukuman bagi yang melakukan tindakan
hukum yang tidak sesuai dengan hukum. Sehinga di pengadilan, hukum dipahami
dalam bentuk sebagai kegiatan praktek dan bukan semata-mata aturan dalam buku teks.
Disamping itu, perlu kita soroti disini adalah mengenai pelayanan
keadilan di pengadilan. Dimana adanya oknum di pengadilan yang memberikan
pelayanan keadilan berdasarkan status, kemampuan ekonomi, kepentingan dan
pertemanan yang dijalin yang bermuara pada terbentuknya siklus bahkan kultur
penyelesaian perkara. Kemudian tak heran di pengadilan timbul beberapa istilah
seperti pengacara bos dan pengacara kere, kasus proyek dan kerja bakti sebagai
fenomena pandangan di atas. Istilah tersebut bukanlah istilah baku dalam bahasa
Indonesia yang dapat dilihat artinya dalam kamus, tetapi istilah tersebut hanya
dapat diartikan dari kenyataan di masyarakat yang mana sering muncul dalam
senda gurau atau lelucon praktis di peradilan (hakim, jaksa, advokat dan tersangka/terdakwa).
5.
Distorsi Komunikasi Dalam Menggapai Keadilan Di
Pengadilan
Setiap pengadilan merupakan respon terhadap susunan masyarakat
yang menjadi landasannya. Pengadilan disini dimaksud sebagai pranata
penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu masyarakat. Di dalam masyarakat
yang berdasarkan kesepakatan nilai-nilai dimana segenap anggota masyarakat itu
menghayati nilai-nilai yang sama, maka pengadilannya tentulah tidak serumit
yang terdapat pada masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai yang berbeda. Yang
mana pada masyarakat yang kurang terlapis dan kurang komplek akan cenderung
untuk memakai pola penyelesaian berupa perukunan. Sedangkan sebaliknya, di
dalam masyarakat dengan perlapisan sosial yang tinggi dan lebih komplek,
kecenderungannya ada pada penerapan peraturan perundang-undangan[17]. Penggunaan pengadilan
negeri dalam menyelesaikan perkara merupakan representasi dari masyarakat yang
berlapis tersebut.
Proses peradilan bertujuan memberikan keadilan atau hak (equty)
dengan mempersamakan semua orang di muka hukum (equality before the law).
Kritik dan kekurang percayaan terhadap pengadilan pada intinya mengandung
tuduhan terjadinya ketidak adilan (injustice)[18]. Hal tersebut karena di
dalam penegekan hukum di pengadilan ada faktor manusia, sehingga membawa kita
kepada penglihatan mengenai hukum sebagai karya manusia di dalam masyarakat[19].
Keputusan-keputusan terhadap suatu kasus yang diambil dalam proses
pengadilan sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil selama penyidikan terhadap kasus
tersebut. Keputusan yang diambil pada akhirnya ditentukan oleh akhir dari
perdebatan antara pihak-pihak yang saling bertentangan yang masing-masing
diwakili advokat dan jaksa selain dipengaruhi pula oleh pertimbangan-pertimbangan hakim[20].
Bila kita melihat fenomena tersebut, semua berawal dari adanya
distor si komunikasi. Bahwa distorsi komunikasi adalah tidak terserapnya
informasi keadilan secara timbal balik, khususnya di antara pengadilan, media
dan kemasyarakat. Hal ini sangat kentara apabila kita bicara tentang fungsi
media dalam memberikan informasi di seputar pengadilan. Sebuah distorsi muncul
tatkala media mencoba menampilkan berita keadilan dengan gaya bahasa yang
kurang disenangi pengadilan. Menurut pengadilan media telah memutar balikan
fakta, dan tidak menjelaskan segala sesuatu apa adanya. Sementara sudut pandang
media, pengadilan hanya dipandang sebagai sebuah lembaga sehari-harinya dapat
dieksploitasi untuk konsumsi publik. Bagaimana ini bisa terjadi?
Penulis melihat disini bahwa kenyataannya pengadilan ditentukan
oleh opini umum (opini publik), artinya pengadilan akan terlaksana atas dasar
kekuatan opini.
Contoh kasus prita, dengan adanya sorotan pers, baru ada perhatian
dari pejabat yang berwenangan mengenai penegakan hukum di pengadilan. Dimana
sebelum mendapat perhatian pers, prita ditahan oleh kejaksaan. Namun setelah
mendapat perhatian dari pers dan perhatian khusus dari kandidat calon presiden,
Prita diberikan penangguhan penahan. Yang pada akhirnya dalam persidangan Prita
dibebaskan dari tuntutan pidana dengan putusan sela pengadilan.
Namun, demikian dalam kasus prita, disamping adanya pengaruh dari
media massa, juga dalam penegakan hukum masyarakat belum memahami maksud dari
lahirnya undang-undang informasi dan transaksi elektronik. Disinilah terlihat
bahwa perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau
sebaliknya) tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan-keadaan
tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur
lainnya dari masyarakat serta budayanya,
atau mungkin hal sebaliknya terjadi[21].
Perlu untuk diperhatikan bahwa kebenaran itu adalah segala sesuatu
yang didukung oleh kekuasaan, atau segala pengesahan yang dibawa oleh masyarakat
politik, yakni Negara[22]. Bila pemegang kekuasaan
mengatakan itu salah maka salahlah ia, namun sebaliknya bila penguasa
mengatakan benar maka benarlah hal tersebut. Oleh karena itu penegak hukum
(hakim dan Jaksa) yang diberikan kekuasaan oleh Negara untuk menentukan suatu
kebenaran dan kesalahn dalam mempertimbangan kesalahan seseorang harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan, fakta hukum dan hati nurani.
Oleh karena itu, dalam penegakan hukum di pengadilan, kita perlu
merujuk pada pandangan Mr. Trapman dalam suatu rapat Pengacara di Nederland
pada tanggal 30 September 1933 telah melukiskan “bahwa pendirian hakim adalah
pendirian objektif dari posisi objektif, jaksa adalah pendirian subjektif dari
posisi objektif, pengacara adalah pendirian objektif dari posisi subjektif dan terdakwa
adalah pendirian subjektif dari posisi subjektif”[23]. Bila hakim kita
menerapkan pandangan Mr. Trapman, maka walaupun ada tekanan dari opini publik
(pers) hakim tidak akan ragu dalam mengambil keputusan serta tidak akan
terpengaruh terhadap opini publik tersebut. Karena putusan hakim di persidangan
tidak ditentukan oleh opini publik (pers) tapi fakta hukum dan pembuktian di
persidangan.
6.
Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Pembentukan
Hukum (Rechtvorming)
Umumnya, hukum dalam Negara modern selalu berkaitan dengan sesuatu
yang bersifat formal atau diformalkan, yaitu dibuat menjadi formal oleh lembaga
yang memiliki kekuasaan untuk itu, formal juga menunjukan kepada prosedur yang
harus dilalui dalam setiap pembuat aturan, termasuk kegiatan penafsiran dan
makna yang dihasilkan[24]. Khusus dalam hukum
pidana, dalam kajian professional hukum dipandang sebagi teks yang tertutup,
yang mana hukum pidana dipahami sebagai teks yang berlaku, mengikat secara
formal, dan harus dipatuhi atau ditaati sebagai sebagaimana dogma. Wilayah ini,
lebih menekankan kepada pedoman, aturan baku yang berlaku dan mengikat para
professional untuk menafsirkan teks hukum positif tersebut.
Lalu bagaimana peran hakim sebagai penemu hukum dan pembentuk
hukum dalam hukum pidana. Rechtsvinding
(penemuan hukum) diartikan bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya
sudah ada, namun masih perlu digali, dicarai dan ditemukan. Sedangkan
rechtsvorming (pembentukan hukum) di artikan hukumnya tidak ada, oleh karena
itu perlu ada pembentukan hukum, sehingga di dalamnya terdapat penciptaan
hukum. Pembentukan hukum berkonotasi hukumnya tidak ada atau sekalipun hukumnya
sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap, sehingga hakim harus
menciptakan hukum baru sebagai penyempurna dan atau pengganti hukum yang sudah ada[25].
Dalam hukum pidana hakim hanya berfungsi sebagai penemu hukum,
hakim tidak dapat berfungsi sebagai pembentuk hukum. Karena bila hakim sebagai
pembentuk hukum, maka bertentangan dengan asas legalitas. Oleh karena itu hakim
sebagai pencipta hukum dalam perkara pidana tidak dapat dilakukan. Karena dalam
suatu negara maka hukum formal tersebut dibentuk oleh lembaga yang ditunjuk
untuk itu, yang mana di Indonesia diserahkan kepada lembaga legislatif (Dewan
Perwakilan Rakyat).
Dalam proses di pengadilan, inputnya adalah perkara atau masalah
dan proses di dalamnya adalah proses penemuan hukum dan outputnya adalah
putusan pengadilan. Dalam melakukan penemuan hukum, hakim harus melakukan suatu
penafsiran (interprestasi). Dalam interprestasi, khususnya interprestasi hukum
tentu saja yang sangat diandalkan adalah standar konstruksi
(pengembangan). Bila hakim dalam
melakukan interprestasi tidak memiliki suatu standar konstruksi tentunya akan
memperkosa teks-teks formal tersebut yang akhirnya pada perdagangan pasal.
Bagaimana hakim harus memutus atau melakukan interprestasi, itulah
esensi utama yang hendak dikejar dalam penegakan hukum. Hakim tidak saja
dituntut untuk memahami hukum yang telah dipositifkan, tetapi lebih dari
sekedar itu hakim harus pula memahami makna yang terkandung di balik hukum yang
telah dipositifkan tersebut (asas, nilai-nilai dan lain-lain). Seorang hakim
harus sadar akan ideologi dan subjektivitasnya sendiri, sehingga keduanya tidak
akan mengintervensi proses interprestasi.
Maka wajar bila hakim tidak melakukan suatu interprestasi
dengan baik akan menimbulkan
permasalahan dalam masyarakat. Suatu hal mengejutkan dengan adanya konstatering
oleh beberapa sarjana hukum senior kita yang mengatakan bahwa sejak kurang
lebih tahun 1960 sampai sekarang banyak dijumpai putusan-putusan pengadilan
yang nilai putusannya sangat jelek. Akibat dari hal tersebut sudah dapat
diterka yaitu banyaknya perkara-perkara yang naik banding ke Pengadilan Tinggi
sampai kasasi ke Mahkamah Agung[26].
Oleh karena itu, untuk mengungkap makna teks sebuah aturan
tertentu, hakim harus mulai dengan pembacaan awal, yang kemudian dilanjutnkan
dengan pembacaan analitis, agar kunci dan gagasan-gagasan sentral yang terdapat
pada teks dapat dibuka. Melalui gagasan sentral ini, hakim diharapkan dapat
menemukan makna yang tersembunyi dan mengembangkan makna-makna baru. Namun
perlu di perhatikan bahwa dalam melakuka interpresti ada adagium hukum yang
mengungkapkan bahwa interprestasi tidak diperlukan apabila teks sudah jelas
(interpretation cessat in claris). Seperti dalam kasus Peninjauan Kembali
(PK) kasus BLBI yang menyangkut terdakwa Syahril Sabirin dan Joko S
Tjandra. Hari Kamis Tanggal 11 Juni
2009, Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Putusan Peninjauan Kembali (PK)
Nomor 07 PK/Pid.Sus/2009 Tanggal 8 Juni 2009 Atas Nama Terpidana Syahril
Sabirin dan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Tanggal 11 Juni
2009 Terpidana Joko S Tjandra. Mahkamah Agung memberikan keputusan mengabulkan
PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan oleh Kejaksaan. Padahal bila kita lihat
dalam Pasal 163 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dinyatakan bahwa
“yang berhak mengajukan peninjauan kembali, yakni terpidana atau ahli
warisnya”.
Dalam Pasal 163 KUHAP telah jelas norma yang mengaturnya, bahwa
yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya.
Bila hal ini diberikan ruang penemuan hukum (rechtsvinding) akan menimbulkan
suatu manuver hukum yang mengkacaukan sistem acara peradilan pidana. Sehingga
tak terdapat suatu kepastian yang jelas. Atau bila kita persingkat, terlihat
tidak adanya suatu kepastian hokum.
Untuk menghindari kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan, fungsi
menemukan hukum hanya dapat dilakukan dengan instrument atau cara-cara
tertentu. Instrument atau cara menemukan hukum mencakup metode penafsiran,
konstruksi hukum, dan argumentum a centratio. Setiap metode yang dipergunakan
dengan memperhatikan keperluan dan urutan logis yang diperlukan untuk menemukan
makna yang tepat agar tujuan undang-undang atau peraturan perundang-undangan
dapat tercermin secara tepat, benar, adil serta wajar (reasonable) dalam
memecahkan suatu peristiwa hukum.
7.
Kontrol dalam Penegakan Hukum di Pengadilan
Seorang penegak hukum yang bekerja dengan nurani (with consciensce)
akan menghasilkan putusan yang berbeda dibandingkan yang bekerja hanya
berdasarkan book-rule atau “mengeja
teks”. Setiap kasus adalah unik, yang membutuhkan nurani untuk menanganinya.
Berhukum itu tidak hanya berbasis teks, tetapi juga akal sehat dan nurani.
Pujangga besar Inggris, William Shakes Peare, dalam salah satu dramanya pernah
menyuruh seorang aktor mengatakan, “The firt thing we have to do is to kill all
the lawyer”[27].
Oleh karena itu, dalam penegakan hukum perlu adanya kontrol.
Kontrol di artikan dengan pengawasan. Sujamto menyebutkan bahwa pengawasan
adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang
sebenarnya tentang pelaksanaan tugas dan pekerjaan, apakah sesuai dengan
semestinya atau tidak[28]. Adapun pengendalian itu
pengertiannya lebih forceful dari pada
pengawasan, yaitu sebagai segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan
mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan dengan semestinya[29]. Alo Liweri mengunkapkan bahwa kontrol adalah
kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga tertentu (lebih tinggi)
dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga di bawahnya, sering dikatakan
proses kontrol demikian disebut kontrol secara formal yaitu, menunjukan kepada
sebuah kewenangan dalam organisasi atau
birokrasi[30].
Pengawasan atau kontrol dalam organisasi dan birokrasi biasanya
dipilih dalam dua kategori, yaitu kontrol internal dan eksternal. Dalam
mekanisme internal, pengawasan dilakukan oleh perangkat-perangkat dalam
organisasi yang berfungsi pengawasan. Dalam hal ini, pengawasan dilakukan
seseorang atasan kepada bawahan (pengawasan melekat) dikategorikan sebagai
pengawasan melalui mekanisme internal. Adapun dalam mekanisme eksternal, pengawasan
dilakukan oleh organ-organ denga fungsi pengawasan yang kedudukannya terlepas
dari anggota atau organisasi yang diawasi.
Namun disini penulis paparkan bahwa pengontrolan yang lebih baik
datang dari diri. Oleh karena itu, setiap tubuh menjadi objek kuasa. Tubuh
dimanipulasi, dilatih, dikoreksi untuk menjadi patuh, bertanggung jawab dan
terampil. Namun, kuasa dari masa yang satu ke masa yang lain, selalu menyentuh
tubuh, hanya cara, ukuran dan sasaran kontrolnya saja yang senantiasa berubah[31].
Foucalt mensinyalir, teknik penguasa tubuh selama paruh kedua abad
abad -18 mendasarkan skala kontrol–nya bukan pada penguasaan tubuh dalam bentuk
masal melainkan pada kuasa yang menyentuh individu secara teliti dan mendeteil.
Kuasa dengan sendirinya menghasilkan mekanisme gerak, tingkah laku, bentuk
fisik dan kecepatan. Menghasilkan sesuatu yang lembut, teliti, di atas tubuh
yang aktif. Selanjutnya, yang menjadi target atau sasaran kontrol bukanlah
elemen tingkah laku dan bahasa tubuh yang bermakna (seperti penyiksaan
melukiskan kuasa raja), melainkan sifat ekonomis dan efisiensi gerak serta
keteraturan internal tubuh. Latihan menjadi satu-satunya upacara penting.
Akhirnya cara yang dipih untuk mencapai kontrol adalah sesuatu mekanisme
penaklukan tetap (konstan) yang menghasilkan relasi patuh berguna. Mekanisme
penaklukan seperti inilah dinamakn disiplin[32].
Hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial dan berhubungan
dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial. Menurut Schiff,
analisa ini berpijak pada kemapuan hukum untuk mengontrol perilaku-perliku
manusia dan menciptakan suatu kesesuaian di dalam perilaku-perilaku tersebut.
Sering dikatakan bahwa salah satu dari karakteristik hukum yang
membedakannya dari aturan-aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme
kontrol yaitu yang disebut sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan
aturan-aturan sosial, dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka
yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakuti-nakuti agar orang tetap patuh
pada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan. Sudah tentu mungkin ada
orang-orang yang tunduk kepada hukum bukan karena takut, melainkan ada
alasan-alasan lain. Selain itu, tidak cukup bagi kita untuk mengukur sampai
sejauh mana fungsi kontrol dari hukum dapat berjalan dengan hanya melihat
banyak orang yang patuh pada aturan-aturan
hukum yang telah ditentukan[33].
D. KESIMPULAN
DAN SARAN
Tulisan ini sampailah pada pelabuhan yang menyimpulkan bahwa
pengakan hukum di pendilan perlu kita perhatikan dari tingkah laku dari manusia
yang melaksankan fungsinya sebagai hakim, jaksa dan advokat. Yang mana dalam
melaksankan kewajibannya tersebut dimungkinkan salah dan menyimpang dari aturan
hukum.
Peyimpangan dan kesalahan dari tindakan manusia yang melaksankan
fungsi sebagai hakim, jaksa dan advokat terlihat dari adanya pasar pasal di
pengadilan. Dimana pengadilan dijadikan ajang transaksi jual beli (pasar) oleh
manusia yang melaksankan fungsi sebagai hakim, jaksa dan advokat untuk menjual
belikan pasal, yang pada akhirnya terdakwa bebas atau dihukum dengan hukum yang
seringannya.
Penyimpangan dari penegakan hukum di pengadilan, karena tidak
terlepas dari celah dari aturan yang telah ciptakan. Oleh karena itu untuk
mengatasi hal tersebut perlu adanya kontrol atau pengawasan. Baik penawasan
yang dating dari dalam institusi penegak hukum atau di luar institusi penegak
hukum. Melihat kondisi di atas, penulis memberikan saran dalam penegakan hukum
di pengadilan semestasinya:
- Pembaharuan hukum. Pemerintah perlu meneruskan usaha pembaharuan dan pembinaan hukum secara kesinambungan sesuai dengan dinamika masyarakat
- Pembinaan organisasi. Pembinaan organisasi penegakan hukum pada tahap ini ditangani dalam bentuk pembentukan aparatur penegak hukum yang harus melaksanakan berdasarkan pembenahan sambil terus berjalan. Pembenahan aparatur ini meliputi: penegakan mengenai lingkup tugas, fungsi dan peran masing-masing aparat, penetapan dan pencapaian kualitas dan kuantitas aparatur yang disertai dengan sistem pendidikan dan latihannya, pemantapan susunan organisasi, penegasan hubungan tata cara kerja dan sistem control serta pemenuhan persediaan saran.
- Pembinaan tugas hukum sejak memangku jabatan tentang: pengetahuan ilmu hukum, tujuan penegakan hukum, hal-hal yang boleh dilakukan dalam melaksanakan tugas, pembinaan moral dan mental, memperbaiki kesejahteraan, pengawasan oleh atasan terus menerus dalam rangka mewujudkan pengekan hukum yang bersih dan berwibawa.
- Peningkatan pengawasan yang sangat besar pengaruhnya di bidang penegakan hukum, yang mencakup: pengawasan intern (secara build-in control), pengawasan ekstern (secara horizontal) dan pengawasan oleh masyarakat (social control).
- Pembinaan sikap masyarakat untuk taat pada hukum dan kesadaran atas hak dan kewajiban serta keberanian untuk mempertahankannya, perlu dilakukan secara berkesinambungan.
DAFTAR
PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme Hukum
& Peradilan, Katahasta Pustaka, Jakarta, 2007.
Alo
liliweri, Sosiologi Organisasi, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Alvin
S. Johnson yang diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora. Sosiologi Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Anthon
Feddy Susanto, Wajah Peradilan Kita
Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan,
Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
__________________,
Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi teks
Menuju Progresivitas Makna, PT.
Refika Aditama, Bandung, 2005.
___________________, Hukum:
Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, PT Refika Aditama, Bandung, 2007.
Bagirmanan, Hakim
Sebagai Pembaru Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 25
Januari 2007.
Bambang Sutiyoso, Metode
Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan. UII Pres, Yogyakarta, 2006.
Darji
Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia. PT SUN
Printing, Jakarta, 1996.
David
N. Schiff. Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial. Dikutip dari Adam Podgorek
& Christopher J. Whelan. Pendekatan
Sosiologis Terhadap Hukum. Balai Pustaka, Jakarta, 1984.
Hadari
Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial,
Gajahmada University Press, Yogyakarta, 2003.
H. Asasriwarni dan
Nurhasnah, Peradilan Di Indonesia,
Hayfa Press, Padang, 2007.
Jhony
Ibrahim. Teori dan Metode Penelitian
Hukum Normatif, Cet II, Bayumedia Publising, Malang, 2006.
Mardjono
Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam
Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
Universitas Andalas, Padang, 2007.
Michel
Faucault, Disiplin Tubuh, Bengkel
Individu Modern. LKiS, Yogyakarta, 1997.
M Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum,
Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Kostitusi RI, Jakarta, 2006.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2007.
Mulyana
W. Kusuma, Beberapa Perkembangan
Pemikiran dan Masalah Dalam Sosiologi
Hukum, Alumni, Bandung, 1981.
Satjipto Raharjo, Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Buku
Kompas, Jakarta, 2003.
_____________.
Hukum dan Masyarakat. Angkasa, Bandung,
1980.
Sijamto.
Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan.
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
Soetiksno.. Filsafat
Hukum Bagian 1. Pradnya Paramitha, Jakarta, 2002.
Soejono Soekanto, Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
______________. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1980.
Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001.
Sudibyo Triatmodjo.. Potret
Kehidupan Hukum. Alumni, Bandung, 1981.
Uli Parulian Sihombing
dkk, Korupsi Peradilan : Wajah Peradilan
Kita, Mafia Peradilan, LBH Jakarta, Jakarta, 2004.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia 1945
Artikel dan Internet
http://jakarta45.wordpress.com/2009/06/08/satjipto-rahardjo-berhukum-dengan-nurani/
akses Selasa, 14 Januari 2013
http://202.153.129.35/berita/baca/hol17741/mengefektifkan-dua-cara-membersihkan-mafia-peradilan
, minggu, 30 November 2013
[1] H. Asasriwarni dan Nurhasnah, Peradilan Di Indonesia, Hayfa Press,
Padang, 2007, hal.4.
[2] M Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jenderal &
Kepaniteraan Mahkamah Kostitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 191.
[3] M. Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 855.
[4] Magir Manan, Hakim Sebagai Pembaru Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun
ke XXII No. 25 Januari 2007, Hal. 8
[5] Mulyana W. Kusuma, Beberapa Perkembangan Pemikiran dan Masalah Dalam Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1981, hal. 70.
[6] Adnan Buyung
Nasution, Arus Pemikiran
Konstitusionalisme Hukum & Peradilan, Katahasta Pustaka, Jakarta, 2007,
hlm.51.
[7] Uli Parulian Sihombing dkk, Korupsi Peradilan : Wajah Peradilan Kita, Mafia Peradilan, LBH Jakarta, Jakarta, 2004, hal.12.
[8] http://202.153.129.35/berita/baca/hol17741/mengefektifkan-dua-cara-membersihkan-mafia-peradilan
[9] Teten
Masduki, Kasus Endin: Realitas
Perlindungan saksi Versus Impunitas hakim dalam Uli Parulian Sihombing dkk,
Korupsi Peradilan : Wajah Peradilan Kita,
Mafia Peradilan, LBH Jakarta, Jakarta, 2004, hlm. 30.
[10] Darji
Darmodiharjo dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. PT SUN Printing, Jakarta, 1996, hal. 156 .
[13] Soejono
Soekanto. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 5.
[16]
Martin Shapiro dalam Anthon
Freddy Susanto, Semiotika Hukum Dari
Dekonstruksi teks Menuju Progresivitas Makna, PT. Refika Aditama, Bandung,
2005, hal. 159.
[18] Mardjono
Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam
Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
Universitas Andalas, Jakarta, 2007. Hal. 89-90.
[20] Anthon
Freddy Susanto. Wajah Peradilan Kita
Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan,
Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. PT Refika Aditama, Bandung, 2004,
hal.47.
[21] Soerjono
Soekanto. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1980, hal. 101.
[22] Alvin
S. Johnson yang diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora. Sosiologi Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 2.
[24] Anthon
Feddy Susanto, Hukum: Dari Consilience
Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 124.
[25] Bambang
Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya
Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Pres, Yogyakarta, 2006, hal. 31.
[28]
Sijamto. Beberapa Pengertian di Bidang
Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 24.
[33]
David N. Schiff, Hukum
Sebagai Suatu Fenomena Sosial, Dikutip dari Adam Podgorek & Christopher
J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap
Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal 252-253.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar