Rabu, 27 Agustus 2014

Penegakan Hukum Di Pengadilan




Penegakan Hukum Di Pengadilan Dikaitkan Dengan Sosiologi Hukum
Oleh : Budi Harman, SH.




A.    LATAR BELAKANG

Peradilan merupakan suatu sistem atau proses penegakan hukum dan keadilan. Proses memberikan keadilan dilakukan oleh hakim di Pengadilan dengan cara menerima, memeriksa dan memutuskan serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, sesuai dengan aturan hukum acara. Dengan proses tersebut maka hukum yang dilanggar dapat ditegakkan kembali, dan pada akhirnya keadilan bisa ditegakkan.[1]
Peradilan (judiaciary, rechtspraak) berpaut dengan fungsi pemberian keadilan (justice, gerechtgheid) dilakukan oleh Pengadilan atau badan peradilan (court, rechtbank). Fungsi Pemberian keadilan lazim disebut rechts prekendefunctie. Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia (RI), Peradilan diselenggarakan oleh Kekuasaan Kehakiman, disebut pula Kekuasaan Peradilan, la puissance de jugger, judiciary power. Pasal 24 ayat (1) UUD NKRI tahun 1945 (redaksi baru hasil perubahan) menetapkan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum.[2]
Kehadiran lembaga peradilan dalam kehidupan masyarakat tidak hanya sekedar menerima dan menyelesaikan sengketa, akan tetapi mengandung makna filosofis yang lebih dalam dari itu yakni pengadilan bertindak sebagai wali masyarakat.[3] Oleh karena itu, hakim yang berfungsi dalam peradilan itu harus berperan dan bertindak sebagai wali dan bapak yang berbudi luhur kepada setiap anggota masyarakat pencari keadilan. Setiap anggota masyarakat yang teraniaya atau hak dan kepentingannya dilanggar oleh pihak lain, pengadilan melalui tangan hakim harus memberi perlindungan sesuai dengan ketentuan hukum dan rasa keadilan yang berlaku. Hakim harus berpegang teguh kepada prinsip negara hukum, yang menempatkan hukum yang berlandaskan Pancasila diatas segala-galanya sesuai dengan supremasi hukum yakni harus ditempatkan diatas segala kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Memutus menurut hukum merupakan tugas pertama dan terakhir seorang hakim. Hukum adalah pintu masuk dan pintu keluar setiap putusan hakim[4]. Oleh karena itu, hakim perlu memahami bahwa pekerjaannya bukanlah sebagai pegawai negeri sipil lainnya. Melainkan lebih dari itu, sebagai orang yang memperhatikan kebutuhan sosial, kebutuhan masyarakat dan syarat-syarat hukum yang memainkan peran yang strategis untuk memilih berdasarkan keadilan.
Ada hal yang menarik dari penegakan hukum saat ini. Bahwa hakim dalam memutuskan perkara banyak melakukan manuver-manuver hukum, yang kadang kala hal tersebut bila dilihat bertentang dengan aturan yang telah ada. Hal inilah yang terjadi pada Peninjauan Kembali (PK) oleh Kejaksaan dalam Kasus Pidana. Dimana Hakim Agung, mengabulkan PK Kejaksaan tersebut dan menghukum para terdakwa. Padahal bila kita lihat dalam Pasal 163 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dinyatakan bahwa “yang berhak mengajukan peninjauan kembali, yakni terpidana atau ahli warisnya”.
Bila dikaitkan dengan adagium di atas, terlihat jelas bahwa pasal tersebut sudah jelas bahwa yang dapat mengajukan PK hanya terpidana atau ahli warisnya dan Jaksa tidak mempunyai hak yuridis untuk mengajukan PK. Oleh karena itu hakim tidak perlu melakukan penafsiran terhadap pasal tersebut. Penafsiran yang dilakukan oleh Hakim Agung tersebut sungguh mengebiri hak terdakwa untuk mendapatkan suatu keadilan dan  kepastian hukum.
Disamping itu, pengadilan dijadikan pasar. Kenapa dikatakan pasar, karena disana terdapat transaksi tawar menawar. Objek dari yang ditawarkan adalah pasal yang akan diputuskan dalam amar putusan. Dalam transaksi jual beli pasal tersebut tidak hanya menyangkut dua pihak saja (hakim dan terdakwa), melainkan untuk melakukan transaksi tersebut menggunakan jasa perantara, seperti panitera, jaksa dan advokat. Hal tersebut jamak diketahui bila ingin hukuman ringan. Hal senada juga diungkapkan oleh Mulyana W. Kusuma[5], bahwa pengendalian sosial-formal dan informal atas pelaksanaan penegakan hukum kurang. Membuka peluang untuk terjadinya perdagangan hukum seperti issu-issu mafia peradilan, bisnis putusan dan sebagainya. 
Praktek Peradilan di Indonesia sampai saat ini menunjukkan bahwa moralitas para penegak hukum mulai dari polisi, advokat, jaksa, hakim atau badan panitera atau staf di Pengadilan, sudah sampai pada titik yang mengkhawatirkan. Banyak diantara mereka yang tidak bisa dilepaskan dari praktek korupsi dan mafia peradilan. Istilahnya pada saat ini sangat sulit sekali mencari aparat penegak hukum yang benar-benar bersih. Penilaian masyarakat bahwa sistem peradilan kita sudah bobrok terlihat dari mencuatnya kasus-kasus yang terjadi belakangan ini.[6]
Pengadilan bukan lagi sebagai “rumah keadilan” melainkan sebagai “bursa keadilan”. Pengadilan dijadikan bursa untuk mencari penawar tertinggi untuk “membeli” keadilan. Hakim dan Jaksa dan Polisi memainkan peranan sebagai penjual keadilan di dalam sebuah sandiwara, sementara Advokat memainkan peranan sebagai pembeli keadilan. Jadi lengkaplah sudah sandiwara pengadilan sebagai sebuah bursa yang menjual aneka jenis keadilan dan hukum.[7]
Kita belum mendengar Mahkamah Agung (MA) melakukan langkah progresif untuk memecati para hakim nakal. Sebagian besar hakim nakal hanya diberi sanksi berupa larangan menangani perkara atau menjadi hakim nonpalu. Sejak dahulu seperti itu. Dunia peradilan dibersihkan dengan cara yang usang dan formalistis. Sampah yang mestinya dibuang, tapi hanya dipinggirkan. Tak ada perubahan. Pantas jika lembaga yudisial tetap pada wibawanya yang rendah, dicibir bibir sosial. Kalau hakim tak bermoral tetap dipelihara sama halnya menimbun sampah. Dunia peradilan kita kini ibarat tubuh manusia yang berpenyakit komplikatif. Ada kanker, tumor, diabetes, sakit liver, hipertensi dan lain-lain, bahkan usus-ususnya ditumbuhi varises serta kurap. Penyakit peradilan kita dimulai dari penyakit korup polisi, jaksa, advokat (pengacara) dan hakim, ditambah lagi hobi masyarakat berduit untuk merampas keadilan dengan cara membeli melalui jalur-jalur mafioso tersebut.[8]
Sementara korupsi peradilan memang memiliki sejumlah faktor yang saling kait mengkait. Tapi paling tidak ada tiga faktor utama yang menentukan[9]. Pertama, masalah transparansi pelayanan umum dan administrasi Pengadilan. Masalah ini gejalanya muncul dalam bentuk-bentuk putusan-putusan pengadilan ganda atau pemalsuan putusan, surat sakti untuk menggagalkan eksekusi putusan, penunjukan hakim yang dilatarbelakangi favoritisme dan sebagainya.


B.     PERMASALAHAN.
Berdasarkan hal diatas, penulis menarik untuk membahas lebih mendalam untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum di pengadilan dalam upaya memperoleh keadilan dikaitkan dengan Sosiologi Hukum.

C.    PEMBAHASAN.
1.      Pengertian Keadilan dan Penegakan Hukum.
Pada zaman Romawi kita kenal paham-paham tentang keadilan, antara lain: Summum ius, summa iniura, bahwa keadilan yang tertinggi adalah ketidak adilan yang tertinggi, maksudnya bahwa di dunia ini tidak akan diperdapat keadilan yang sebenarnya, sebab kemungkinan saja keadilan yang tertinggi itu bagi seseorang, tetapi bagi orang lain adalah ketidak adilan tertinggi[10].
Asas lain dari hukum Romawi dikatakan: Justitia est contans et perpetua voluntas ius suum quique tribuendi, artinya keadilan adalah kehendak yang tetap dan tak ada akhirnya, untuk memberi pada tiap-tiap orang, apa yang menjadi haknya. Pengertian ini diperoleh dari ajaran Ariestoteles. Selanjutnya dikatakan, Juris praecepta sunt haec; honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere, artinya peraturan-peraturan dasar hukum adalah hidup dengan patut tidak merugikan orang lain, memberi pada orang lain, apa yang menjadi bagiannya[11]. Pemaparan paham di atas, hanya sebagai pandangan untuk melihat dari beberapa aspek apa yang dinamakan dengan keadilan tersebut tanpa penulis harus mengikuti apa yang disebut dengan adil. Karena penulis berpandangan bahwa keadilan tersebut berbeda bagi setiap orang.
Theory of Justice yang diperkenalkan oleh Aristoteles, teori ini terdiri dari distributive justice dan teori coreective justice atau teori remedial justice[12]. Teori distributive justice memberi petunjuk tentang pembagian kehormatan dan barang-barang kepada masing-masing orang, menurut tempatnya di masyarakat. Keadilan ini menghendaki perlakuan yang sama terhadap mereka yang sama menurut hukum. Kalau kita gunakan teori ini sebagai alat analisis dalam implementasi perlindungan terhadap anak akibat perceraian orang tua, maka perlakuan terhadap anak baik yang orang tuanya bercerai ataupun tidak bercerai adalah sama. Sedangkan teori coreective justice atau teori remedial justice pada intinya adalah ukuran dari prinsip-prinsip teknis yang mengatur penerapan hukum. Dengan kata lain coreective justice keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tak mengingat jasa-jasa perorangan. Teori ini digunakan untuk sebagai dasar bagaimana pelaksanaan perlindungan terhadap anak akibat perceraian. Sehingga, apa yang dicita-citakan persamaan dihadapan hukum dapat terwujud.
Sedangkan untuk teori penegakan hukum perlu dijelaskan bahwa penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan pengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup[13].
Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila tidak ada keserasian antara tritunggal nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidak serasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup[14].
Nilai yang dimaksud dalam kaitan ini adalah segala sesuatu yang berharga, oleh karena itu hak asasi manusia merupakan hal yang penting untuk melindungi anak supaya tumbuh dan berkembang dengan baik. Pengertian kaidah adalah kaidah hukum, dimana seperti diketahui bahwa yang membedakan antara kaidah yang ada dan kaidah hukum adalah bahwa dalam kaidah hukum adanya sanksi. Maksud dari perilaku adalah bagaimana sikap masyarakat terhadap penerapan nilai dan kaidah hukum yang sedang berjalan. Apabila ketiganya tidak dapat berjalan dengan baik maka dapat menimbulkan gangguan-ganguan dalam masyarakat.
 Lebih lanjut Soerjono Soekanto menjelaskan tentang beberapa unsur atau faktor yang mempengaruhi penegakan hukum:  Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:
1.  Faktor hukumnya sendiri, yang dalam tulisan ini akan dibatasi undang-undang saja.
2.  Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3.   Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5.  Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup[15].

2.      Perubahan Hukum Dan Masyarakat
Dalam kehidupan masyarakat senantiasa terdapat perbedaan antara pola-pola perikelakuan atau tata-kelakuan yang berlaku dalam masyarakat dengan pola-pola perikelakuan yang dikehendaki oleh norma-norma (kaidah) hukum. Hal ini dapat menyebabkan  timbulnya  suatu masalah berupa kesenjangan  sosial  sehingga pada  waktu tertentu cenderung  terjadi  konflik  dan ketegangan-ketegangan sosial yang tentunya dapat  mengganggu jalannya  perubahan masyarakat sebagaimana arah  yang  dikehendaki. Keadaan demikian terjadi oleh karena adanya ketertinggalan hukum yang relatif tidak mampu mengimbangi perubahan masyarakat (perubahan hukum tidak secepat perubahan  masyarakat bersama segenap kepentingannya).
Hukum tidak dapat diciptakan atas dasar kehendak pribadi atau golongan etile atau penguasa, jika hukum tersebut hendak diterapkan secara konsekuen dan efektif. Hukum lazimnya diciptakan atas dasar pemikiraan-pemikiran kearah mana suatu masyarakat berkembang? apakah sudah memerlukan aturan baru? masalah apa saja yang timbul dalam kehidupan masyarakat  masa kini?
kesemuanya ini perlu disesuaikan. Perlu diketahui bahwa kecenderungan perubahan hukum senantiasa menantikan dan tergantung pada perubahan yang terjadi pada tubuh masyarakat. lagi pula masyarakat tidak ubahnya seperti sistem yang dinamik yang secara terus menerus mengalami perubahan-peruba-han. Sementara itu hukum dibentuk/diciptakan sebagai alat pengendali yang relatif statis. inilah sebabnya  maka perkembangan hukum selalu nampak tertinggal dari perubahan masyarakat;  jika tidak keberadaan hukum yang dibuat atas dasar kehendak penguasa tadi tidak akan bermanfaat, bahkan dapat meresahkan masyarakat.
Hukum yang diciptakan diharapkan dapat dijadikan pedoman (standard) dalam bertindak bagi masyarakat, kendatipun pada masa tertentu hukum harus dihapuskan karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kehendak masyarakat. Cirinya adalah jika pada masa tertentu hukum sudah mulai tidak dipatuhi lagi (dilanggar), lantaran hukum dianggap tidak lagi dapat menjamin kepentingan masyarakat; paling tidak hukum sudah dianggap sebagai penghambat untuk mendapat kemudahan dalam  mencapai  tujuan, terutama dibidang kesejahteraan. Terlebih  lagi jika  penerapan  hukum itu tidak sesuai dengan  masalah  yang sedang  dihadapi oleh masyarakat masa kini,  karena mungkin pihak  penegak hukum sendiri tidak mampu memberi  contoh  dan tidak mampu mematuhi hukum yang berlaku. Dengan demikian maka tidak mengherankan jika norma hukum itu tidak  lagi  efektif untuk digunakan sebagai alat pengendali masyarakat agar patuh dan menyesuaikan diri dengan hukum yang berlaku itu.
Menurut Soerjono Soekanto (1986), bahwa hukum tertinggal,  apabila hukum tersebut tidak dapat  memenuhi  kebutuhan masyarakat  pada  suatu waktu dan tempat  tertentu.  Soejono mencontohkan  perkembangan   teknologi   bidang Nuklir    untuk  maksud   damai,   ternyata  dapat   pula   menghancurkan   manusia  karena  tidak terkendali, terutama oleh karena hukum sebagai kendalinya  tidak sanggup mengatur (atau belum sempat  diatur oleh hukum-hukum baru tentang pernukliran tersebut).

3.      Keterlibatan Hukum Dalam Permasalahan
Secara sosiologis masyarakat menganggap bahwa hukum merupakan alat kontrol, penangkal dan pelindung dari berbagai macam bentuk ancaman kejahatan. Tidak ada  satupun manusia dalam hidup ini yang tidak menghendaki keamanan, dan  oleh karenanya disengaja atau tidak keterlibatan hukum senantiasa ada dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat.
Penyelesaian masalah atau sengketa melalui keterlibatan (campur tangan) hukum merupakan suatu proses institusi integrasi sosial. Jika proses ini berlangsung terus dan banyak mendapatkan pengakuan akan manfaatnya, maka penciptaan metodologi dan teori hukum yang berkaitan erat dengan inter-pretasi prinsip keadilan semakin mendesak untuk dikembangkan. Prinsip pengembangan metodologi dan  teori  hukum  ini adalah suatu kepentingan perlindungan hukum dan perluasan kepentingan per-individu yang berorientasi pada kesadaran dan saling pengertian yang terlepas dari kesengajaan untuk menyalahgunakan hukum. 
Upaya pengembangan metodologi dan teori hukum yang didasarkan pada hasil penelitian empiris merupakan jaminan tambahan terhadap tujuan perlindungan hukum. Oleh karena itu tidak sedikit anggapan bahwa ilmu hukum (legal science) itu bertujuaan untuk menginterpretasikan norma-norma (sosial) agar dapat memelihara stabilitas masyarakat dan terhindar dari berbagai ancaman kejahatan dari pihak atau kelompok lain.   
Secara sosiologis tujuan hukum adalah untuk meredam dan menyelesaikan suatu konflik; memelihara keamanan dan ketenteraman masyarakat sehingga diharapkan integritas sosialnya tetap terjamin. Mengenai tindakan atau aplikasi hukum  perlu dilandasi  dengan  moral  positif dan iman  yang  kuat. Jika tidak,  maka  penyelesaian konflik dan sengketa  tidak akan dapat diselesaikan secara konsensus, kendatipun telah melalui institusi-institusi hukum. Alasan sosiologisnya bahwa hampir tidak ada keputusan pengadilan yang menangani suatu kasus dapat dijadikan standard keadilan, karena dalam setiap keputusan selalu dipengaruhi oleh unsur-unsur pribadi dan banyak lagi variabel yang mempunyai nilai ganda. Seorang terdakwa tidak  akan pernah merasa rela secara tulus  untuk  meringkuk dalam  penjara dikala ia tahu bahwa hakim dan  aparat  hukum selalu luput dari ancaman hukum, kendatipun sama-sama  pernah melakukan pelanggaran hukum. 
Masyarakat beranggapan bahwa penyalahgunaan dalam penerapan  hukum adalah lebih kejam dari pada  pelanggaran  hukum karena membela diri dari ancaman hukum yang  sewenang-wenang. Banyak masyarakat yang menuduh bahwa peranan hakim dalam mengambil keputusan kurang mempertimbangkan titik sosial dari kondisi perubahan masyarakat dan latar belakang empiris suatu perkara.
Bentuk alamiah penerapan hukum menurut interpretasi umum masyarakat adalah terletak pada besarnya kadar keseimbangan aturan-aturan normatif dengan moral yang senantiasa konflik. Interpretasi ini lebih banyak dipengaruhi oleh unsure perasaan dan kepercayaan hukum-hukum yang menganut paham bahwa pengunaan hukum tidak terbatas. Padahal perkembangan hukum senantiasa mengarah pada kekhususan bidang yang kadang-kadang tidak mencakup kegunaan terhadap pemecahan masalah umum. Kendala ini tercermin pada perbedaan standard kontrol  hukum  yang  berlaku terhadap individu. 
Ada penerapan hukum yang melalui ukuran sosial, logika, moral dan ada pula yang diarahkan pada ukuran sikap mental atau perasaan yang erat kaitannya dengan kepentingan tertentu. Namun demikian kekhawatiran ini tidak perlu berkepanjangan, karena dengan sedikit mengurangi dominasi masing ukuran aplikasi hukum dan pertimbangan pengurangan unsur pertentangan antaraperaturan satu sama lainnya, maka  interpretasi negatif masyarakat akan semakin paralel (sama) dan umum.
Menurut Habermas (dikutip dari Adam P dan C.J.  Whelan 1987:206), bahwa Aturan-aturan hukum dari sudut pandang seorang pelaku, dijalankan untuk mendukung orientasi bersama kearah tindakan dan tujuan dari pelaku itu bersama pelaku-pelaku lainnya. Dikatakan bahwa kitapun bisa memandang hukum sebagai suatu aturan yang dilembagakan yang relatif tidak tergantung atau bebas dari   tindakan-tindakan,  sikap dan motof-motif tertentu yang dimiliki individu. 
Harapan dari teori Habermas tersebut banyak mendapat tanggapan dari kalangan ahli hukum, akan tetapi kelemahan kebanyakan kritik yang dilontarkan sedikit kurang mempertimbangkan segi empiris. Akibatnya mereka menjadi kurang mampu untuk menerangkan peristiwa dan kondisi sosial, sehingga ukuran dalam suatu aplikasi hukum menjadi sedikit kabur.
Jika prinsip penerapan hukum berlangsung terus dengan tidak  dilandasi oleh operasionalisasi empiris, maka hukum akan segera menjadi usang. Untuk mengurangi kelemahan ini para ahli sosiologi menawarkan cara operasionalisasi empiris, yaitu cara pengukuran terhadap nilai-nilai dan norma-norma hukum berdasarkan fakta dalam kehidupan masyarakat. Para ahli sosiologi bertugas mengembangkan dan   menjelaskan berbagai peristiwa sosial sebagai bahan prediksi ekspresi emosi dan perilaku yang berhubungan dengan aplikasi hukum.

4.      Hakim dan Pengadilan
Hakim merupakan suatu profesi, namun profesi hakim ini menjadi ajang perebutan antara kelompok-kelompok pekerja. Oleh karena itu para manusia yang mau menjadi hakim hanya memandang hakim sebagai suatu pekerjaan. Konsekuensinya hakim di pengadilan dalam melaksankan tugasnya hanya memandang tugasnya sebagai pekerjaan bukan sebagai profesi yang mempunyai tanggungjawab untuk menetapkan kebenaran yang sesungguhnya untuk menemukan keadilan.
Hakim sebagai profesi hukum, menempatkan kasus atau masalah sebagai bagian penting dari hukum dan salah satu yang utama penegakan hukum dalam masyarakat. Hakim berhubungan dengan sentalitas pemahaman mereka sebagai pemutus perkara atau masalah. Artinya disini, hakim ditempatkan di tempat yang utama dalam masyarakat. Hakim adalah tempat penyimpan hukum, yaitu sebagai orang bijak yang hidup.
Keadilan dan sikap tidak memihak sangatlah penting bagi eksistensi pengadilan, karena merupakan jangtung utama dari proses hukum. Martin Sharpiro, menjelaskan mengenai bentuk ideal pengadilan dalam 4 element, yaitu:        
a.       Hakim yang idependen
b.      Menggunakan norma – norma yang telah ada sebelumnya.
c.        Mencari cara lawan kerja lawan.
d.      Untuk mencapai sebuah keputusan dikotomi dimana satu dari kelompok yang berselisih dinyatakan benar menurut hukum dan pihak lainnya dinyatakan salah menurut hukum[16].
Pengadilan hadir untuk memenuhi beberapa fungsi, yakni: sebagai legitimasi dari otoritas politik, interprestasi dari tujuan utama kebijaksanaan, saluran dari peran dan harapan serta sosialisasi. Oleh karena itu, keputusan pengadilan merupakan hasil dari sebuah rangkaian kesatuan penyelesaian perselisihan dan penjatuhan hukuman bagi yang melakukan tindakan hukum yang tidak sesuai dengan hukum. Sehinga di pengadilan, hukum dipahami dalam bentuk sebagai kegiatan praktek dan bukan semata-mata aturan dalam buku teks.
Disamping itu, perlu kita soroti disini adalah mengenai pelayanan keadilan di pengadilan. Dimana adanya oknum di pengadilan yang memberikan pelayanan keadilan berdasarkan status, kemampuan ekonomi, kepentingan dan pertemanan yang dijalin yang bermuara pada terbentuknya siklus bahkan kultur penyelesaian perkara. Kemudian tak heran di pengadilan timbul beberapa istilah seperti pengacara bos dan pengacara kere, kasus proyek dan kerja bakti sebagai fenomena pandangan di atas. Istilah tersebut bukanlah istilah baku dalam bahasa Indonesia yang dapat dilihat artinya dalam kamus, tetapi istilah tersebut hanya dapat diartikan dari kenyataan di masyarakat yang mana sering muncul dalam senda gurau atau lelucon praktis di peradilan (hakim, jaksa, advokat dan tersangka/terdakwa).

5.      Distorsi Komunikasi Dalam Menggapai Keadilan Di Pengadilan
Setiap pengadilan merupakan respon terhadap susunan masyarakat yang menjadi landasannya. Pengadilan disini dimaksud sebagai pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu masyarakat. Di dalam masyarakat yang berdasarkan kesepakatan nilai-nilai dimana segenap anggota masyarakat itu menghayati nilai-nilai yang sama, maka pengadilannya tentulah tidak serumit yang terdapat pada masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai yang berbeda. Yang mana pada masyarakat yang kurang terlapis dan kurang komplek akan cenderung untuk memakai pola penyelesaian berupa perukunan. Sedangkan sebaliknya, di dalam masyarakat dengan perlapisan sosial yang tinggi dan lebih komplek, kecenderungannya ada pada penerapan peraturan perundang-undangan[17]. Penggunaan pengadilan negeri dalam menyelesaikan perkara merupakan representasi dari masyarakat yang berlapis tersebut. 
Proses peradilan bertujuan memberikan keadilan atau hak (equty) dengan mempersamakan semua orang di muka hukum (equality before the law). Kritik dan kekurang percayaan terhadap pengadilan pada intinya mengandung tuduhan terjadinya ketidak adilan (injustice)[18]. Hal tersebut karena di dalam penegekan hukum di pengadilan ada faktor manusia, sehingga membawa kita kepada penglihatan mengenai hukum sebagai karya manusia di dalam masyarakat[19].
Keputusan-keputusan terhadap suatu kasus yang diambil dalam proses pengadilan sangat dipengaruhi oleh hasil-hasil selama penyidikan terhadap kasus tersebut. Keputusan yang diambil pada akhirnya ditentukan oleh akhir dari perdebatan antara pihak-pihak yang saling bertentangan yang masing-masing diwakili advokat dan jaksa selain dipengaruhi pula oleh pertimbangan-pertimbangan hakim[20].
Bila kita melihat fenomena tersebut, semua berawal dari adanya distor si komunikasi. Bahwa distorsi komunikasi adalah tidak terserapnya informasi keadilan secara timbal balik, khususnya di antara pengadilan, media dan kemasyarakat. Hal ini sangat kentara apabila kita bicara tentang fungsi media dalam memberikan informasi di seputar pengadilan. Sebuah distorsi muncul tatkala media mencoba menampilkan berita keadilan dengan gaya bahasa yang kurang disenangi pengadilan. Menurut pengadilan media telah memutar balikan fakta, dan tidak menjelaskan segala sesuatu apa adanya. Sementara sudut pandang media, pengadilan hanya dipandang sebagai sebuah lembaga sehari-harinya dapat dieksploitasi untuk konsumsi publik. Bagaimana ini bisa terjadi? 
Penulis melihat disini bahwa kenyataannya pengadilan ditentukan oleh opini umum (opini publik), artinya pengadilan akan terlaksana atas dasar kekuatan opini. 
Contoh kasus prita, dengan adanya sorotan pers, baru ada perhatian dari pejabat yang berwenangan mengenai penegakan hukum di pengadilan. Dimana sebelum mendapat perhatian pers, prita ditahan oleh kejaksaan. Namun setelah mendapat perhatian dari pers dan perhatian khusus dari kandidat calon presiden, Prita diberikan penangguhan penahan. Yang pada akhirnya dalam persidangan Prita dibebaskan dari tuntutan pidana dengan putusan sela pengadilan.
Namun, demikian dalam kasus prita, disamping adanya pengaruh dari media massa, juga dalam penegakan hukum masyarakat belum memahami maksud dari lahirnya undang-undang informasi dan transaksi elektronik. Disinilah terlihat bahwa perubahan-perubahan sosial dan perubahan-perubahan hukum (atau sebaliknya) tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta budayanya, atau mungkin hal sebaliknya terjadi[21].
Perlu untuk diperhatikan bahwa kebenaran itu adalah segala sesuatu yang didukung oleh kekuasaan, atau segala pengesahan yang dibawa oleh masyarakat politik, yakni Negara[22]. Bila pemegang kekuasaan mengatakan itu salah maka salahlah ia, namun sebaliknya bila penguasa mengatakan benar maka benarlah hal tersebut. Oleh karena itu penegak hukum (hakim dan Jaksa) yang diberikan kekuasaan oleh Negara untuk menentukan suatu kebenaran dan kesalahn dalam mempertimbangan kesalahan seseorang harus berdasarkan peraturan perundang-undangan, fakta hukum dan hati nurani.
Oleh karena itu, dalam penegakan hukum di pengadilan, kita perlu merujuk pada pandangan Mr. Trapman dalam suatu rapat Pengacara di Nederland pada tanggal 30 September 1933 telah melukiskan “bahwa pendirian hakim adalah pendirian objektif dari posisi objektif, jaksa adalah pendirian subjektif dari posisi objektif, pengacara adalah pendirian objektif dari posisi subjektif dan terdakwa adalah pendirian subjektif dari posisi subjektif”[23]. Bila hakim kita menerapkan pandangan Mr. Trapman, maka walaupun ada tekanan dari opini publik (pers) hakim tidak akan ragu dalam mengambil keputusan serta tidak akan terpengaruh terhadap opini publik tersebut. Karena putusan hakim di persidangan tidak ditentukan oleh opini publik (pers) tapi fakta hukum dan pembuktian di persidangan.

6.      Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Pembentukan Hukum (Rechtvorming)
Umumnya, hukum dalam Negara modern selalu berkaitan dengan sesuatu yang bersifat formal atau diformalkan, yaitu dibuat menjadi formal oleh lembaga yang memiliki kekuasaan untuk itu, formal juga menunjukan kepada prosedur yang harus dilalui dalam setiap pembuat aturan, termasuk kegiatan penafsiran dan makna yang dihasilkan[24]. Khusus dalam hukum pidana, dalam kajian professional hukum dipandang sebagi teks yang tertutup, yang mana hukum pidana dipahami sebagai teks yang berlaku, mengikat secara formal, dan harus dipatuhi atau ditaati sebagai sebagaimana dogma. Wilayah ini, lebih menekankan kepada pedoman, aturan baku yang berlaku dan mengikat para professional untuk menafsirkan teks hukum positif tersebut. 
Lalu bagaimana peran hakim sebagai penemu hukum dan pembentuk hukum dalam hukum pidana.  Rechtsvinding (penemuan hukum) diartikan bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicarai dan ditemukan. Sedangkan rechtsvorming (pembentukan hukum) di artikan hukumnya tidak ada, oleh karena itu perlu ada pembentukan hukum, sehingga di dalamnya terdapat penciptaan hukum. Pembentukan hukum berkonotasi hukumnya tidak ada atau sekalipun hukumnya sudah ada tetapi tidak jelas atau kurang lengkap, sehingga hakim harus menciptakan hukum baru sebagai penyempurna dan atau pengganti hukum yang sudah ada[25].
Dalam hukum pidana hakim hanya berfungsi sebagai penemu hukum, hakim tidak dapat berfungsi sebagai pembentuk hukum. Karena bila hakim sebagai pembentuk hukum, maka bertentangan dengan asas legalitas. Oleh karena itu hakim sebagai pencipta hukum dalam perkara pidana tidak dapat dilakukan. Karena dalam suatu negara maka hukum formal tersebut dibentuk oleh lembaga yang ditunjuk untuk itu, yang mana di Indonesia diserahkan kepada lembaga legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat).
Dalam proses di pengadilan, inputnya adalah perkara atau masalah dan proses di dalamnya adalah proses penemuan hukum dan outputnya adalah putusan pengadilan. Dalam melakukan penemuan hukum, hakim harus melakukan suatu penafsiran (interprestasi). Dalam interprestasi, khususnya interprestasi hukum tentu saja yang sangat diandalkan adalah standar konstruksi (pengembangan).  Bila hakim dalam melakukan interprestasi tidak memiliki suatu standar konstruksi tentunya akan memperkosa teks-teks formal tersebut yang akhirnya pada perdagangan pasal.
Bagaimana hakim harus memutus atau melakukan interprestasi, itulah esensi utama yang hendak dikejar dalam penegakan hukum. Hakim tidak saja dituntut untuk memahami hukum yang telah dipositifkan, tetapi lebih dari sekedar itu hakim harus pula memahami makna yang terkandung di balik hukum yang telah dipositifkan tersebut (asas, nilai-nilai dan lain-lain). Seorang hakim harus sadar akan ideologi dan subjektivitasnya sendiri, sehingga keduanya tidak akan mengintervensi proses interprestasi.
Maka wajar bila hakim tidak melakukan suatu interprestasi dengan  baik akan menimbulkan permasalahan dalam masyarakat. Suatu hal mengejutkan dengan adanya konstatering oleh beberapa sarjana hukum senior kita yang mengatakan bahwa sejak kurang lebih tahun 1960 sampai sekarang banyak dijumpai putusan-putusan pengadilan yang nilai putusannya sangat jelek. Akibat dari hal tersebut sudah dapat diterka yaitu banyaknya perkara-perkara yang naik banding ke Pengadilan Tinggi sampai kasasi ke Mahkamah Agung[26].
Oleh karena itu, untuk mengungkap makna teks sebuah aturan tertentu, hakim harus mulai dengan pembacaan awal, yang kemudian dilanjutnkan dengan pembacaan analitis, agar kunci dan gagasan-gagasan sentral yang terdapat pada teks dapat dibuka. Melalui gagasan sentral ini, hakim diharapkan dapat menemukan makna yang tersembunyi dan mengembangkan makna-makna baru. Namun perlu di perhatikan bahwa dalam melakuka interpresti ada adagium hukum yang mengungkapkan bahwa interprestasi tidak diperlukan apabila teks sudah jelas (interpretation cessat in claris). Seperti dalam kasus Peninjauan Kembali (PK) kasus BLBI yang menyangkut terdakwa Syahril Sabirin dan Joko S Tjandra.  Hari Kamis Tanggal 11 Juni 2009, Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 07 PK/Pid.Sus/2009 Tanggal 8 Juni 2009 Atas Nama Terpidana Syahril Sabirin dan Putusan Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 Tanggal 11 Juni 2009 Terpidana Joko S Tjandra. Mahkamah Agung memberikan keputusan mengabulkan PK (Peninjauan Kembali) yang diajukan oleh Kejaksaan. Padahal bila kita lihat dalam Pasal 163 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dinyatakan bahwa “yang berhak mengajukan peninjauan kembali, yakni terpidana atau ahli warisnya”.
Dalam Pasal 163 KUHAP telah jelas norma yang mengaturnya, bahwa yang dapat mengajukan peninjauan kembali adalah terpidana atau ahli warisnya. Bila hal ini diberikan ruang penemuan hukum (rechtsvinding) akan menimbulkan suatu manuver hukum yang mengkacaukan sistem acara peradilan pidana. Sehingga tak terdapat suatu kepastian yang jelas. Atau bila kita persingkat, terlihat tidak adanya suatu kepastian hokum.
Untuk menghindari kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan, fungsi menemukan hukum hanya dapat dilakukan dengan instrument atau cara-cara tertentu. Instrument atau cara menemukan hukum mencakup metode penafsiran, konstruksi hukum, dan argumentum a centratio. Setiap metode yang dipergunakan dengan memperhatikan keperluan dan urutan logis yang diperlukan untuk menemukan makna yang tepat agar tujuan undang-undang atau peraturan perundang-undangan dapat tercermin secara tepat, benar, adil serta wajar (reasonable) dalam memecahkan suatu peristiwa hukum.

7.      Kontrol dalam Penegakan Hukum di Pengadilan
Seorang penegak hukum yang bekerja dengan nurani (with consciensce) akan menghasilkan putusan yang berbeda dibandingkan yang bekerja hanya berdasarkan  book-rule atau “mengeja teks”. Setiap kasus adalah unik, yang membutuhkan nurani untuk menanganinya. Berhukum itu tidak hanya berbasis teks, tetapi juga akal sehat dan nurani. Pujangga besar Inggris, William Shakes Peare, dalam salah satu dramanya pernah menyuruh seorang aktor mengatakan, “The firt thing we have to do is to kill all the lawyer”[27].
Oleh karena itu, dalam penegakan hukum perlu adanya kontrol. Kontrol di artikan dengan pengawasan. Sujamto menyebutkan bahwa pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas dan pekerjaan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak[28]. Adapun pengendalian itu pengertiannya lebih  forceful dari pada pengawasan, yaitu sebagai segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pelaksanaan tugas atau pekerjaan berjalan dengan semestinya[29].  Alo Liweri mengunkapkan bahwa kontrol adalah kewenangan atau kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga tertentu (lebih tinggi) dalam melakukan pengawasan terhadap lembaga di bawahnya, sering dikatakan proses kontrol demikian disebut kontrol secara formal yaitu, menunjukan kepada sebuah kewenangan dalam organisasi atau birokrasi[30].
Pengawasan atau kontrol dalam organisasi dan birokrasi biasanya dipilih dalam dua kategori, yaitu kontrol internal dan eksternal. Dalam mekanisme internal, pengawasan dilakukan oleh perangkat-perangkat dalam organisasi yang berfungsi pengawasan. Dalam hal ini, pengawasan dilakukan seseorang atasan kepada bawahan (pengawasan melekat) dikategorikan sebagai pengawasan melalui mekanisme internal. Adapun dalam mekanisme eksternal, pengawasan dilakukan oleh organ-organ denga fungsi pengawasan yang kedudukannya terlepas dari anggota atau organisasi yang diawasi.
Namun disini penulis paparkan bahwa pengontrolan yang lebih baik datang dari diri. Oleh karena itu, setiap tubuh menjadi objek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih, dikoreksi untuk menjadi patuh, bertanggung jawab dan terampil. Namun, kuasa dari masa yang satu ke masa yang lain, selalu menyentuh tubuh, hanya cara, ukuran dan sasaran kontrolnya saja yang senantiasa berubah[31]. 
Foucalt mensinyalir, teknik penguasa tubuh selama paruh kedua abad abad -18 mendasarkan skala kontrol–nya bukan pada penguasaan tubuh dalam bentuk masal melainkan pada kuasa yang menyentuh individu secara teliti dan mendeteil. Kuasa dengan sendirinya menghasilkan mekanisme gerak, tingkah laku, bentuk fisik dan kecepatan. Menghasilkan sesuatu yang lembut, teliti, di atas tubuh yang aktif. Selanjutnya, yang menjadi target atau sasaran kontrol bukanlah elemen tingkah laku dan bahasa tubuh yang bermakna (seperti penyiksaan melukiskan kuasa raja), melainkan sifat ekonomis dan efisiensi gerak serta keteraturan internal tubuh. Latihan menjadi satu-satunya upacara penting. Akhirnya cara yang dipih untuk mencapai kontrol adalah sesuatu mekanisme penaklukan tetap (konstan) yang menghasilkan relasi patuh berguna. Mekanisme penaklukan seperti inilah dinamakn disiplin[32].
Hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial dan berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial. Menurut Schiff, analisa ini berpijak pada kemapuan hukum untuk mengontrol perilaku-perliku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian di dalam perilaku-perilaku tersebut.
Sering dikatakan bahwa salah satu dari karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan-aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial, dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakuti-nakuti agar orang tetap patuh pada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan. Sudah tentu mungkin ada orang-orang yang tunduk kepada hukum bukan karena takut, melainkan ada alasan-alasan lain. Selain itu, tidak cukup bagi kita untuk mengukur sampai sejauh mana fungsi kontrol dari hukum dapat berjalan dengan hanya melihat banyak orang yang patuh pada aturan-aturan hukum yang telah ditentukan[33].

D.    KESIMPULAN DAN SARAN
Tulisan ini sampailah pada pelabuhan yang menyimpulkan bahwa pengakan hukum di pendilan perlu kita perhatikan dari tingkah laku dari manusia yang melaksankan fungsinya sebagai hakim, jaksa dan advokat. Yang mana dalam melaksankan kewajibannya tersebut dimungkinkan salah dan menyimpang dari aturan hukum.
Peyimpangan dan kesalahan dari tindakan manusia yang melaksankan fungsi sebagai hakim, jaksa dan advokat terlihat dari adanya pasar pasal di pengadilan. Dimana pengadilan dijadikan ajang transaksi jual beli (pasar) oleh manusia yang melaksankan fungsi sebagai hakim, jaksa dan advokat untuk menjual belikan pasal, yang pada akhirnya terdakwa bebas atau dihukum dengan hukum yang seringannya.
Penyimpangan dari penegakan hukum di pengadilan, karena tidak terlepas dari celah dari aturan yang telah ciptakan. Oleh karena itu untuk mengatasi hal tersebut perlu adanya kontrol atau pengawasan. Baik penawasan yang dating dari dalam institusi penegak hukum atau di luar institusi penegak hukum. Melihat kondisi di atas, penulis memberikan saran dalam penegakan hukum di pengadilan semestasinya:
  1. Pembaharuan hukum. Pemerintah perlu meneruskan usaha pembaharuan dan pembinaan hukum secara kesinambungan sesuai dengan dinamika masyarakat
  2. Pembinaan organisasi. Pembinaan organisasi penegakan hukum pada tahap ini ditangani dalam bentuk pembentukan aparatur penegak hukum yang harus melaksanakan berdasarkan pembenahan sambil terus berjalan. Pembenahan aparatur ini meliputi: penegakan mengenai lingkup tugas, fungsi dan peran masing-masing aparat, penetapan dan pencapaian kualitas dan kuantitas aparatur yang disertai dengan sistem pendidikan dan latihannya, pemantapan susunan organisasi, penegasan hubungan tata cara kerja dan sistem control serta pemenuhan persediaan saran.
  3. Pembinaan tugas hukum sejak memangku jabatan tentang: pengetahuan ilmu hukum, tujuan penegakan hukum, hal-hal yang boleh dilakukan dalam melaksanakan tugas, pembinaan moral dan mental, memperbaiki kesejahteraan, pengawasan oleh atasan terus menerus dalam rangka mewujudkan pengekan hukum yang bersih dan berwibawa. 
  4. Peningkatan pengawasan yang sangat besar pengaruhnya di bidang penegakan hukum, yang mencakup: pengawasan intern (secara  build-in control), pengawasan ekstern (secara horizontal) dan pengawasan oleh masyarakat (social control).
  5. Pembinaan sikap masyarakat untuk taat pada hukum dan kesadaran atas hak dan kewajiban serta keberanian untuk mempertahankannya, perlu dilakukan secara berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA
Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme Hukum & Peradilan, Katahasta Pustaka, Jakarta, 2007.
Alo liliweri, Sosiologi Organisasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Alvin S. Johnson yang diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora. Sosiologi Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Anthon Feddy Susanto, Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
__________________, Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi teks Menuju Progresivitas Makna,  PT. Refika Aditama, Bandung, 2005.
___________________, Hukum: Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, PT Refika Aditama, Bandung, 2007.
Bagirmanan, Hakim Sebagai Pembaru Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 25 Januari 2007.
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan. UII Pres, Yogyakarta, 2006.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. PT SUN Printing, Jakarta, 1996.
David N. Schiff.  Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial. Dikutip dari Adam Podgorek & Christopher J. Whelan. Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum. Balai Pustaka, Jakarta, 1984.

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajahmada University Press, Yogyakarta, 2003.
H. Asasriwarni dan Nurhasnah, Peradilan Di Indonesia, Hayfa Press, Padang, 2007.
Jhony Ibrahim. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Cet II, Bayumedia Publising, Malang, 2006.
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Andalas, Padang, 2007.
Michel Faucault, Disiplin Tubuh, Bengkel Individu Modern. LKiS, Yogyakarta, 1997.
M Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Kostitusi RI, Jakarta, 2006.
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
Mulyana W. Kusuma, Beberapa Perkembangan Pemikiran dan Masalah Dalam Sosiologi Hukum, Alumni, Bandung, 1981.
Satjipto Raharjo, Sisi lain dari Hukum di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta, 2003.
_____________. Hukum dan Masyarakat. Angkasa, Bandung, 1980.
Sijamto. Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
Soetiksno.. Filsafat Hukum Bagian 1. Pradnya Paramitha, Jakarta, 2002.
Soejono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
______________. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1980.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Sudibyo Triatmodjo.. Potret Kehidupan Hukum. Alumni, Bandung, 1981.
Uli Parulian Sihombing dkk, Korupsi Peradilan : Wajah Peradilan Kita, Mafia Peradilan, LBH Jakarta, Jakarta, 2004.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Artikel dan Internet




[1]   H. Asasriwarni dan Nurhasnah, Peradilan Di Indonesia, Hayfa Press, Padang, 2007, hal.4.
[2]   M Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Kostitusi RI, Jakarta, 2006, hal. 191.
[3]   M. Yahya Harahap,  Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 855.
[4]  Magir Manan, Hakim Sebagai Pembaru Hukum, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun ke XXII No. 25 Januari 2007, Hal. 8
[5]  Mulyana W. Kusuma, Beberapa Perkembangan Pemikiran dan Masalah Dalam Sosiologi Hukum,  Alumni, Bandung, 1981, hal. 70.
[6] Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme Hukum & Peradilan, Katahasta Pustaka, Jakarta, 2007, hlm.51.
[7]   Uli Parulian Sihombing dkk, Korupsi Peradilan : Wajah Peradilan Kita, Mafia Peradilan, LBH Jakarta, Jakarta, 2004, hal.12.
[8]  http://202.153.129.35/berita/baca/hol17741/mengefektifkan-dua-cara-membersihkan-mafia-peradilan
[9] Teten Masduki, Kasus Endin: Realitas Perlindungan saksi Versus Impunitas hakim dalam Uli Parulian Sihombing dkk, Korupsi Peradilan : Wajah Peradilan Kita, Mafia Peradilan, LBH Jakarta, Jakarta, 2004, hlm. 30.
[10] Darji Darmodiharjo dan Shidarta.  Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. PT SUN Printing, Jakarta, 1996, hal. 156 .
[11]  Ibid, hal 157
[12]  Soetiksno. Filsafat Hukum Bagian 1. Pradnya Paramitha, Jakarta, 2002, hal 14-15. 
[13] Soejono Soekanto. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 5.
[14] Ibid., hal. 7.
[15] Ibid., hal. 8.
[16] Martin Shapiro dalam Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum Dari Dekonstruksi teks Menuju Progresivitas Makna,  PT. Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 159.
[17] Satjipto Rahardjo. Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980, hal 52-53
[18] Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Andalas, Jakarta, 2007. Hal. 89-90.
[19]  Satjipto Rahardjo. Op.cit, hal. 48
[20] Anthon Freddy Susanto. Wajah Peradilan Kita Konstruksi Sosial Tentang Penyimpangan, Mekanisme Kontrol dan Akuntabilitas Peradilan Pidana. PT Refika Aditama, Bandung, 2004, hal.47.
[21] Soerjono Soekanto. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1980, hal. 101.
[22] Alvin S. Johnson yang diterjemahkan oleh Rinaldi Simamora. Sosiologi Hukum. PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hal. 2.
[23] Sudibyo Triatmodjo, Potret Kehidupan Hukum, Alumni, Bandung, 1981, hal. 69.
[24] Anthon Feddy Susanto, Hukum: Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 124.
[25] Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, UII Pres, Yogyakarta, 2006, hal. 31.
[26] Sudibyo Triatmodjo, Op., cit., hal. 70.
[27] http://jakarta45.wordpress.com/2009/06/08/satjipto-rahardjo-berhukum-dengan-nurani
[28] Sijamto. Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 24.
[29] Ibid, hal 24
[30] Alo liliweri, Sosiologi Organisasi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal. 116.
[31] Michel Faucault, Disiplin Tubuh, Bengkel Individu Modern. LKiS, Yogyakarta, 1997, hal. 75.
[32] Ibid., hal. 76.
[33] David N. Schiff, Hukum Sebagai Suatu Fenomena Sosial, Dikutip dari Adam Podgorek & Christopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal 252-253.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar