KAJIAN POLITIK HUKUM
UNDANG-UNDANG No. 18 Tahun 2003 Tentang ADVOKAT
Oleh : Budi Harman, SH.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pendahuluan
Negara Republik Indonesia adalah
Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik
Indonesia 1945. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar
Republik Indonesia 1945. Untuk mewujudkan ketentuan tersebut, diperlukan adanya
pengembangan system hukum nasional. Salah satu aktor yang sangat penting dalam
usaha pengembangan system hukum nasional adalah profesi advokat.
Dilihat dari sejarahnya perjalanan profesi
advokat di Indonesia, tidak terlepas dari keterkaitannya dengan perubahan
masyarakat, terlebih sejak reformasi pada tahun 1998. Profesi Advokat sebagai officium nobile bukanlah suatu gelar
kehormatan yang diberikan masyarakat atau penguasa, akan tetapi predikat
tersebut muncul karena tanggung jawab yang dibebankan kepada advokat.
Advokat sebagai nama resmi profesi
dalam sistem peradilan Indonesia pertama-tama ditemukan dalam ketentuan susunan
kehakiman dan kebijaksanaan mengadili (RO). Advokat itu merupakan padanan dari
kata Advocaat (Belanda) yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk
menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) atau
sarjana hukum. Lebih jauh lagi, sesungguhnya akar kata itu berasal dari kata
latin. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau hampir di setiap bahasa di
dunia kata (istilah) itu dikenal.[1]
Agar dapat menjalankan tugas
profesinya dengan baik demi tegaknya hukum dan keadilan, maka diperlukan
pemahaman terhadap ketentuan hukum secara umum dan khususnya Undang-undang
Advokat serta ketentuan-ketentuan lainnya yang berkaitan dengan profesi
advokat, sehingga dapat bertindak secara professional.
B.
Politik Hukum
Politik hukum menurut Mahfud MD[2]
adalah: “Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum
yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan
penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Sedangkan Bintan[3]
mengemukakan pengertian politik hukum adalah adalah kebijakan hukum (legal
policy), tidak hanya sekedar das sollen (keinginan, keharusan) atau das
sein (kenyataan), tetapi ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan
materi pasal-pasalnya maupun dalam implementasi penegakannya.
Sadjipto Rahardjo mendefinisikan
politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk
mencapai suatu tujuan social dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang
cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu;
1) Tujuan apa yang hendak dicapai
melalui system yang ada;
2) Cara-cara apa dan yang mana yang
dirasa paling paling baik untuk dicapai dalam mencapai tujuan tesebut;
3) Kapan waktunya dan melaui cara
bagaimana hukum itu perlu diubah;
4) Dapatkah suatu pola yang baku dan
mapan dirumuskan untuk membantu dan memeutuskan proses pemilihan tujuan serta
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.[4]
Pada tahun 1986, Soedarto
mengemukakan bahwa politik hukum merupakan upaya untuk mewujudkan
peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu.[5]
Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan
politik hukum adalah kebijaksanaan yang berkaitan denagn pembentukan hukum dan
penerapannya, atau sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai
hukum yang berlaku di wilahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang
dibangun.[6]
Menurut
Padmo Wahyono Politik Hukum Adalah Kebijaksanaan dasar dari Penyelenggara
Negara yang menentukan bentuk, isi maupun arah-arah dari hukum yang akan
dibentuk dan tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan pada
sesuatu.[7]
Definisi atau pengertian politik
hukum bervariasi. Namun dengan meyakini adanya persamaan substantive antara
berbagai pengertian yang ada, studi ini mengambil pengertian bahwa politik
hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional
oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi; pertama, pembangunan hukum yang
berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat
sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasa fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dari
pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan
pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan
dibangun dan ditegakkan.[8]
C.
Konfigurasi Politik
Politik hukum pada
suatu negara menurut Bagir Manan ada yang bersifat tetap (permanent) dan ada yang bersifat temporer. Politik hukum bersifat permanent adalah sikap hukum yang akan
menjadi dasar kebijakan pembentukan dan penegakan hukum, sedangkan politik
hukum yang bersifat temporer adalah merupakan kebijaksanaan yang ditetapkan
dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan Solly Lubis mengemukakan
bahwa di era reformasi politik hukum merupakan garis atau dasar kebijakan untuk
menentukan hukum mana yang seharusnya berlaku dalam Negara.
Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk
politik, maka politik akan sangat menetukan hukum sehingga meletakkan politik
sebagai variable bebas dan hukum sebagai variable terpengaruh. Dengan
pernyataan hipotesis yang lebih spesifik bahwa konfigurasi politik suatu Negara
akan melahirkan karakter produk hukum tertentu di Negara tersebut.[9]
Untuk menentukan perbedaan politik hukum berdasarkan
konfigurasi dapat digunakan dua indikator yaitu konfigurasi politik demokratis
dan konfigurasi politik otoriter.
1. Kofigurasi Politik Demokratis
Menurut
Yuliandri[10],
Konfigurasi politik demokratis adalah susunan politik yang membuka kesempatan
bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan
umum, melalui wakil-wakil rakyat. Sedangkan Konfigurasi politik otoriter adalah
susunan sistem politik yang lebih memungkinkan Negara berperan sangat aktif
serta mengambil hamper seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan Negara, yang
didominasi oleh elit-elit politik.
Istilah demokrasi merupakan istilah
ambigouos,[11]
pengertiannya tidak tunggal sehingga berbagai Negara yang mengklaim diri
sebagai negara demokrasi telah menempuh rute-rute yang berbeda.[12]
Menurut Carter dan Hertz, demokrasi liberal ditandai oleh
adanya pembatasan-pembatasan terhadap
tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan
kelompok-kelompok dengan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib,
dan damai melalui alat-alat perwakilan rakyat yang bekerja efekti. Demokrasi
juga memberikan toleransi terhadap sikap yang berlawanan, menurut keluwesan,
dan kesediaan untuk berkesperimen. Pembatasan terhadap wewenang pemerintah
menyebabkan pemerintah tidak boleh turut campur dalam segi tertentu kehidupan
warganya yang berarti pula bahwa pegawai pemerintah harus tunduk pada rule of law sebagai tindakan orang biasa
dan hanya melaksanakan wewnangnya sesuai dengan yang diberikan oleh
undang-undang. Pencalonan dan pemilihan anggota-anggota lembaga perwakilan
politik berlangsung fair, sehingga
terbuka kesempatan untuk membahas persoalan-pesoalan, mengkritik, dan
mengkristalisasikan pendapat umum. Dengan demikian, kebebasan mengeluarkan
pendapat, berserikat dan berkumpul merupakan hak politik dan sipil yang paling
dasar. Demokrasi juga ditandai oleh sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan,
lebih mengutamakan diskusi dibandingkan paksaan dalam penyelesaian
perselisihan, sikap menerima legitimasi system pemerintahan yang berlaku, dan
penggunaan metode eksperimen.[13]
2.
Konfigurasi Politik Otoriter
Konfigurasi politik
otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan Negara berperan
sangat aktif serta mengambil hamper seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan
Negara, yang didominasi oleh elit-elit politik.
Otoriter/totaliterisme,
menurut Carter dan Herz, ditandai oleh dorongan Negara untuk memaksakan
persatuan, menghapuskan oposisi terbuka dengan suatu pimpinan yang merasa
dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan pemerintah,
dan pimpinan tersebut menjalankan kekuasaan melalui suatu elite yang kekal. Di
balik tindakan-tindakan pemerintah yang seperti itu terletak suatu ideologi
atau doktrin yang membenarkan konsentrasi, mencakup pembatasan atas kekuasaan
individu dan kelompok, sebagai alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan
terakhir yang pasti atau tujuan tertentuyang menurut mereka sudah ditakdirkan
oleh sejarah.[14]
Menurut
Mahfud MD[15]
perbedaan antara konfigurasi politik demokratis dengan konfigurasi politik
otoriter adalah:
Konfigurasi Politik Demokratis
|
Konfigurasi Politik Otoriter
|
1. Parpol dan parlemen
kuat,menentukan haluan /kebijakan Negara
|
Parpol dan parlemen lemah, di bawah kendali eksekutif
|
2. Lembaga eksekutif (pemerintah)
netral
|
lembaga eksekutif (pemerintah) intervensionis
|
3. Pers bebas, tanpa sensor dan
pembredelan
|
pers terpasung, diancam sensor, dan pembredelan
|
4. Hukum yang dilahirkan adalah
responsive
|
Hukum yang dilahirkan adalah ortodok
|
Dengan demikian
perbedaan politik hukum berdasarkan kofigurasi politik ada dua yaitu hukum yang
bersifat demokratis dan hukum yang bersifat otoriter. Di Indonesia, terdapat
percampuran kedua model konfigurasi tersebut, karena dalam suatu produk hukum
ada yang mencerminkan keinginan rakyat dan dan ada juga yang menbcerminkan
keinginan pemerintah. Produk hukum di Indonesia terdapat dalam pasal 7 (1) UU
No.12 tahun 2011 menyebutkan Hirarkhi perundang-undangan Indonesia adalah:
1. UUD
1945
2. Tap
MPR
3. UU/Perpu
4. Peraturan
Pemerintah
5. Peraturan
Presiden
6. Peraturan
Daerah Provinsi
7. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota
Dengan adanya hirarkhi
perundang-undangan tersebut, maka seluruh produk politik hukum bentuknya
mengacu pada ketentuan pasal 7 (1) UU No.12 tahun 2011, dan tidak boleh ada
pertentangan satu sama lainnya.
D.
Karakter Hukum
1.
Karakter Hukum Responsif
Ada dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya
sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya, yaitu pembangunan hukum
“ortodoks” dan pembangunan hukum responsif.
Hukum Responsif yaitu hukum sebagai fasilitator dari
berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Hukum Responsif lahir dari
konfigurasi politik yang Demokratis, sehingga produk Hukumnya berkarakter
populistik yang berorientasi pada hasil dan tujuan-tujuan yang akan dicapai
hukum. Cirri khas hukum responsive adalah mencari nilai-nilai yang tersirar dan
terdapat dalam peraturan serta kebijakan dan dapat diinterprestasikan secara
fleksibel. Proses pembuatan hukumnya bersifat Partisipatif, yakni mengandung
semua elemen masyarakat, aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak
dari masyarakat, fungsi hukumnya bisa menjadi nilai yang telah terkristalisasi
dalam masyarakat.[16]
Pada strategi pembangunan hukum responsive, peranan bersar
terletak pada lembaga peradilan yang disertai partsipasi luas kelompok social
atau individu-individu di dalam masyarakat. Strategi pembangunan hukum yang
ortodoks bersifat postivis-instrumentalis,
yaitu menjadi alas yang ampuh bagi pelaksanaan ideology dan program Negara.
Hukum merupakan nyata visi social pemegang kekuasaan. Sedangkan strategi
pembangunan hukum responsive, akan menghasilkan hukum yang bersifat responsive
terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok social dan individu dalam
masyarakatnya.[17]
2.
Karakter hukum Represif
Hukum Represif yaitu hukum dijadikan sebagai pelayan
kekuasaan yang represif ( lebih menekan), sehingga hukum diminta bantuannya
untuk mengarahkan masyarakat kepada pelaksanaan keingina penguasan (pemerintah
atau kekuasaan lain yang mempengaruhinya) serta masyarakat harus menampung dan
melaksanakan akibat-akibat yang timbul dari hukum yang represif tersebut. [18]
Dalam
buku yang berjudul Law and Society in
Transition: Toward Responsive Law, Nonet dan Selznick menjelaskan hubungan
antara hukum dan penindasan. Dikatakannya, masuknya pemerintah ke dalam pola
kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum, berhubungan erat dalam masalah
kemiskinan sumber daya elite pemerintah. Penggunaan hukum yang bersifat
menindas, terdapat pada masyarakat yang masih berada pada tahap pembentukan
tatanan politik tertentu. Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak terikat pada
suatu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan kekuasaan. Jika
demikian, maka pihak yang berkuasa, dengan baju otoritas, mempunyai kewenangan
yang sah menuntut agar warga Negara mematuhi kekuasaan yang bertahta. Penggunaan
kekuasaan tersebut bisa melahirkan karakter hukum yang menindas maupun karakter
hukum otonom, tergantung pada tahap pembentukan tata politik masyarakat yang
bersangkutan.
Pada strategi pembangunan hukum
ortodoks, peranan lembag-lembaga Negara (pemerintah dan parlemen) sangat
dominan dan menentukan arah perkembangan hukum. Sebaliknya,
E.
Orde Baru dan Ciri-ciri Rezim
Otoriter
Meletusnya
G 30 S/PKI pada tahun 1965 telah meruntuhkan konfigurasi politik era demokrasi
terpimpin yang bercorak otoritarian Soekarno diberhentikan secara
konstitusional oleh MPRS karena dianggap tidak dapat memberi pertanggung
jawaban atas musibah nasional G 30 S/PKI, sedangkan PKI dibubarkan dan
dinyatakan sebagai partai terlarang karena telah mengkhianati negara. Militer
tampil sebagai pemeran utama dalam pentas politik pada awal era Orde Baru,
suatu era yang dipakai sebagai nama resmi pengganti era demokrasi terpimpin
atau era Orde Lama.
Berpijak
pada tuntutan tersebut, maka kelompok koalisi Orde Baru dengan pilar utamanya
militer (Angkatan Darat), dalam kebijakan menciptakan tertib politik yang
dikendalikan secara ketat, merumuskan kebijakan sebagai berikut :
1. Menciptakan politik yang bebas dari
konflik ideologis dan berdasarkan consensus. Hal ini mendorong pemerintah
membatasi politik kepartaian, membatasi gerak partai politik dan badan-badan
perwakilan, serta menerapkan politik konsensus.
2. Membatasi partisipasi majemuk.
Partisipasi popular harus terutama diarahkan pada pelaksanaan pembangunan yang
dianut oleh elit politik.[19]
Menurut Liddle sebagaimana dikutip
Mahfud MD pada awal kelahirannya, pemerintah Orde Baru tidak pernah menjanjikan
demokrasi dan kebebasan di masa mendatang.[20]
Sesuatu yang berbeda dengan penguasa
otoriter Orde Lama yang biasanya mempraktekkan diktatorial dan tindakan represif
sambil menjanjikan demokrasi dan kebebasan di masa mendatang. Orde baru sendiri secara resmi didefinisikan
sebagai “tatanan kehidupan Negara dan bangsa yang diletakkan kembali pada
pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945”.[21]
Ciri otoritarian pada konfigurasi politik Orde Baru terihat pada:[22]
1. System kepartaian yang homogenik,
suatu system yang menurut Giovanni Sartori dan Afan Gaffar, tidak kompetitif
karena yang sangat dominan dan menentukan agenda politik nasional adalah partai
yang mendukung dan didukung kuat oleh pemerintah, yaitu Golkar.
2. Peranan eksekutif sangat dominan,
yang ditandai dengan tindakan-tindakan intervesionis dan pembentukan
jaringan-jaringan korporitas serta dominannya eksekutif dalam pembentukan
berbagai produk hukum.
3. Kebebasan pers yang relative
terbatas.
Banyak identifikasi yang mencirikan
realita kepolitikan Orde Baru berdasarkan berbagai pendekatan seperti; beamstaat, bureaucratic polity, negara pasca
colonial, patriomoniolisme Jawa, negara organis, bureaucratic authoritarian
regim, korporatisme, dan integralistik. Tetapi semua identifikasi itu
memberikan kualifikasi yang jelas bahwa Orede Baru bukanlah rezim yang
demokratis.[23]
F.
Orde Reformasi dan Ciri-ciri Rezim
Demokratis
Sejalan
dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik, karakter produk hukum juga
berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka
produk-produk hukum yang akan dilahirkannya berkarakter responsive. Karena
semakin kental muatan hukum dengan masalah hubungan kekuasaan, semakin kuat
pula pengaruh konfigurasi politik terhadap hukum tersebut.
Begitu
rezim Orde Baru jatuh, maka hukum-hukum juga langsung diubah dengan
pembongkaran terhadap asumsi-asumsi serta penghilangan atas kekerasan-kekerasan
politik, antara lain;[24]
1. Perubahan berbagai UU
a. UU tentang Partai Politik dan
Golongan Karya diganti dengan UU tentang kepartaian
b.
UU tentang pemilu dibongkar dengan menghapus porsi anggota
DPR dan MPR yang diangkat oleh presiden.
c.
UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dirombak
sejalan dengan perubahan UU tentang pemilu.
d.
UU tentang Pemerintahan Daerah juga diganti, dari yang
semula berasas otonomi nyata dan bertanggungjawab menjadi berasas otonomi luas,
dari yang secara politik sentralistik menjadi desentralistik.
2. Penghapusan Tap MPR
Tap MPR yang tadinya merupakan
peraturan yang berada di bawah UUD dalam hirarki perundangan-undangan
digantikan oleh UU/Perpu yang semula menempati derajat ketiga melalui UU No 10
tahun 2004. Penghapusan Tap MPR pada saat itu dianggap sebagai kekeliruan dan
kekhilafan legislative, oleh karena ada 11 Tap MPR yang telah ada yang wajib
diberlakukan, sehingga dikeluarkan UU No 12 tahun 2012 tentang peraturan Perundang-undangan yang
mengembalikan kembali Posisi Tap MPR sebagai salah satu hierarki perundang-undangan
dengan memberlakukan Tap MPR yang telah ada tanpa menghasilkan Tap MPR baru.
3. Perubahan UUD
Perubahan UUD 1945 merupakan agenda
atau produk utama reformasi. Alasannya, krisis multi dimensi yang menimpa
Indonesia disebabkan oleh system politik yang otoriter sehingga untuk
memperbaikinya harus dimulai dari perubahan system politik agar menjadi
demokratis. Untuk membangun system politik yang demokratis haruslah dilakukan
amandemen terhadap UUD 1945 karena system politik yang otoriter dibangun selalu
masuk dari celah-celah yang ada pada UUD 1945 tersebut. UUD 1945 di amandemen sebanyak 4 kali.
BAB II
PENGATURAN TENTANG ADVOKAT PADA MASA
REFORMASI
Periode
Tahun 1998-2000 adalah tahun menculnya era reformasi, yang bertumpukan kepada
usaha-usahan demokratisasi yang lebih mengedepankan hak asasi manusia,
kebebasan dan transparansi. Setelah mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya
pada tahun 1998 Indonesia memasuki era reformasi yang bermaksud membangun
kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.[25]
Dalam
usaha mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan
bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan
instansi penegak hukum lainnya yakni kejaksaan dan kepolisian.
Kendati
keberadaan dan fungsi advokat sudah berkembang dari sejak zaman kolonial. Namun
masih dirasakan diskriminatifnya dan tidak sesuai lagi dengan ssstem
ketatanegaraan yang berlaku serta sekaligus untuk memberikan landasan yang
kokoh dalam pelaksanaan tugas pengabdian advokat dalam kehidupan masyarakat
yang merupakan amanat dalam Pasal 38 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 35 tahun 1999.
Bahwa
dengan dibentuknya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, maka sudah
semakin jelas diatur secara komprehensif yang melingkupi profesi advokat dengan
tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian advokat seperti dalam
pengangkatan, pengawasan dan penindakan serta ketentuan pengembangan organisasi
advokat yang kuat dimasa mendatang. Disamping itu diatur pula berbagai prinsip
dalam penyelenggaraan tugas profesi advokat khususnya dalam peranannya
menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip Negara hukum pada
umumnya.
B.
Pengaturan Tentang Advokat.
Dalam
bahasa Indonesia, sangat banyak istilah advokat ini. Ada yang disebut Pengacara
atau prokol, Pembela, ataupun penasihat hukum. Di Indonesia pada awalnya
advokat ini disebut “Penasihat Hukum”. Istilah ini mengacu pada beberapa
undang-undang yang berlaku seperti pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Undang-undang Mahkamah Agung, dan Undang-undang peradilan umum. Lambat
laun sebutan “penasihat hukum” mulai bergeser. Dan menjadi baku setelah
dikeluarkannya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat[26].
Untuk
lebih memahami apa yang dimaksud advokat ini dapat kita lihat dalam Pasal 1
angka (1) Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan :
“Advokat adalah orang yang berprofesi member jasa hukum, baik di dalam maupun
di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang
ini “.
Adapun
persayaratan yang dimaksud adalah harus seorang sarjana yang berlatar belakang pendidikan
tinggi hukum dan telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat. Jadi untuk
menjadi seorang advokat tidak saja mesti berlatar belakang pendidikan hukum
tetapi harus mengikuti pendidikan khusus profesi advokat serta lulus ujian
profesi advokat yang diadakan oleh organisasi advokat.
Disamping
itu, organisasi advokat berfungsi sebagai pengawas advokat yang bertujuan agar
advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi
advokat dan peraturan perundang-undangan. Kode etik advokat merupakan hukum
tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi, tetapi
membebani kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab
dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, Negara atau
masyarakat dan terutama kepada diri sendiri.
Bahwa
apabila advokat dalam menjalankan profesinya melanggar kode etik advokat, maka
terhadap dirinya dapat dikenakan sanksi dapat berupa pelanggaran ringan yang
hanya berupa teguran dan pemberhentian sebagai advokat, bila mana perbuatannya
merupakan pelanggaran berat.
C.
Analisa.
Dalam perkembangannya Undang-undang No. 18 tahun
2003 tentang Advokat tidaklah begitu mulus jalannya. Banyaknya kalangan advokat
beranggapan masih lemahnya pengaturan advokat didalam undang-undang tersebut.
Sebagai buktinya Undang-undang tersebut sudah beberapa kali diujikan (judicial
review) terhadap Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 ke Mahkamah
Konstitusi (MK).
Adapun keberatan-keberatan tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut : [27]
Pertama,
urgensi keberadaan Undang-undang advokat hingga saat ini tidak didahului dan
didasari atas suatu kesepakatan yang bulat dan tuntas diantara kalangan profesi
advokat sendiri. Sebagian kalangan advokat yang setuju dengan adanya Undang-undang
bependapat Undang-undang ini sangat diperlukan untuk menjaga kesetaraan profesi
advokat dengan aparat penegak hukum. Sedangkan bagi
mereka
yang tidak setuju menyatakan keberadaan undang-undang hanya akan memberi
peluang bagi negara (pemerintah) untuk melakukan intervensi terhadap profesi
advokat.
Kedua,
pembahasan undang-undang Advokat sarat dengan kepentingan politik. Hal ini
terlihat dalam hasil akhir pasal-pasal pengaturan mengenai rangkap jabatan dan
sarjana syariah. Hasil akhir pasal-pasal itu mencerminkan adanya
kompromi-kompromi politik di antara anggota DPR. Hal ini terlihat dalam Pasal 3
ayat (1) huruf e jo penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa lulusan
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan lulusan Perguruan Tinggi Hukum
Militer dapat menjadi advokat tanpa harus melalui pendidikan di fakultas-fakultas
hukum reguler.
Bahwa hal
ini dapat menimbulkan konsekuensi rusaknya standarisasi pendidikan bagi setiap
orang yang ingin menjadi advokat. Apalagi, dicurigai pengaturan ini tidaklah
didasarkan alasan yang kuat melainkan sebagai kompensasi (bargain
politik) dari diperbolehkannya sarjana lulusan syariah untuk menjadi advokat
secara penuh.
Namun
disisi lain berpendapat mendukung sekali dengan adanya undang-undang No. 18
tahun 2003 tentang advokat. Karena undang-undang No. 18 tahun 2003 masih baru
dan merupakan puncak perjuangan advokat.
Dilihat
dari sisi substansi maupun dari sisi kepastian hukum, undang-undang ini sudah
lebih komprehensif dan memadai. Hal ini ditandai dengan adanya organisasi
advokat yang mengawasi profesi advokat dan adanya ketentuan pidana serta sanksi
terhadap advokat yang melanggar kode etik profesi.
D.
Kesimpulan
Bahwa oleh karenanya, dengan
dibentuknya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, maka sudah semakin
jelas diatur secara komprehensif yang melingkupi profesi advokat dengan tetap
mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian advokat seperti dalam
pengangkatan, pengawasan dan penindakan serta ketentuan pengembangan organisasi
advokat yang kuat dimasa mendatang. Disamping itu diatur pula berbagai prinsip
dalam penyelenggaraan tugas profesi advokat khususnya dalam peranannya
menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip Negara hukum pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Akademia Permata, Padang, 2013.
Aminuddin,
Kekuatan Islam Dan Pergulatan Kekuasaan
Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1999
Ari
Yusuf Amir, Strategi Bisnis Jasa Advokat,
Navila Idea, Yogyakarta, 2008
Bintan
Regen Saragih, Politik Hukum, CV.
Utomo, Jakarta,
2006.
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta,
1990.
Luhut
M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of
Court, Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Djambatan, Jakarta, 1996.
M. Amien Rais,”Pengantar” dalam Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES, Jakarta,
1986
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,
PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Pulitik, PT.Gramedia, Jakarta, 1977.
_____________, Masalah Kenegaraan, PT.Gramedia, Jakarta, 1980.
Padmo Wahyono, Penjabaran
Pancasila Dalam Peraturan Perundangan, Niagara, Jakarta, 1985.
Sadjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.
Teuku
Mohammad Radhie, memantapkan kerangka
landasan tata hukum Nasional, BPHN, Jakarta,1980 .
Materi
kuliah Politik Hukum Universitas andalas,Padang, oleh Prof. Yuliandri, tahun
2008
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7581/banyak-mengandung-kelemahan-ruu-advokat-diminta-untuk-direvisi- diakses tanggal 25 Januari 2014
[1] Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court, Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi,
Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 1.
[4] Sadjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1991, hal. 352-353
[5] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
1986, hal. 151
[6] Teuku Mohammad Radhie, memantapkan kerangka landasan tata hukum
Nasional, BPHN, Jakarta, 1980, hal.
16.
[7] Padmo Wahyono, Penjabaran Pancasila Dalam Peraturan
Perundangan, Niagara, Jakarta, 1985, hal. 8.
[8] Moh. Mahfud Md, Op.cit
hal.17
[9] Moh. Mahfud MD,
op.cit.,hal.22
[10] Materi kuliah Politik Hukum Universitas andalas, Padang, oleh Prof.
Yuliandri, tahun 2008
[11] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Pulitik, PT.Gramedia,
Jakarta, 1977,hal.50
[12] M. Amien Rais,”Pengantar” dalam Demokrasi dan Proses
Politik, LP3ES, Jakarta, 1986
[13] Gwendolen
M.Carter dan John H.Herz, Demokrasi dan
Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiarjo, Masalah Kenegaraan, PT.Gramedia,
Jakarta, 1980, hal. 86-87
[14] Ibid.,
[15] Mahfud MD, Lok., Cit, hal. 7.
[16] Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Akademia Permata, Padang,
2013, hlm 42
[17] Moh. Mahfud MD, op.cit.,hal.29
[18] Ibid.,
[19] Aminuddin, Kekuatan Islam Dan Pergulatan Kekuasaan Di Indonesia Sebelum Dan
Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Pustaka
Pelajar, Jakarta, 1999, hal. 2
[20] Moh Mahfud MD, op.cit, hal. 31
[21] Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta,
1990, hal.140
[22] Moh. Mahfud, MD, op.cit.,hal.363
[23] Ibid..hal.306
[24] Ibid.,hal. 374
[25] Ahmad Muliadi, Op.cit., hal. 37
[26] Ari Yusuf Amir, Strategi Bisnis Jasa Advokat, Navila
Idea, Yogyakarta, 2008, hal. 16-18.
[27] http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol7581/banyak-mengandung-kelemahan-ruu-advokat-diminta-untuk-direvisi- diakses tanggal 25 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar