Rabu, 27 Agustus 2014

Kajian Politik Hukum Undang-Undang Advokat




KAJIAN POLITIK HUKUM
UNDANG-UNDANG No. 18 Tahun 2003 Tentang ADVOKAT
Oleh : Budi Harman, SH.




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pendahuluan
Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Untuk mewujudkan ketentuan tersebut, diperlukan adanya pengembangan system hukum nasional. Salah satu aktor yang sangat penting dalam usaha pengembangan system hukum nasional adalah profesi advokat.
 Dilihat dari sejarahnya perjalanan profesi advokat di Indonesia, tidak terlepas dari keterkaitannya dengan perubahan masyarakat, terlebih sejak reformasi pada tahun 1998. Profesi Advokat sebagai officium nobile bukanlah suatu gelar kehormatan yang diberikan masyarakat atau penguasa, akan tetapi predikat tersebut muncul karena tanggung jawab yang dibebankan kepada advokat.
Advokat sebagai nama resmi profesi dalam sistem peradilan Indonesia pertama-tama ditemukan dalam ketentuan susunan kehakiman dan kebijaksanaan mengadili (RO). Advokat itu merupakan padanan dari kata Advocaat (Belanda) yakni seseorang yang telah resmi diangkat untuk menjalankan profesinya setelah memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) atau sarjana hukum. Lebih jauh lagi, sesungguhnya akar kata itu berasal dari kata latin. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau hampir di setiap bahasa di dunia kata (istilah) itu dikenal.[1]
Agar dapat menjalankan tugas profesinya dengan baik demi tegaknya hukum dan keadilan, maka diperlukan pemahaman terhadap ketentuan hukum secara umum dan khususnya Undang-undang Advokat serta ketentuan-ketentuan lainnya yang berkaitan dengan profesi advokat, sehingga dapat bertindak secara professional.

B.     Politik Hukum
Politik hukum menurut Mahfud MD[2] adalah: “Legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Sedangkan Bintan[3] mengemukakan pengertian politik hukum adalah adalah kebijakan hukum (legal policy), tidak hanya sekedar das sollen (keinginan, keharusan) atau das sein (kenyataan), tetapi ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi pasal-pasalnya maupun dalam implementasi penegakannya.
Sadjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan social dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar, yaitu;
1)      Tujuan apa yang hendak dicapai melalui system yang ada;
2)      Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling paling baik untuk dicapai dalam mencapai tujuan tesebut;
3)      Kapan waktunya dan melaui cara bagaimana hukum itu perlu diubah;
4)      Dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dan memeutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.[4]
Pada tahun 1986, Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum merupakan upaya untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.[5]
            Teuku Mohammad Radhie mendefinisikan politik hukum adalah kebijaksanaan yang berkaitan denagn pembentukan hukum dan penerapannya, atau sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.[6]
            Menurut Padmo Wahyono Politik Hukum Adalah Kebijaksanaan dasar dari Penyelenggara Negara yang menentukan bentuk, isi maupun arah-arah dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan criteria untuk menghukumkan pada sesuatu.[7]
Definisi atau pengertian politik hukum bervariasi. Namun dengan meyakini adanya persamaan substantive antara berbagai pengertian yang ada, studi ini mengambil pengertian bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi; pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasa fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.[8]

C.    Konfigurasi Politik
Politik hukum pada suatu negara menurut Bagir Manan ada yang bersifat tetap (permanent) dan ada yang bersifat temporer. Politik hukum bersifat permanent adalah sikap hukum yang akan menjadi dasar kebijakan pembentukan dan penegakan hukum, sedangkan politik hukum yang bersifat temporer adalah merupakan kebijaksanaan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan Solly Lubis mengemukakan bahwa di era reformasi politik hukum merupakan garis atau dasar kebijakan untuk menentukan hukum mana yang seharusnya berlaku dalam Negara.
Dengan menggunakan asumsi dasar bahwa hukum sebagai produk politik, maka politik akan sangat menetukan hukum sehingga meletakkan politik sebagai variable bebas dan hukum sebagai variable terpengaruh. Dengan pernyataan hipotesis yang lebih spesifik bahwa konfigurasi politik suatu Negara akan melahirkan karakter produk hukum tertentu di Negara tersebut.[9] Untuk menentukan perbedaan politik hukum berdasarkan konfigurasi dapat digunakan dua indikator yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.
1.      Kofigurasi Politik Demokratis
Menurut Yuliandri[10], Konfigurasi politik demokratis adalah susunan politik yang membuka kesempatan bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif menentukan kebijakan umum, melalui wakil-wakil rakyat. Sedangkan Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan Negara berperan sangat aktif serta mengambil hamper seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan Negara, yang didominasi oleh elit-elit politik.
Istilah demokrasi merupakan istilah ambigouos,[11] pengertiannya tidak tunggal sehingga berbagai Negara yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi telah menempuh rute-rute yang berbeda.[12]
Menurut Carter dan Hertz, demokrasi liberal ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan  terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok-kelompok dengan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib, dan damai melalui alat-alat perwakilan rakyat yang bekerja efekti. Demokrasi juga memberikan toleransi terhadap sikap yang berlawanan, menurut keluwesan, dan kesediaan untuk berkesperimen. Pembatasan terhadap wewenang pemerintah menyebabkan pemerintah tidak boleh turut campur dalam segi tertentu kehidupan warganya yang berarti pula bahwa pegawai pemerintah harus tunduk pada rule of law sebagai tindakan orang biasa dan hanya melaksanakan wewnangnya sesuai dengan yang diberikan oleh undang-undang. Pencalonan dan pemilihan anggota-anggota lembaga perwakilan politik berlangsung fair, sehingga terbuka kesempatan untuk membahas persoalan-pesoalan, mengkritik, dan mengkristalisasikan pendapat umum. Dengan demikian, kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul merupakan hak politik dan sipil yang paling dasar. Demokrasi juga ditandai oleh sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan, lebih mengutamakan diskusi dibandingkan paksaan dalam penyelesaian perselisihan, sikap menerima legitimasi system pemerintahan yang berlaku, dan penggunaan metode eksperimen.[13]

2.      Konfigurasi Politik Otoriter
Konfigurasi politik otoriter adalah susunan sistem politik yang lebih memungkinkan Negara berperan sangat aktif serta mengambil hamper seluruh inisiatif dalam pembuatan kebijakan Negara, yang didominasi oleh elit-elit politik.
Otoriter/totaliterisme, menurut Carter dan Herz, ditandai oleh dorongan Negara untuk memaksakan persatuan, menghapuskan oposisi terbuka dengan suatu pimpinan yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan pemerintah, dan pimpinan tersebut menjalankan kekuasaan melalui suatu elite yang kekal. Di balik tindakan-tindakan pemerintah yang seperti itu terletak suatu ideologi atau doktrin yang membenarkan konsentrasi, mencakup pembatasan atas kekuasaan individu dan kelompok, sebagai alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan terakhir yang pasti atau tujuan tertentuyang menurut mereka sudah ditakdirkan oleh sejarah.[14]
Menurut Mahfud MD[15] perbedaan antara konfigurasi politik demokratis dengan konfigurasi politik otoriter adalah:
Konfigurasi Politik Demokratis
Konfigurasi Politik Otoriter
1.      Parpol dan parlemen kuat,menentukan haluan /kebijakan Negara
Parpol dan parlemen lemah, di bawah kendali eksekutif

2.      Lembaga eksekutif (pemerintah) netral
lembaga eksekutif (pemerintah) intervensionis
3.      Pers bebas, tanpa sensor dan pembredelan
pers terpasung, diancam sensor, dan pembredelan
4.      Hukum yang dilahirkan adalah responsive
Hukum yang dilahirkan adalah ortodok

Dengan demikian perbedaan politik hukum berdasarkan kofigurasi politik ada dua yaitu hukum yang bersifat demokratis dan hukum yang bersifat otoriter. Di Indonesia, terdapat percampuran kedua model konfigurasi tersebut, karena dalam suatu produk hukum ada yang mencerminkan keinginan rakyat dan dan ada juga yang menbcerminkan keinginan pemerintah. Produk hukum di Indonesia terdapat dalam pasal 7 (1) UU No.12 tahun 2011 menyebutkan Hirarkhi perundang-undangan Indonesia adalah:
1.      UUD 1945
2.      Tap MPR
3.      UU/Perpu
4.      Peraturan Pemerintah
5.      Peraturan Presiden
6.      Peraturan Daerah Provinsi
7.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Dengan adanya hirarkhi perundang-undangan tersebut, maka seluruh produk politik hukum bentuknya mengacu pada ketentuan pasal 7 (1) UU No.12 tahun 2011, dan tidak boleh ada pertentangan satu sama lainnya.

D.    Karakter Hukum
1.      Karakter Hukum Responsif
Ada dua macam strategi pembangunan hukum yang akhirnya sekaligus berimplikasi pada karakter produk hukumnya, yaitu pembangunan hukum “ortodoks” dan pembangunan hukum responsif.
Hukum Responsif yaitu hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Hukum Responsif lahir dari konfigurasi politik yang Demokratis, sehingga produk Hukumnya berkarakter populistik yang berorientasi pada hasil dan tujuan-tujuan yang akan dicapai hukum. Cirri khas hukum responsive adalah mencari nilai-nilai yang tersirar dan terdapat dalam peraturan serta kebijakan dan dapat diinterprestasikan secara fleksibel. Proses pembuatan hukumnya bersifat Partisipatif, yakni mengandung semua elemen masyarakat, aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat, fungsi hukumnya bisa menjadi nilai yang telah terkristalisasi dalam masyarakat.[16]
Pada strategi pembangunan hukum responsive, peranan bersar terletak pada lembaga peradilan yang disertai partsipasi luas kelompok social atau individu-individu di dalam masyarakat. Strategi pembangunan hukum yang ortodoks bersifat postivis-instrumentalis, yaitu menjadi alas yang ampuh bagi pelaksanaan ideology dan program Negara. Hukum merupakan nyata visi social pemegang kekuasaan. Sedangkan strategi pembangunan hukum responsive, akan menghasilkan hukum yang bersifat responsive terhadap tuntutan-tuntutan berbagai kelompok social dan individu dalam masyarakatnya.[17]

2.      Karakter hukum Represif
Hukum Represif yaitu hukum dijadikan sebagai pelayan kekuasaan yang represif ( lebih menekan), sehingga hukum diminta bantuannya untuk mengarahkan masyarakat kepada pelaksanaan keingina penguasan (pemerintah atau kekuasaan lain yang mempengaruhinya) serta masyarakat harus menampung dan melaksanakan akibat-akibat yang timbul dari hukum yang represif tersebut. [18]
Dalam buku yang berjudul Law and Society in Transition: Toward Responsive Law, Nonet dan Selznick menjelaskan hubungan antara hukum dan penindasan. Dikatakannya, masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum, berhubungan erat dalam masalah kemiskinan sumber daya elite pemerintah. Penggunaan hukum yang bersifat menindas, terdapat pada masyarakat yang masih berada pada tahap pembentukan tatanan politik tertentu. Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak terikat pada suatu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan kekuasaan. Jika demikian, maka pihak yang berkuasa, dengan baju otoritas, mempunyai kewenangan yang sah menuntut agar warga Negara mematuhi kekuasaan yang bertahta. Penggunaan kekuasaan tersebut bisa melahirkan karakter hukum yang menindas maupun karakter hukum otonom, tergantung pada tahap pembentukan tata politik masyarakat yang bersangkutan.
            Pada strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembag-lembaga Negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dan menentukan arah perkembangan hukum. Sebaliknya,

E.     Orde Baru dan Ciri-ciri Rezim Otoriter
Meletusnya G 30 S/PKI pada tahun 1965 telah meruntuhkan konfigurasi politik era demokrasi terpimpin yang bercorak otoritarian Soekarno diberhentikan secara konstitusional oleh MPRS karena dianggap tidak dapat memberi pertanggung jawaban atas musibah nasional G 30 S/PKI, sedangkan PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang karena telah mengkhianati negara. Militer tampil sebagai pemeran utama dalam pentas politik pada awal era Orde Baru, suatu era yang dipakai sebagai nama resmi pengganti era demokrasi terpimpin atau era Orde Lama.
Berpijak pada tuntutan tersebut, maka kelompok koalisi Orde Baru dengan pilar utamanya militer (Angkatan Darat), dalam kebijakan menciptakan tertib politik yang dikendalikan secara ketat, merumuskan kebijakan sebagai berikut :
1.      Menciptakan politik yang bebas dari konflik ideologis dan berdasarkan consensus. Hal ini mendorong pemerintah membatasi politik kepartaian, membatasi gerak partai politik dan badan-badan perwakilan, serta menerapkan politik konsensus.
2.      Membatasi partisipasi majemuk. Partisipasi popular harus terutama diarahkan pada pelaksanaan pembangunan yang dianut oleh elit politik.[19]                         
Menurut Liddle sebagaimana dikutip Mahfud MD pada awal kelahirannya, pemerintah Orde Baru tidak pernah menjanjikan demokrasi dan kebebasan di masa mendatang.[20]  Sesuatu yang berbeda dengan penguasa otoriter Orde Lama yang biasanya mempraktekkan diktatorial dan tindakan represif sambil menjanjikan demokrasi dan kebebasan di masa mendatang. Orde  baru sendiri secara resmi didefinisikan sebagai “tatanan kehidupan Negara dan bangsa yang diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan UUD 1945”.[21]
Ciri otoritarian pada konfigurasi politik Orde Baru terihat pada:[22]
1.      System kepartaian yang homogenik, suatu system yang menurut Giovanni Sartori dan Afan Gaffar, tidak kompetitif karena yang sangat dominan dan menentukan agenda politik nasional adalah partai yang mendukung dan didukung kuat oleh pemerintah, yaitu Golkar.
2.      Peranan eksekutif sangat dominan, yang ditandai dengan tindakan-tindakan intervesionis dan pembentukan jaringan-jaringan korporitas serta dominannya eksekutif dalam pembentukan berbagai produk hukum.
3.      Kebebasan pers yang relative terbatas.
Banyak identifikasi yang mencirikan realita kepolitikan Orde Baru berdasarkan berbagai pendekatan seperti; beamstaat, bureaucratic polity, negara pasca colonial, patriomoniolisme Jawa, negara organis, bureaucratic authoritarian regim, korporatisme, dan integralistik. Tetapi semua identifikasi itu memberikan kualifikasi yang jelas bahwa Orede Baru bukanlah rezim yang demokratis.[23]

F.     Orde Reformasi dan Ciri-ciri Rezim Demokratis
Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik, karakter produk hukum juga berubah. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk-produk hukum yang akan dilahirkannya berkarakter responsive. Karena semakin kental muatan hukum dengan masalah hubungan kekuasaan, semakin kuat pula pengaruh konfigurasi politik terhadap hukum tersebut.
Begitu rezim Orde Baru jatuh, maka hukum-hukum juga langsung diubah dengan pembongkaran terhadap asumsi-asumsi serta penghilangan atas kekerasan-kekerasan politik, antara lain;[24]
1.      Perubahan berbagai UU
a.       UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya diganti dengan UU tentang kepartaian
b.         UU tentang pemilu dibongkar dengan menghapus porsi anggota DPR dan MPR yang diangkat oleh presiden.
c.          UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dirombak sejalan dengan perubahan UU tentang pemilu.
d.         UU tentang Pemerintahan Daerah juga diganti, dari yang semula berasas otonomi nyata dan bertanggungjawab menjadi berasas otonomi luas, dari yang secara politik sentralistik menjadi desentralistik.
2.      Penghapusan Tap MPR
Tap MPR yang tadinya merupakan peraturan yang berada di bawah UUD dalam hirarki perundangan-undangan digantikan oleh UU/Perpu yang semula menempati derajat ketiga melalui UU No 10 tahun 2004. Penghapusan Tap MPR pada saat itu dianggap sebagai kekeliruan dan kekhilafan legislative, oleh karena ada 11 Tap MPR yang telah ada yang wajib diberlakukan, sehingga dikeluarkan UU No 12 tahun 2012  tentang peraturan Perundang-undangan yang mengembalikan kembali Posisi Tap MPR sebagai salah satu hierarki perundang-undangan dengan memberlakukan Tap MPR yang telah ada tanpa menghasilkan Tap MPR baru.
3.      Perubahan UUD
Perubahan UUD 1945 merupakan agenda atau produk utama reformasi. Alasannya, krisis multi dimensi yang menimpa Indonesia disebabkan oleh system politik yang otoriter sehingga untuk memperbaikinya harus dimulai dari perubahan system politik agar menjadi demokratis. Untuk membangun system politik yang demokratis haruslah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 karena system politik yang otoriter dibangun selalu masuk dari celah-celah yang ada pada UUD 1945 tersebut. UUD  1945 di amandemen sebanyak 4 kali.
















BAB II
PENGATURAN TENTANG ADVOKAT PADA MASA REFORMASI

Periode Tahun 1998-2000 adalah tahun menculnya era reformasi, yang bertumpukan kepada usaha-usahan demokratisasi yang lebih mengedepankan hak asasi manusia, kebebasan dan transparansi. Setelah mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 Indonesia memasuki era reformasi yang bermaksud membangun kembali tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.[25]
Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip Negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum lainnya yakni kejaksaan dan kepolisian.
Kendati keberadaan dan fungsi advokat sudah berkembang dari sejak zaman kolonial. Namun masih dirasakan diskriminatifnya dan tidak sesuai lagi dengan ssstem ketatanegaraan yang berlaku serta sekaligus untuk memberikan landasan yang kokoh dalam pelaksanaan tugas pengabdian advokat dalam kehidupan masyarakat yang merupakan amanat dalam Pasal 38 Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 35 tahun 1999.
Bahwa dengan dibentuknya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, maka sudah semakin jelas diatur secara komprehensif yang melingkupi profesi advokat dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian advokat seperti dalam pengangkatan, pengawasan dan penindakan serta ketentuan pengembangan organisasi advokat yang kuat dimasa mendatang. Disamping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi advokat khususnya dalam peranannya menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip Negara hukum pada umumnya.

B.     Pengaturan Tentang Advokat.


Dalam bahasa Indonesia, sangat banyak istilah advokat ini. Ada yang disebut Pengacara atau prokol, Pembela, ataupun penasihat hukum. Di Indonesia pada awalnya advokat ini disebut “Penasihat Hukum”. Istilah ini mengacu pada beberapa undang-undang yang berlaku seperti pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-undang Mahkamah Agung, dan Undang-undang peradilan umum. Lambat laun sebutan “penasihat hukum” mulai bergeser. Dan menjadi baku setelah dikeluarkannya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat[26].
Untuk lebih memahami apa yang dimaksud advokat ini dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka (1) Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat menyebutkan : “Advokat adalah orang yang berprofesi member jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini “.
Adapun persayaratan yang dimaksud adalah harus seorang sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan telah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat. Jadi untuk menjadi seorang advokat tidak saja mesti berlatar belakang pendidikan hukum tetapi harus mengikuti pendidikan khusus profesi advokat serta lulus ujian profesi advokat yang diadakan oleh organisasi advokat.
Disamping itu, organisasi advokat berfungsi sebagai pengawas advokat yang bertujuan agar advokat dalam menjalankan profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik profesi advokat dan peraturan perundang-undangan. Kode etik advokat merupakan hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi, tetapi membebani kewajiban kepada setiap advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, Negara atau masyarakat dan terutama kepada diri sendiri.
Bahwa apabila advokat dalam menjalankan profesinya melanggar kode etik advokat, maka terhadap dirinya dapat dikenakan sanksi dapat berupa pelanggaran ringan yang hanya berupa teguran dan pemberhentian sebagai advokat, bila mana perbuatannya merupakan pelanggaran berat.   

C.    Analisa.
Dalam perkembangannya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat tidaklah begitu mulus jalannya. Banyaknya kalangan advokat beranggapan masih lemahnya pengaturan advokat didalam undang-undang tersebut. Sebagai buktinya Undang-undang tersebut sudah beberapa kali diujikan (judicial review) terhadap Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun keberatan-keberatan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : [27]
Pertama, urgensi keberadaan Undang-undang advokat hingga saat ini tidak didahului dan didasari atas suatu kesepakatan yang bulat dan tuntas diantara kalangan profesi advokat sendiri. Sebagian kalangan advokat yang setuju dengan adanya Undang-undang bependapat Undang-undang ini sangat diperlukan untuk menjaga kesetaraan profesi advokat dengan aparat penegak hukum. Sedangkan bagi mereka yang tidak setuju menyatakan keberadaan undang-undang hanya akan memberi peluang bagi negara (pemerintah) untuk melakukan intervensi terhadap profesi advokat.
Kedua, pembahasan undang-undang Advokat sarat dengan kepentingan politik. Hal ini terlihat dalam hasil akhir pasal-pasal pengaturan mengenai rangkap jabatan dan sarjana syariah. Hasil akhir pasal-pasal itu mencerminkan adanya kompromi-kompromi politik di antara anggota DPR. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e jo penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan lulusan Perguruan Tinggi Hukum Militer dapat menjadi advokat tanpa harus melalui pendidikan di fakultas-fakultas hukum reguler.
Bahwa hal ini dapat menimbulkan konsekuensi rusaknya standarisasi pendidikan bagi setiap orang yang ingin menjadi advokat. Apalagi, dicurigai pengaturan ini tidaklah didasarkan alasan yang kuat melainkan sebagai kompensasi (bargain politik) dari diperbolehkannya sarjana lulusan syariah untuk menjadi advokat secara penuh.
Namun disisi lain berpendapat mendukung sekali dengan adanya undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang advokat. Karena undang-undang No. 18 tahun 2003 masih baru dan merupakan puncak perjuangan advokat.
Dilihat dari sisi substansi maupun dari sisi kepastian hukum, undang-undang ini sudah lebih komprehensif dan memadai. Hal ini ditandai dengan adanya organisasi advokat yang mengawasi profesi advokat dan adanya ketentuan pidana serta sanksi terhadap advokat yang melanggar kode etik profesi.

D.    Kesimpulan
Bahwa oleh karenanya, dengan dibentuknya Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, maka sudah semakin jelas diatur secara komprehensif yang melingkupi profesi advokat dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan dan kemandirian advokat seperti dalam pengangkatan, pengawasan dan penindakan serta ketentuan pengembangan organisasi advokat yang kuat dimasa mendatang. Disamping itu diatur pula berbagai prinsip dalam penyelenggaraan tugas profesi advokat khususnya dalam peranannya menegakkan keadilan serta terwujudnya prinsip-prinsip Negara hukum pada umumnya.















DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Akademia Permata, Padang, 2013.
Aminuddin, Kekuatan Islam Dan Pergulatan Kekuasaan Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Runtuhnya Rezim  Soeharto, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1999
Ari Yusuf Amir, Strategi Bisnis Jasa Advokat, Navila Idea, Yogyakarta, 2008
Bintan Regen Saragih, Politik Hukum, CV. Utomo, Jakarta, 2006.
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.
Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court, Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Djambatan, Jakarta, 1996.
M. Amien Rais,”Pengantar” dalam Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES, Jakarta, 1986
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Pulitik, PT.Gramedia, Jakarta, 1977.
_____________, Masalah Kenegaraan, PT.Gramedia, Jakarta, 1980.
Padmo Wahyono, Penjabaran Pancasila Dalam Peraturan Perundangan, Niagara, Jakarta, 1985.
Sadjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991.
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.
Teuku Mohammad Radhie, memantapkan kerangka landasan tata hukum Nasional, BPHN, Jakarta,1980 .
Materi kuliah Politik Hukum Universitas andalas,Padang, oleh Prof. Yuliandri, tahun 2008




[1]  Luhut M.P. Pangaribuan, Advokat dan Contempt of Court, Satu Proses di Dewan Kehormatan Profesi, Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 1.
[2]  Moh.Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT.Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 1.
[3]  Bintan Regen Saragih, Politik Hukum, CV.Utomo, Jakarta, 2006, hal.  6.
[4]   Sadjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal. 352-353
[5]   Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 151
[6]   Teuku Mohammad Radhie, memantapkan kerangka landasan tata hukum Nasional, BPHN, Jakarta, 1980,  hal. 16.
[7]   Padmo Wahyono, Penjabaran Pancasila Dalam Peraturan Perundangan, Niagara, Jakarta, 1985, hal. 8.
[8]    Moh. Mahfud Md, Op.cit hal.17
[9]    Moh. Mahfud MD, op.cit.,hal.22
[10] Materi kuliah Politik Hukum Universitas andalas, Padang, oleh Prof. Yuliandri, tahun 2008
[11] Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Pulitik, PT.Gramedia, Jakarta, 1977,hal.50
[12] M. Amien Rais,”Pengantar” dalam Demokrasi dan Proses Politik, LP3ES, Jakarta, 1986
[13] Gwendolen M.Carter dan John H.Herz, Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiarjo, Masalah Kenegaraan, PT.Gramedia, Jakarta, 1980, hal. 86-87
[14] Ibid.,
[15] Mahfud MD, Lok., Cit, hal. 7.
[16]    Ahmad Muliadi, Politik Hukum, Akademia Permata, Padang, 2013, hlm 42
[17]    Moh. Mahfud MD, op.cit.,hal.29
[18]    Ibid.,
[19]   Aminuddin, Kekuatan Islam Dan Pergulatan Kekuasaan Di Indonesia Sebelum Dan Sesudah Runtuhnya Rezim  Soeharto, Pustaka Pelajar, Jakarta, 1999, hal. 2
[20]   Moh Mahfud MD, op.cit, hal. 31
[21]   Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal.140
[22]   Moh. Mahfud, MD, op.cit.,hal.363
[23]    Ibid..hal.306
[24]    Ibid.,hal. 374
[25]     Ahmad Muliadi, Op.cit., hal. 37
[26]  Ari Yusuf Amir, Strategi Bisnis Jasa Advokat, Navila Idea, Yogyakarta, 2008, hal. 16-18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar