PENEGAKAN HUKUM DALAM KEBEBASAN
HAKIM
DI TINJAU DARI PERSPEKTIF
FILSAFAT HUKUM
Oleh: Budi Harman
A. PENDAHULUAN.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia. Philo
atau philein berarti cinta, Sophia berarti kebijaksanaan. Gabungan kedua kata
dimaksud berarti cinta kebijaksanaan[1]. Filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara
filosofis. Maka obyek filsafat hukum adalah hukum. Norma hukum diperlukan untuk
melengkapi norma lain yang sudah ada sebab perlindungan yang diberikan norma
hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain
karena pelaksanaan norma hukum tersebut dapat dipaksakan.
Norma
hukum juga terdapat dalam setiap profesi khususnya profesi dibindang hukum.
Salah satu profesi hukum tersebut adalah hakim. Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang
memutuskan hukuman bagi pihak
yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan
pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Hakim biasanya mengenakan
baju berwarna hitam. Kekuasaannya
berbeda-beda di berbagai negara. Dalam pelaksanaannya hakim mempunyai hakekat
kebebasan profesi.
Hakekat kebebasan hakim adalah jika seorang hakim dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dalam menggali, mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta bebas dari berbagai
pengaruh dan berbagai kepentingan baik dari dalam maupun dari luar, termasuk
kepentingan dirinya sendiri demi tegaknya hukum dan keadilan. Misi hukum yang
diemban oleh hakim adalah hakim berada dalam ranah ideal (das sollen)
dan ranah empirik (das sein). Adapun tugas hakim adalah menarik ranah
ideal ke dalam ranah empirik seakan-akan hukum yang ada di dunia kenyataan
dihimbau untuk mengikuti hukum yang ada di dunia ide sebagaimana yang
dimaksudkan hukum alam[2].
Namun dalam kenyataannya dapat terjadi semacam jarak antara
keadilan individual dan keadilan social dalam suatu putusan hakim. Jarak ini
dapat diatasi atau dipersempit, apabila dalam sistem penegakan hukum dapat
dengan cermat dikaitkan nilai sosial atau moral (filasafat hukum) terhadap
kebebasan hakim dalam memutus perkara dari setiap masalah hukum yang akan
ditegakkan. Dengan demikian dalam setiap keadilan individual akan terkandung
keadilan sosial.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Filsafat Dan Filsafat
Hukum.
Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan serta
Perguruan Tinggi kita sering mendengar tentang filsafat, apakah sebenarnya
filsafat tersebut? Seseorang yang berfilsafat diumpamakan seorang yang berpijak
dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin mengetahui hakikat
keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak puas jika
mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi
saja). Ia juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu sajabahwa
sesuatu itu benar). Ia juga berfikir dengan sifat spekulatif (dalam
analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat
diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah menetapkan
dasar-dasar yang dapat diandalkan[3].
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum,
yaitu ilmu yang mempelajari hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas,
mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat. Dan
tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala pandang sehingga
dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan
menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah
hukum. Filsafat hukum ini berpengaruh terhadap pembentukan kaidah hukum sebagai
hukum in abstracto.
Jika kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada
ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat,
filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan hukum di
Indonesia.
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai
hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari
alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika,
estetika, metafisika dan epistemologi.
Pakar Filsafat kenamaan Plato (427 - 347 SM)
mendefinisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai
kebenaran yang asli, Kemudian Aristoteles (382 - 322 SM) mengartikan filsafat
adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu
; metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Secara Umum Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan
yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya
yang 1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan
mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat
kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat hidup dan
kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.
Kemudian berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff
Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan
menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis
tentang hukum, Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau
filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan
pengertian hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan
Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari
bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan
hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat
hukum[4].
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum
merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang
mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu
yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah
hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau
dasarnya, yang disebut dengan hakikat[5].
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto menyebutkan
sembilan arti hukum, yaitu :
1) Ilmu
pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar
kekuatan pemikiran.
2) Disiplin, yaitu
suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
3) Norma, yaitu
pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan.
4) Tata Hukum,
yaitu struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu
waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis.
5) Petugas,
yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan
penegakan hukum (law enforcement officer)
6) Keputusan
Penguasa, yakni hasil proses diskresi
7) Proses
Pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari
sistem kenegaraan
8) Sikap tindak
ajeg atau perilaku yang teratur, yakni perilaku yang diulang-ulang dengan cara
yang sama, yang bertujuan mencapai kedamaian9) Jalinan nilai-nilai, yaitu
jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk[6].
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritis
artinya filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari
pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan sebagai hukum ; 1) Secara
spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan
mengenai hakekat hukum. 2) Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk
memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi,
korespondensi dan fungsinya.
Lebih jauh Prof. Dr. H. Muchsin, SH. dalam bukunya Ikhtisar
Filsafat Hukum menjelaskan dengan cara membagi definisi filsafat dengan
hukum secara tersendiri, filsafat diartikan sebagai upaya berpikir secara
sungguh-sungguh untuk memahami segala sesuatu dan makna terdalam dari sesuatu
itu kemudian hukum disimpulkan sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak
tertulis yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, berupa perintah
dan larangan yang keberadaanya ditegakkan dengan sanksi yang tegas dan nyata
dari pihak yang berwenang di sebuah negara[7].
2.
Penegakan Hukum.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum
itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai
upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan
hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang
berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti
sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya
hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk
menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari
sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga
mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu
mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan
formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam
arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang
formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa
indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat
pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan
antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang
dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan
dikembangkannya istilah “the rule of law”
atau dalam istilah “ the rule of law and
not of a man” versus istilah “ the
rule by law” yang berarti “the rule
of man by law” Dalam istilah “ the
rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam
artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan
bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh
hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang
yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud
dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk
menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil
yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh
para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang
resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin
berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
3. Penegakan Hukum
Objektif.
Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang
hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum
formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis,
sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang
hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang
membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan.
Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit,
sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan
penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi
“court of law” dalam arti pengadilan
hukum dan “court of justice” atau
pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di
Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme
Court of Justice”.
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa
hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri,
melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin
yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana
dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti
formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari
dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus
diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu
sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk
mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang
pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya
berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan
penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung
ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu
lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu,
secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang
menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan
keadilan.
Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi
hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak
Asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi,
dalam perkembangan sejarah, issue hak
asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang
timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan
yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali
terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat
manusia mewariskan gagasan perlindungan da penghormatan terhadap hak-hak asasi
manusia.
Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini
bahkan diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian
dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah
yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara
hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi
manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum
yang demokratis (democratische
rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu
sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu
sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan
istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, pakaha hak
asasi manusia dapat ditegakkan?. Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan
hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak
asasi manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah
salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi
manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran
untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun memang belum berkembang
secara sehat.
4.
Aparatur Penegak Hukum.
Aparatur penegak hukum menncakup pengertian mengenai
institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit,
aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi,
polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan.
Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan
dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau
pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis
dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu,
terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum
beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja
kelembagaannya; (ii) budaya kerja ytang terkait dengan aparatnya, termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung
baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan
standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan
hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara
simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara
internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan
dengan kinerja penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga
memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya
satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan
upata menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatr indonesia.
Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belummencerminkan
perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak
mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa
lalu yang tidak sesuai lai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita
hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga
pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi
penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu: (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law atau Law and rule
making), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and promulgation of law) dan
(iii) penegakan hukum (the enforcement of
law). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) administrasi hukum (the administration of law) yang efektif
dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan
sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan
terhadap ketiga agenda tersebut diatas.
Dalam arti luas, The
administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi
hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan
sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada
selama ini telah sikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan
(regels), keputusan-keputusan
administrasi negara (beschikings),
ataupun penetapan dan putusan (vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan
pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya
tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk
produk hukum tersebut dapat terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin
mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?.
Meskipun ada teori “fiktie” yang
diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu
difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidak
tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosial dan
pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.
C.
KEBEBASAN
EKSISTENSIAL HAKIM DALAM MENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN.
Secara etimologis
makna bebas menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah:
a. Lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu
dan sebagainya, sehingga boleh bergerak, bercakap, berbuat dan sebagainya
dengan leluasa).
b. Lepas dari kewajiban, tuntutan, ketakutan,
tidak dikenakan pajak, hukuman dan sebagainya, tidak terikat atau terbatas.
c. Merdeka (tidak diperintah atau sangat
dipengaruhi oleh negara lain)[8].
Arti pada huruf a dan b di
atas bersifat umum dan dasariah, sedangkan arti merdeka sudah merupakan arti
khusus.
Menurut Rifyal Ka’bah, Sifat merdeka
menunjukkan kemandirian hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapkan padanya
tanpa campur tangan pihak lain, baik eksekutif maupun legislative atau lainnya,
namun kemerdekaan hakim tidaklah bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh hukum
yang berlaku[9]. disamping dipengaruhi
oleh integritas dirinya dalam menetapkan apa yang adil dan tidak adil, hakim
harus memutus sesuai dengan apa yang dipandang adil oleh hukum.
Menurut Arbijoto, kebebasan eksistensial
bukan berarti lepas dari segala kewajiban atau kekhawatiran dan tangung jawab,
melainkan kebebasan sebagai makna eksistensinya selaku manusia, kemandirianya
selaku manusia. Sedangkan kebebasan hakim dalam kapasitasnya sebagai makhluk
individu mempunyai kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensinya sebagai manusia[10].
Adanya paksaan, ikatan, beban adalah merupakan alienasi yang menekan manusia
sedemikian rupa sehingga menghalang-alangi pelaksanaan dirinya sebagai manusia
yang utuh dan mandiri[11].
Manusia sebagai makhluk individu
mempunyai kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensinya. Jika dikatakan bahwa
setiap manusia menginginkan kebebasan bagi dirinya sendiri, maka yang
dimaksudkan dengan pernyataan ini bukanlah kebebasan dalam arti “lepas dari segala
kewajiban atau kekhawatiran dari tangung jawab” melainkan kebebasan sebagai
makna eksistensinya selaku manusia, kemandiriannya selaku manusia.
Kebebasan sebagai arah dan tujuan hidup
selaku manusia, adalah kebebasan yang sifatnya sedemikian rupa sehingga
orangnya bebas dari aneka ragam alienasi yang menekannya dan bebas pula untuk
kehidupan yang utuh, tidak tercela, berdikari dan kreatif, dalam arti kebebasan
sebagai kesempurnaan eksistensi manusia. Menurut pemikiran Albert Camus,
memilih kebebasan bukanlah memilih sesuatu melawan keadilan. Sebaliknya
kebebasan dipilih karena adanya orang-orang yang menderita dan berjuang untuk
memperoleh keadilan[12].
Memisahkan kebebasan dari keadilan adalah dosa social. Kebebasan harus diisi
dengan mendahulukan kewajiban daripada hak dan selanjutnya digunakan untuk
mengabdi pada keadilan.
Manusia sebagai makhluk otonom bicara
kebebasan adalah menyangkut martabat manusia itu sendiri, itulah sebabnya
setiap pemaksaan yang kita rasakan tidak hanya menyakitkan melainkan pula
merupakan penghinaan, oleh karenanya pemaksaan berarti pengabaian martabat
manusia. Pada masa tatanan lama, hakim dalam menjalankan profesinya tidak dapat
dikatakan bebas. Hal ini nyata-nyata termaktub dalam Pasal 19 UU No. 19 Tahun
1964 yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk dalam beberapa hal dapat
turun atau campurtangan dalam soa-soal pengadilan. Hal ini oleh para hakim
dirasakan adanya pembatasan kebebasan. Sehingga dalam MUNAS Luar Biasa bulan
November 1966 terjadi konsesus bahwa sesuai dengan azas legalitas dalam suatu
negara hukum, maka legitimasi dari kebebasan hakim dalam menjalankan profesinya
tidak dapat diamendir dengan alasan apapun[13].
Jadi yang dimaksud kebebasan eksistensial
adalah kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Kemampuan itu
bersumber pada kemampuan dirinya untuk menentukan tindakannya sendiri.
Kemampuan itu bersumber pada kemampuan dirinya untuk berfikir dan berkehendak
dan kemudian diimplementasikan dalam tindakannya. Tindakan itu bukan sesuatu di
luar dirinya, tindakan itu adalah dengan dirinya sendiri. Pengingkaran terhadap
kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya akan menafikan eksistensi hakim
sebagai manusia dan ketaatan hakim pada ketentuan perundang-undangan, yang
demikian itu akan meniadakan dirinya sendiri.
Kebebasan itu disebut eksistensial karena
merupakan ssuatu yang menyatu dengan manusia, artinya termasuk eksistensinya
sebagai manusia. Kebebasan itu termasuk kemanusiaan kita, karena kebebasan itu
merupakan eksistensi kita, kita biasanya tidak sadar bahwa kita memilikinya,
kita baru menyadari kebebasan kita apabila ada yang membatasinya.
Menurut Yahya Harahap, kebebasan hakim
jangan diartikan kebebasan yang tanpa batas dengan menonjolkan sikap arrogance
of power dengan memperalat kebebasan untuk menghalalkan segala cara, namun
kebebasan tersebut relative dengan acuan :
a.
Menerapkan hukum yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus
perkara yang sedang diperiksanya, sesuai dengan asas dan statute law must
prevail (ketentuan undang-undang harus diunggulkan);
b. Menafsirkan hukum yang tepat melalui
cara-cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan (penafsiran sistematik,
sosiologis, bahasa, analogis dan acontrario) atau mengutamakan keadilan
daripada peraturan perundang-undangan, apabila ketentuan undang-undang tidak
potensial melindungi kepentingan umum. Penerapan yang demikian sesuai dengan
doktrin equity must prevail (keadilan harus diunggulkan);
c. Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (rechts
vinding), dasar-dasar dan asas-asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma
hukum tidak tertulis (hukum adat), yurisprudensi maupun melalui pendekatan
“realisme” yakni mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi,
moral, agama, kepatutan dan kelaziman[14].
Dalam batas-batas tersebut di atas
jangkauan kebebasan hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman
menyelesaikan sengketa perkara yang diperiksa. Bebas menerapkan hukum yang
bersmber dari peraturan perundang-undangan yang “berlaku”, asal peraturan dan
perundang-undangan yang bersangkutan tepat dan benar untuk diperlakukan
terhadap kasus perkara yang diperiksa.
Demikian pula kebebasan dalam menafsirkan
hukum tidak dibenarkan menafsirkan hukum diluar ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kebebasan penafsiran yang dibenarkan harus
melalui “pendekatan disiplin” yang diakui keabsahannya oleh teori dan praktek
seperti pendekatan sistemik atau sosiologis, hakim juga diperbolehkan
menggunakan pendekatan penasiran analogis dan a contrario dalam doktrin
hukum Islam disamakan dengan qiyas dan istihsan.
Pendek kata, kebebasan hakim dalam
melaksanakan kewajiban profesinya bukanlah bebas semau gue namun dibatasi oleh
aturan dan norma, sedangkan kebebasan hakim dalam kapasitasnya sebagai makhluk
individu mempunyai kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensinya sebagai
manusia. Adanya paksaan, ikatan, beban adalah merupakan alienasi yang meekan
manusia sedemikian rupa sehingga menghalang-halangi pelaksanaan dirinya sebagai
manusia yang untuh dan mandiri. Maksud kebebasan disini adalah secara negative
tidak adanya paksaan. Konkritnya sebagai tidak adanya keniscayaan dalam arti
determinasi, dan secara positif adanya otonomi.
D.
KESIMPULAN.
Kebebasan eksistensial menyatu dengan
diri manusia, artinya include eksistensinya sebagai individu. Kebebasan itu
termasuk kemanusiaan kita, pengingkaran terhadap kebebasan hakim dalam
menjalankan tugasnya berarti menafikan eksistensi hakim sebagai manusia dan
ketaatan hakim pada ketetuan perundang-undangan yang demikian itu adalah
meniadakan eksistensisi dirinya sendiri. Atribut kebebasan hakim jangan
digunakan semau gue karena sikap tersebut adalah bentuk arrogance of power dan
pengalpaan eksistensi hakim disamping sebagai makhluk individu juga sebagai
makhluk Tuhan yang diberi amanah sebagai wakil Tuhan di bumi.
Hendaknya setiap ptusan hakim selalu
merefleksikan integritas moral yang dilandasi oleh prinsip-prinsip keutamaan
moral dan teologal, sehingga keadilan yang diperoleh bukan keadilan yang absurd
namun keadilan sesuai dengan yang dirasakan masyarakat luas. Seorang hakim
tidak boleh termotivasi sifat hedonisme berlebihan, namun termotivasi
melaksanakan cita-cita luhur, yang pada hakekatnya berupa pelayanan pada para
pencari keadilan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan etika profesinya.
DAFTAR
PUSTAKA.
Sumber
Bacaan Buku
Albert
Camus, Krisis Kebebasan (Terjemahan Edhi Martono), Yayasan Obor,
Jakarta, 1988
Arbijoto, Kebebasan Hakim (refleksi
Terhadap Manusia Sebagai Homo Relegiosus), Mahkamah Agung RI, Jakarta,
2000.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok
Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Cet V, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, Cet.XVI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 2003.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet
ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006.
M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan
Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Al-Hikmah, Jakarta, 1994.
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan
dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam
di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004.
W.J.S.
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984.
Sumber/Bahan Bacaan Internet
Huda Lukoni, SHI.SH, Filsafat Hukum Dan Peranannya Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia,http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/FilsafatHukumdanPerannyadalamPembentukanHukumdiIndonesia.pdf
Diakses Tanggal 20 Januari 2014
Suhartono, S.Ag., SH., MH., Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara (Pdf),
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANAHUKUISLAM/Perspektiffilsafathukum.pdf
Diakses Tanggal 20 Januari 2014
[1]
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hal. 1.
[2] Suhartono, S.Ag., SH., MH., Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara (Pdf),
http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANAHUKUISLAM/Perspektiffilsafathukum.pdf Diakses Tanggal 20 Januari 2014
[3] Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, Cet. XVI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003.
[4] Huda Lukoni, SHI.SH, Filsafat Hukum Dan Peranannya Dalam
Perkembangan Hukum Di Indonesia, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/FilsafatHukumdanPerannyadalamPembentukanHukumdiIndonesia.pdf Diakses Tanggal 20 Januari 2014
[5] Darji Darmodiharjo. dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok
Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, Cet V, hal. 11.
[6] Huda
Lukoni, SHI.SH, Ibid.
[9] Rifyal
Ka’bah, 2004, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Khairul
Bayan.
[10] Arbijoto, 2000, Kebebasan Hakim
(refleksi Terhadap Manusia Sebagai Homo Relegiosus), Jakarta: Mahkamah
Agung RI, hal. 95.
[11] M. Yahya Harahap, 1994, Beberapa
Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Jakarta: Al-Hikmah, hal. 28.
[12] Albert
Camus, 1988, Krisis Kebebasan (Terjemahan Edhi Martono), Jakarta:
Yayasan Obor, hal.75.
[13] Arbijoto, Op. Cit., hal. 113.
[14] M. Yahya Harahap, SH., 2005, Kedudukan
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 60-61.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar