PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN
DENGAN PRINSIP MUDHARABAH DALAM HUKUM ISLAM
Oleh : Budi Harman
Oleh : Budi Harman
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perekonomian yang berbasis pada nilai-nilai dan prinsip Syariah sudah
cukup lama dinantikan ummat Islam di Indonesia maupun dari belahan dunia
lainnya. Penerapan nilai-nilai dan prinsip Syariah dalam segala aspek kehidupan
dan dalam aktivitas transaksi antar ummat didasarkan pada aturan-aturan Syariah
sudah cukup lama diperjuangkan dan diharapkan eksis dalam pembangunan ekonomi.
Keinginan ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh
dan total dalam segala aspek kehidupan, sebagaimana dijelaskan dalam Surat
Al-Baqarah ayat (208) yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya (kaffah). Dan janganlah kamu turut langkah-langkah
syaithan, sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Ayat
tersebut dengan tegas mengingatkan bahwa selama Islam diterapkan secara
parsial, maka ummat Islam akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian
ukhrawi. Hal ini sangat jelas, sebab selama Islam hanya diwujudkan dalam bentuk
ritualisme ibadah semata, hanya di ingat pada saat kelahiran bayi, ijab qabul
pernikahan, serta penguburan mayat, sementara di marginalkan dari dunia politik
ekonomi, perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek, dan transaksi
ekspor-impor, maka ummat Islam telah mengubur Islam dalam-dalam dengan
tangannya sendiri.
Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 menjadi suatu sarana
yang sangat strategis dan menggembirakan bagi para entrepreniur terutama
pengusaha muslim dalam meneruskan produksi usahanya. Hal ini disebabkan
kemampuan dari lembaga perbankan syariah yang berorientasi kepada sistem bagi
hasil dapat memberikan keuntungan ke setiap pengelola uang, tidak hanya kepada
bank sebagai kreditor yang telah memberikan pinjaman tetapi juga kepada
nasabah/mudharib sebagai peminjam modal dalam mengembangkan usaha mereka.
Dari sudut pandang kepentingan ekonomi, pembiayaan perbankan syariah yang
menggunakan sistem mudharabah (profit sharing) dalam memperlancar roda
perekonomian ummat dianggap mampu menekan terjadinya inflasi karena tidak
adanya ketetapan bunga yang harus dibayarkan ke bank,[1] juga dapat merubah haluan
kaum muslimin dalam setiap transaksi perdagangan dan keuangan yang sejalan
dengan ajaran syariah Islam.
Dari kenyataan ini pelaksanaan sistem ekonomi Islam dan praktek perbankan
non bunga menjadi alternatif yang baik, di samping merupakan suatu keharusan
dan kewajiban dalam menjalankan anjuran agama, apalagi dengan disahkannya
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang
No.10 Tahun 1998 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Undang-undang tersebut telah mengatur semua kegiatan perbankan berdasarkan
prinsip syariah.
Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam
penetapan fatwa di bidang syariah.[2]
Sedangkan Pembiayaan merupakan penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan
musyarakah, transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk
piutang murabahah, salam, dan istisna’, transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk
piutang qardh dan transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk
transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
syariah dan /atau unit usaha syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai dan /atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau
bagi hasil.[3]
Pembiayaan mudharabah secara tidak langsung adalah bentuk penolakan
terhadap sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional dalam mencari
keuntungan. Karena itu pelarangan bunga ditinjau dari ajaran Islam merupakan
perbuatan riba yang diharamkan dalam Al-qur’an, sebab larangan riba tersebut
bukanlah meringankan beban orang yang dibantu dalam hal ini nasabah/mudharib
tetapi merupakan tindakan yang memperalat dan memakan harta orang lain tanpa
melalui jerih payah dan berisiko serta kemudahan yang diperoleh orang kaya di
atas kesedihan orang miskin. [4]
B.
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan uraian latar
belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan dengan prinsip Mudharabah
dalam Hukum Islam.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Perjanjian Dalam Hukum Islam.
Islam
merupakan agama yang bersifat rahmatan lil alamin artinya agama yang
menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ajaran Islam telah membuat pengaturan yang
komperehensif dan universal sehingga kehidupan manusia senantiasa saling
menjaga hubungan baik antara satu individu dengan individu lainnya dan juga
menjaga hubungan yang bersifat transendental spiritual dengan Sang Khaliq yakni
Allah SWT.
Hubungan
vertikal kepada Allah SWT bisa terwujud dengan melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi segala larangan-larangan-Nya, di sisi lain manusia senantiasa
berhubungan dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah baik di bidang harta
kekayaan maupun hubungan kekeluargaan, hubungan sesama manusia khususnya di
bidang harta kekayaan biasanya dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian atau akad.[5]
Dalam
Al-Qur’an ada terdapat dua (2) istilah yang menyangkut dengan perjanjian, yaitu
kalimat al-aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji). Al-Qur’an mamakai
kalimat pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kalimat yang
kedua dalam Al-Qur’an berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau
perjanjian. [6]
Dalam
Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
disebutkan bahwa Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit
Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hal dan kewajiban bagi
masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.[7]
Dalam
pandangan ulama syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah, akad merupakan segala
sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri,
seperti wakaf, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan
keinginan dua orang seperti jual beli dan gadai. [8]
Dari
definisi Akad sebagaimana tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa
perjanjian atau akad adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak yang bertujuan
untuk saling mengikatkan diri satu sama lainnya, dengan diwujudkan dalam ijab
dan qabul yang objeknya sesuai dengan syariah, dengan pengertian lain bahwa
perjanjian tersebut berlandaskan keridhoan atau kerelaan secara timbal balik
dari kedua belah pihak terhadap objek yang diperjanjikan dan tidak bertentangan
dengan prinsip syariah. Dengan demikian akad atau perjanjian akan menimbulkan
kewajiban prestasi pada satu pihak dan hak bagi pihak lain atas prestasi
tersebut.
B.
Unsur-Unsur Perjanjian (Akad) Dalam Hukum
Islam.
Merujuk kepada definisi
perjanjian atau akad sebagaimana dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa
untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi rukun dan syarat dari suatu
perjanjian atau akad tersebut. rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi
dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah unsur yang
harus ada untuk semua hal, peristiwa dan tindakan yang dimaksud. Maka rukun
dalam perjanjian atau akad adalah ijab dan qabul sedangkan syarat yang harus
ada dalam rukun bisa menyangkut subjek atau objek dari suatu perjanjian
dimaksud.
Adapun unsur-unsur yang
terkandung dalam perjanjian atau akad adalah sebagai berikut :
1.
Pernyataan Untuk Mengikatkan Diri.
Ijab adalah suatu pernyataan kehendak oleh satu pihak
(mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul
adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh
pihak lainnya (qabil). Dengan demikian ijab dan qabul harus ada dalam
melaksanakan suatu perjanjian atau akad yaitu berupapernyataan dari pihak-pihak
untuk mengikatkan diri terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.
2.
Pihak-pihak yang berjanji (berakad).
Pihak yang berjanji atau berakad diharuskan sama-sama
mempunyai kecakapan hukum dalam tindakan hukum. Dalam istilah fiqhnya harus Mukallaf
dengan arti lain orang yang hendak melakukan perjanjian tersebut sudah
dewasa menurut ketentuan hukum yang berlaku. Kemudian diharuskan juga yang
berakad itu sehat akalnya artinya tidak sedang mengalami gangguan jiwa atau
gila, maka pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna, sebab telah mampu
untuk bersikap dan bertindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol usaha
bisnisnya dengan bijaksana.
3.
Objek Perjanjian (Akad).
Objek akad atau perjanjian adalah sesuatu atau
benda-benda yang dijadikan akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang di
timbulkan. Bentuk objek akad tersebut dapat berupa benda berwujud maupun benda
tidak berwujud seumpama manfaatnya.[9]
C.
Pengaturan Perjanjian Mudharabah Dalam
Islam
Untuk
perjanjian bagi hasil mudharabah telah dikenal oleh ummat Islam sejak jaman
Nabi Muhammad S.A.W. sewaktu Rasulullah berprofesi sebagai pedagang, Rasulullah
telah melakukan perjanjian atau akad mudharabah dengan Siti Khadijah yang
kemudian hari Siti Khadijah menjadi istri Rasulullah yang pertama.
Dalam
prakteknya perjanjian mudharabah antara Khadijah dengan Nabi Muhammad S.A.W.
saat itu Khadijah telah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi
keluar negeri,[10]
dari sejarah tersebut dapat dipahami bahwa Khadijah adalah pemilik modal 100 %
dan Nabi berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib) yang bertujuan
untuk mendapatkan keuntungan, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian atau akad
mudharabah merupakan persetujuan perkongsian antara harta dari salah satu pihak
dengan kerja atau pengelola usaha dari pihak lain.
Dalam
kitab suci Al-Qur’an ummat Islam dianjurkan untuk mencari harta di seluruh
penjuru bumi dengan cara yang benar dan halal, sebagaimana dinyatakan dalam
surah Al-muzammil ayat (20) yang artinya sebagai berikut:
“Dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebahagian karunia Allah SWT”
Pada
surah Jum’ah ayat (10) juga dinyatakan sebagai berikut :
“Apabila
telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi ini dan carilah
karunia Allah SWT.”
Serta dalam surah Al-Baqarah ayat (198) disebutkan:
“Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari (rezeki hasil
perniagaan) Tuhanmu.”
Di antara sunnah Nabi yang
berkaitan dengan perjanjian mudharabah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibn
Majah bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda : Tiga perkara yang mengandung berkah
adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan muqharadah (nama lain dari
Mudharabah), mencampurkan gandum dengan tepung untuk keperluan keluarga atau
rumah tangga bukan untuk dijual.[11]
Dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Ibn Abbas, sebagai berikut : Bahwasanya Sayyidina Abbas
jikalau memberikan dana kemitra usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan
agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya
atau membeli ternak yang berparu-paru basah, jika menyalahi peraturan tersebut
yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut, disampaikanlah
syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah S.A.W dan Rasulullah pun
membolehkannya[12]
Perjanjian pembiayaan
mudharabah juga di dasari dari keputusan MUI melalui Fatwa Dewan Syariah
No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah. Di jadikannya fatwa MUI
ini sebagai salah satu landasan dalam pembiayaan mudharabah adalah di sebabkan
sebuah hadist Nabi Muhammad S.AW yang artinya sebagai berikut :
“Ulama itu adalah pewaris para nabi-nabi” [13]
Dengan
di sahkannya Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang
mengatur tentang pembiayaan mudharabah di perbankan syariah,[14]landasan
bagi mudharib serta sahibul maal dalam melakukan perjanjian
pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (mudharabah) telah semakin memiliki
landasan hukum, hal ini merupakan era baru bagi usaha perbankan syariah di
Indonesia.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pembiayaan Mudharabah.
Mudharabah berasal dari
kata dharb, yang artinya memukul atau berjalan, pengertian memukul atau
berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam
menjalankan usahanya.[15]
Sedangkan mudharabah
secara umum yang terdapat dalam kitab fiqhiyah dan perbankan syariah yaitu
sistem pendanaan operasional realitas bisnis, 95[16] dimana baik sebagai
pemilik modal biasanya disebut shahibul maal dengan menyediakan modal
100 % kepada pengusaha sebagai pengelola disebut sebagai mudharib untuk
melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan
akan dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan yang disebutkan dalam
akad mereka.[17]
Pembiayaan mudharabah
adalah pembiayaan yang disalurkan lembaga keuangan syariah kepada pihak lain
untuk usaha yang produktif. Pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh bank
syariah kepada nasabah/mudharib, terutama pengusaha kecil diharapkan akan mampu
meningkatkan dan membesarkan usaha mereka sehingga manfaat yang diperoleh dari
pembiayaan mudharabah dapat dirasakan oleh kedua belah pihak, baik pihak bank
syariah maupun para pengusaha tersebut.
B.
Jenis-Jenis Pembiayaan Mudharabah.
Secara umum pembiayaan
mudharabah dibagi kepada dua jenis, yaitu :
1.
Pembiayaan mudharabah mutlhaqah (General
investment)
Pembiayaan secara mudharabah muthlaqah adalah suatu
pembiayaan dalam bentuk kerja sama antara shahibul maal dalam hal ini bank
syariah dengan mudharib atau nasabah yang cakupannya amat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis, kalau dalam
pemabahasan ulama fiqh salafussaleh seringkali menyebutnya dengan contoh
“if al ma syi’ta” artinya lakukan sesukamu.[18]
Pada pembiayaan mudharabah mutlaqah ini pihak bank
syariah tidak menentukan bentuk usaha, waktu dan daerah bisnis mudharibnya. Hal
ini diserahkan sepenuhya kepada pelaku usaha untuk menjalankan bisnisnya
sehingga boleh dikatakan dana yang diberikan oleh bank syariah tersebut dapat
dikelola oleh mudharib tanpa campur tangan pihak bank. Maka jenis usaha yang
akan dijalankan secara mutlak diputuskan oleh mudharib yang dianggap sesuai,
sehingga tidak terikat dan terbatas, tetapi ada satu hal yang tidak boleh
dilakukan mudharib tanpa seijin bank syariah yaitu nasabah atau mudharib tidak
boleh meminjamkan modalnya atau memudharabahkannya lagi kepada pihak lain.[19]
2.
Pembiayaan mudharabah muqayyadah
Pembiayaan
mudharabah muqayyadah disebut juga dengan istilah retrected mudharabah / specifed
mudharabah, yaitu kebalikan dari pembiayaan mudharabah mutlaqah, dalam
pembiayaan ini mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, tempat
usaha.[20] Adanya pembatasan ini sering
kali mencerminkan kecenderungan shahibul maal dalam memasuki dunia usaha
mudharib.
C.
Penerima Pembiayaan Mudharabah.
Berdasarkan
prinsip mudharabah bank syariah harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap
penggunaan dana tersebut, sehingga langkah-langkah dalam proses penyaluran
pembiayaan mudharabah ini sesuai dengan karakter dan standart dalam penyaluran
dana. Sebelum memberikan pembiayaan pihak bank syariah melakukan penilaian
terlebih dahulu terhadap calon mudharib atau nasabah/mudharib yang mengajukan
permohonan pembiayaan. Hal ini dilakukan agar pembiayaan yang diberikan selalu
memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1.
Keamanan pembiayaan (safety) yaitu harus benar
diyakini bahwa pembiayaan tersebut dapat dilunasi kembali.
2.
Terarahnya tujuan pembiayaan, yaitu bahwa pembiayaan
akan digunakan untuk tujuan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat atau
sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
3.
Menguntungkan, baik untuk bank sendiri maupun kepada
mudahrib atau nasabah/mudharib dengan semakin berkembangnya usaha mereka.[21]
Awal dari proses pemberian
pembiayaan pada bank adalah ketika para calon nasabah/mudharib telah mengajukan
terlebih dahulu permohonan pembiayaan kepada bank syariah. Pada prinsipnya
permohonan pembiayaan ini berfungsi sebagai bukti adanya permohonan dari
perorangan atau badan usaha kepada bank dengan catatan bahwa permohonan
tersebut menyertakan lampiran-lampiran sebagai informasi dalam evaluasi dari
pemberian pembiayaan.
D.
Jaminan Dalam Pembiayaan Mudharabah.
Jaminan pembiayaan
mudharabah merupakan tuntutan kepada mudharib untuk mengembalikan modal
shahibul maal dalam keadaan semula baik untung maupun rugi.[22]
Pihak
bank syariah mengambil banyak langkah atau cara untuk memastikan bahwa modal
yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal tersebut dapat
diperoleh sebagaimana yang telah tercantum dalam kontrak.
Keadaan
ini biasanya diwujudkan melalui jaminan baik dari mudharib sendiri maupun ada
dari pihak ketiga yang menjaminkannya, walaupun sebenarnya dalam fiqh Islam
tidak dituntut untuk meminta jaminan kepada nasabah/mudharib, akan tetapi
bank-bank syariah pada umumnya meminta berupa bentuk jaminan, hal ini dilakukan
pihak bank syariah untuk menegaskan jaminan tersebut ada hanya untuk memastikan
kembalinya modal, sebab dana yang diberikan kepada nasabah/mudharib itu adalah
pada umumnya dana yang dihimpun dari masyarakat luas.
Adanya
jaminan atau penjamin dari nasabah/mudharib kepada pihak bank syariah bertujuan
untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko-risiko seperti nasabah/mudharib
tidak mempergunakan dana yang diberikan sebagaimana mestinya atau hanya
memberikan keuntungan pembiayaan tersebut kepada dirinya pribadi saja atau yang
dikenal dengan Moral Hazard.
Maka
bank syariah dapat menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu ketika
menyalurkan pembiayaan kepada nasabah/mudharib antara lain:
1. Menetapkan syarat agar jumlah atau nilai jaminannya lebih
besar dari modal yang dipinjam oleh nasabah/mudharib.
2.
Menetapkan syarat agar nasabah/mudharib melakukan
bisnis yang risikonya lebih rendah.
3.
Menetapkan syarat agar nasabah/mudharib melakukan
bisnis dengan arus kas yang transparan.
4. Menetapkan syarat agar nasabah/mudharib melakukan
bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah[23]
Terhadap keadaan
nasabah/mudharib tertentu dan pihak bank telah memiliki keyakinan yang cukup
terhadap kemampuannya maka bank dapat menerima jaminan tambahan yang diberikan
oleh nasabah/mudharib berupa proyek yang dibiayai dari pembiayaan yang
diberikan bank tersebut, juga dengan hak tagih dari nasabah/mudharib yang
timbul dalam usahanya tersebut. Untuk lebih menjamin pengembalian dana yang
diberikan pihak bank kepada nasabah/mudharib, pihak bank dapat menyarankan
kepada nasabah/mudharib supaya untuk memasukkan proyek pembiayaan atau usaha
yang dikelola nasabah/mudharib tersebut ke asuransi seperti syariah Takaful,
hal ini berguna untuk menjamin ketika sewaktu-waktu nasabah/mudharib mengalami
musibah maka fihak asuransi akan melunasi hutangnya, dengan kata lain tagihan
hutang dari nasabah/mudharib tersebut akan beralih kepada pihak asuransi.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai
berikut :
1.
Pelaksanaan perjanjian pembiayaan dengan prinsip bagi
hasil (Al-Mudharabah) adalah sebagai berikut:
a.
Mudharabah merupakan perjanjian atas suatu jenis
perkongsian di mana pihak pertama (Shahibul maal) menyediakan dana dan
pihak kedua (Nasabah/ Mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan
usaha. Dimana landasan perjanjian pembiayaan mudharabah berdasarkan kitab suci
Al-Qur’an, Al-Hadist, Dewan Fatwa Syari’ah Nasional MUI, Undang-Undang No.21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia.
b. Dalam Pembiayaan mudharabah muthlaqah memberikan
fasilitas dan otoritas serta hak sepenuhnya kepada mudharib atau nasabah/mudharib
untuk melakukan usaha dan mengelola dana yang diperoleh dari pembiayaan
mudharabah ini sesuai dengan yang diinginkannya dan hal tersebut akan
disebutkan dalam perjanjian atau akad/ kontrak yang disepakati oleh kedua belah
pihak.
c. Dalam pembiayaan Mudharabah Muqayyadah, dimana
Bank sebagai wakil Shahibul Maal menentukan pembatasan atau memberikan
syarat kepada nasabah selaku Mudharib dalam mengelola dana seperti untuk
melakukan Mudharabah bidang tertentu, cara, waktu dan tempat tertentu
saja.
d.
Pelaksanaan perjanjian pembiayaan penyaluran dana
berdasarkan prinsip bagi hasil dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian yang
tinggi
e.
Pembiayaan Mudharabah dilakukan tanpa perlu
adanya penyerahan jaminan oleh nasabah, namun dalam prakteknya untuk menghindari
terjadinya penyimpangan oleh pengelola usaha/nasabah dan untuk mengurangi
resiko, pihak Bank akan meminta jaminan dari nasabah bahwa ia sanggup
mengembalikan pembiayan Mudharabah tertentu sesuai dengan yang telah
diperjanjikan.
B. Saran
1. Pihak-pihak yang terkait dalam masalah perbankan
khususnya Bank berdasarkan syariah lebih mensosialisasikan keberadaan Bank
Syariah kepada masyarakat, terutama terhadap persepsi sebagian masyarakat yang
pro dan kontra terhadap halal dan haramnya riba atau bunga Bank serta terhadap
keunggulan konsep perbankan syariah yang berdasarkan prinsip kemitraan.
2. Peran pihak Bank Syariah dalam memberdayakan pengusaha
kecil/golongan ekonomi lemah digiatkan terutama dalam penyediaan
pembiayaan/modal serta persyaratan jaminan dipermudah, namun tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian, guna menghindarkan risiko kerugian bagi
pihak
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, PT. Sari Agung, Jakarta, 2005.
Abdul Ghofur Ansory, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Citra Media, Yogyakarta, 2006.
Adiwarman A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media,
Bandung, 2002.
Ascaya Diana
Yunita, Bank Syari’ah: Gambaran Umum, PPSK BI, Jakarta, 2005.
Ascary, Akad dan Produk Bank Syari’ah, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 2007.
Fachruddin, Analisa Pelaksanaan
Perjanjian Pembiayaan dengan Prinsip Mudharabah Pada PT. Bank Syariah Mandiri
Cabang Medan, Tesis, PPS USU, Medan 2008.
Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta,
2006.
Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press,
Jakarta, 2001.
Rachmat Syafi’i, fiqh Muamalah, Pustaka setia, Bandung, 2004.
Yusuf Qordhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Perss, Jakarta,
1997.
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah
[1]
Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media,
Bandung, 2002, hal. 123.
[2]
Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[3]
Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[4]
Yusuf Qordhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Perss,
Jakarta, 1997,hal. 184.
[5]
Abdul Ghofur Ansory, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Citra
Media, Yogyakarta, 2006, hal.1.
[7]
Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[8]
Rachmat Syafi’i, fiqh Muamalah, Pustaka setia, Bandung, 2004, hal.
44.
[9]
Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta,
2006, hal. 60.
[10]
Adiwarman, A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hal.123.
[11]
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari
Teori Ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal.75.
[12]
Ibid, hal. 74.
[13]
Ibid, hlm.3
[14]
Pasal 1 ayat (25) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
[15]
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, Op Cit.,
hal. 65.
[16]
Ibid, hlm.114
[18] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah
Wacana Ulama Dan Cendekiawan, Tazkia Islami dan BI, Jakarta, 1999,
hal.173.
[20]
Antonio, Muhammad Syafi’i, Op., Cit.,
hal. 173.
[23]
Adiwarman,A.Karim, ,Op., Cit, hal. 214.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar