Rabu, 02 Juli 2014

Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Dengan Prinsip Mudharabah Dalam Hukum Islam


PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN PRINSIP MUDHARABAH DALAM HUKUM ISLAM
Oleh : Budi Harman


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Perekonomian yang berbasis pada nilai-nilai dan prinsip Syariah sudah cukup lama dinantikan ummat Islam di Indonesia maupun dari belahan dunia lainnya. Penerapan nilai-nilai dan prinsip Syariah dalam segala aspek kehidupan dan dalam aktivitas transaksi antar ummat didasarkan pada aturan-aturan Syariah sudah cukup lama diperjuangkan dan diharapkan eksis dalam pembangunan ekonomi. Keinginan ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total dalam segala aspek kehidupan, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat (208) yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya (kaffah). Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan, sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Ayat tersebut dengan tegas mengingatkan bahwa selama Islam diterapkan secara parsial, maka ummat Islam akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian ukhrawi. Hal ini sangat jelas, sebab selama Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata, hanya di ingat pada saat kelahiran bayi, ijab qabul pernikahan, serta penguburan mayat, sementara di marginalkan dari dunia politik ekonomi, perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek, dan transaksi ekspor-impor, maka ummat Islam telah mengubur Islam dalam-dalam dengan tangannya sendiri.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 menjadi suatu sarana yang sangat strategis dan menggembirakan bagi para entrepreniur terutama pengusaha muslim dalam meneruskan produksi usahanya. Hal ini disebabkan kemampuan dari lembaga perbankan syariah yang berorientasi kepada sistem bagi hasil dapat memberikan keuntungan ke setiap pengelola uang, tidak hanya kepada bank sebagai kreditor yang telah memberikan pinjaman tetapi juga kepada nasabah/mudharib sebagai peminjam modal dalam mengembangkan usaha mereka.
Dari sudut pandang kepentingan ekonomi, pembiayaan perbankan syariah yang menggunakan sistem mudharabah (profit sharing) dalam memperlancar roda perekonomian ummat dianggap mampu menekan terjadinya inflasi karena tidak adanya ketetapan bunga yang harus dibayarkan ke bank,[1] juga dapat merubah haluan kaum muslimin dalam setiap transaksi perdagangan dan keuangan yang sejalan dengan ajaran syariah Islam.
Dari kenyataan ini pelaksanaan sistem ekonomi Islam dan praktek perbankan non bunga menjadi alternatif yang baik, di samping merupakan suatu keharusan dan kewajiban dalam menjalankan anjuran agama, apalagi dengan disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang tersebut telah mengatur semua kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah.
Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.[2]
Sedangkan Pembiayaan merupakan penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istisna’, transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh dan transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan /atau unit usaha syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan /atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.[3]
Pembiayaan mudharabah secara tidak langsung adalah bentuk penolakan terhadap sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional dalam mencari keuntungan. Karena itu pelarangan bunga ditinjau dari ajaran Islam merupakan perbuatan riba yang diharamkan dalam Al-qur’an, sebab larangan riba tersebut bukanlah meringankan beban orang yang dibantu dalam hal ini nasabah/mudharib tetapi merupakan tindakan yang memperalat dan memakan harta orang lain tanpa melalui jerih payah dan berisiko serta kemudahan yang diperoleh orang kaya di atas kesedihan orang miskin. [4]

B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan dengan prinsip Mudharabah dalam Hukum Islam.

 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.     Perjanjian Dalam Hukum Islam.
Islam merupakan agama yang bersifat rahmatan lil alamin artinya agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ajaran Islam telah membuat pengaturan yang komperehensif dan universal sehingga kehidupan manusia senantiasa saling menjaga hubungan baik antara satu individu dengan individu lainnya dan juga menjaga hubungan yang bersifat transendental spiritual dengan Sang Khaliq yakni Allah SWT.
Hubungan vertikal kepada Allah SWT bisa terwujud dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya, di sisi lain manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah baik di bidang harta kekayaan maupun hubungan kekeluargaan, hubungan sesama manusia khususnya di bidang harta kekayaan biasanya dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian atau akad.[5]
Dalam Al-Qur’an ada terdapat dua (2) istilah yang menyangkut dengan perjanjian, yaitu kalimat al-aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji). Al-Qur’an mamakai kalimat pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kalimat yang kedua dalam Al-Qur’an berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian. [6]
Dalam Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hal dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.[7]
Dalam pandangan ulama syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah, akad merupakan segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli dan gadai. [8]
Dari definisi Akad sebagaimana tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa perjanjian atau akad adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri satu sama lainnya, dengan diwujudkan dalam ijab dan qabul yang objeknya sesuai dengan syariah, dengan pengertian lain bahwa perjanjian tersebut berlandaskan keridhoan atau kerelaan secara timbal balik dari kedua belah pihak terhadap objek yang diperjanjikan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan demikian akad atau perjanjian akan menimbulkan kewajiban prestasi pada satu pihak dan hak bagi pihak lain atas prestasi tersebut.

B.       Unsur-Unsur Perjanjian (Akad) Dalam Hukum Islam.
Merujuk kepada definisi perjanjian atau akad sebagaimana dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi rukun dan syarat dari suatu perjanjian atau akad tersebut. rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk semua hal, peristiwa dan tindakan yang dimaksud. Maka rukun dalam perjanjian atau akad adalah ijab dan qabul sedangkan syarat yang harus ada dalam rukun bisa menyangkut subjek atau objek dari suatu perjanjian dimaksud.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian atau akad adalah sebagai berikut :
1.      Pernyataan Untuk Mengikatkan Diri.
Ijab adalah suatu pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qabil). Dengan demikian ijab dan qabul harus ada dalam melaksanakan suatu perjanjian atau akad yaitu berupapernyataan dari pihak-pihak untuk mengikatkan diri terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.
2.      Pihak-pihak yang berjanji (berakad).
Pihak yang berjanji atau berakad diharuskan sama-sama mempunyai kecakapan hukum dalam tindakan hukum. Dalam istilah fiqhnya harus Mukallaf dengan arti lain orang yang hendak melakukan perjanjian tersebut sudah dewasa menurut ketentuan hukum yang berlaku. Kemudian diharuskan juga yang berakad itu sehat akalnya artinya tidak sedang mengalami gangguan jiwa atau gila, maka pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna, sebab telah mampu untuk bersikap dan bertindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol usaha bisnisnya dengan bijaksana.
3.      Objek Perjanjian (Akad).
Objek akad atau perjanjian adalah sesuatu atau benda-benda yang dijadikan akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang di timbulkan. Bentuk objek akad tersebut dapat berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud seumpama manfaatnya.[9]

C.       Pengaturan Perjanjian Mudharabah Dalam Islam
Untuk perjanjian bagi hasil mudharabah telah dikenal oleh ummat Islam sejak jaman Nabi Muhammad S.A.W. sewaktu Rasulullah berprofesi sebagai pedagang, Rasulullah telah melakukan perjanjian atau akad mudharabah dengan Siti Khadijah yang kemudian hari Siti Khadijah menjadi istri Rasulullah yang pertama.
Dalam prakteknya perjanjian mudharabah antara Khadijah dengan Nabi Muhammad S.A.W. saat itu Khadijah telah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi keluar negeri,[10] dari sejarah tersebut dapat dipahami bahwa Khadijah adalah pemilik modal 100 % dan Nabi berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib) yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian atau akad mudharabah merupakan persetujuan perkongsian antara harta dari salah satu pihak dengan kerja atau pengelola usaha dari pihak lain.
Dalam kitab suci Al-Qur’an ummat Islam dianjurkan untuk mencari harta di seluruh penjuru bumi dengan cara yang benar dan halal, sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-muzammil ayat (20) yang artinya sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebahagian karunia Allah SWT
Pada surah Jum’ah ayat (10) juga dinyatakan sebagai berikut :
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi ini dan carilah karunia Allah SWT.”
Serta dalam surah Al-Baqarah ayat (198) disebutkan:
“Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari (rezeki hasil perniagaan) Tuhanmu.”
Di antara sunnah Nabi yang berkaitan dengan perjanjian mudharabah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda : Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan muqharadah (nama lain dari Mudharabah), mencampurkan gandum dengan tepung untuk keperluan keluarga atau rumah tangga bukan untuk dijual.[11]
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, sebagai berikut : Bahwasanya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana kemitra usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak yang berparu-paru basah, jika menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut, disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah S.A.W dan Rasulullah pun membolehkannya[12]
Perjanjian pembiayaan mudharabah juga di dasari dari keputusan MUI melalui Fatwa Dewan Syariah No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah. Di jadikannya fatwa MUI ini sebagai salah satu landasan dalam pembiayaan mudharabah adalah di sebabkan sebuah hadist Nabi Muhammad S.AW yang artinya sebagai berikut :
“Ulama itu adalah pewaris para nabi-nabi” [13]
Dengan di sahkannya Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur tentang pembiayaan mudharabah di perbankan syariah,[14]landasan bagi mudharib serta sahibul maal dalam melakukan perjanjian pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (mudharabah) telah semakin memiliki landasan hukum, hal ini merupakan era baru bagi usaha perbankan syariah di Indonesia.
  
 BAB III
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Pembiayaan Mudharabah.
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang artinya memukul atau berjalan, pengertian memukul atau berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya.[15]
Sedangkan mudharabah secara umum yang terdapat dalam kitab fiqhiyah dan perbankan syariah yaitu sistem pendanaan operasional realitas bisnis, 95[16] dimana baik sebagai pemilik modal biasanya disebut shahibul maal dengan menyediakan modal 100 % kepada pengusaha sebagai pengelola disebut sebagai mudharib untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan yang disebutkan dalam akad mereka.[17]
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan lembaga keuangan syariah kepada pihak lain untuk usaha yang produktif. Pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh bank syariah kepada nasabah/mudharib, terutama pengusaha kecil diharapkan akan mampu meningkatkan dan membesarkan usaha mereka sehingga manfaat yang diperoleh dari pembiayaan mudharabah dapat dirasakan oleh kedua belah pihak, baik pihak bank syariah maupun para pengusaha tersebut.

B.       Jenis-Jenis Pembiayaan Mudharabah.
Secara umum pembiayaan mudharabah dibagi kepada dua jenis, yaitu :
1.       Pembiayaan mudharabah mutlhaqah (General investment)
Pembiayaan secara mudharabah muthlaqah adalah suatu pembiayaan dalam bentuk kerja sama antara shahibul maal dalam hal ini bank syariah dengan mudharib atau nasabah yang cakupannya amat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis, kalau dalam pemabahasan ulama fiqh salafussaleh seringkali menyebutnya dengan contoh “if al ma syi’ta” artinya lakukan sesukamu.[18]
Pada pembiayaan mudharabah mutlaqah ini pihak bank syariah tidak menentukan bentuk usaha, waktu dan daerah bisnis mudharibnya. Hal ini diserahkan sepenuhya kepada pelaku usaha untuk menjalankan bisnisnya sehingga boleh dikatakan dana yang diberikan oleh bank syariah tersebut dapat dikelola oleh mudharib tanpa campur tangan pihak bank. Maka jenis usaha yang akan dijalankan secara mutlak diputuskan oleh mudharib yang dianggap sesuai, sehingga tidak terikat dan terbatas, tetapi ada satu hal yang tidak boleh dilakukan mudharib tanpa seijin bank syariah yaitu nasabah atau mudharib tidak boleh meminjamkan modalnya atau memudharabahkannya lagi kepada pihak lain.[19]
2.       Pembiayaan mudharabah muqayyadah
Pembiayaan mudharabah muqayyadah disebut juga dengan istilah retrected mudharabah / specifed mudharabah, yaitu kebalikan dari pembiayaan mudharabah mutlaqah, dalam pembiayaan ini mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, tempat usaha.[20] Adanya pembatasan ini sering kali mencerminkan kecenderungan shahibul maal dalam memasuki dunia usaha mudharib.

C.       Penerima Pembiayaan Mudharabah.
Berdasarkan prinsip mudharabah bank syariah harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana tersebut, sehingga langkah-langkah dalam proses penyaluran pembiayaan mudharabah ini sesuai dengan karakter dan standart dalam penyaluran dana. Sebelum memberikan pembiayaan pihak bank syariah melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap calon mudharib atau nasabah/mudharib yang mengajukan permohonan pembiayaan. Hal ini dilakukan agar pembiayaan yang diberikan selalu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1.      Keamanan pembiayaan (safety) yaitu harus benar diyakini bahwa pembiayaan tersebut dapat dilunasi kembali.
2.      Terarahnya tujuan pembiayaan, yaitu bahwa pembiayaan akan digunakan untuk tujuan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
3.      Menguntungkan, baik untuk bank sendiri maupun kepada mudahrib atau nasabah/mudharib dengan semakin berkembangnya usaha mereka.[21]
Awal dari proses pemberian pembiayaan pada bank adalah ketika para calon nasabah/mudharib telah mengajukan terlebih dahulu permohonan pembiayaan kepada bank syariah. Pada prinsipnya permohonan pembiayaan ini berfungsi sebagai bukti adanya permohonan dari perorangan atau badan usaha kepada bank dengan catatan bahwa permohonan tersebut menyertakan lampiran-lampiran sebagai informasi dalam evaluasi dari pemberian pembiayaan.

D.      Jaminan Dalam Pembiayaan Mudharabah.
Jaminan pembiayaan mudharabah merupakan tuntutan kepada mudharib untuk mengembalikan modal shahibul maal dalam keadaan semula baik untung maupun rugi.[22]
Pihak bank syariah mengambil banyak langkah atau cara untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal tersebut dapat diperoleh sebagaimana yang telah tercantum dalam kontrak.
Keadaan ini biasanya diwujudkan melalui jaminan baik dari mudharib sendiri maupun ada dari pihak ketiga yang menjaminkannya, walaupun sebenarnya dalam fiqh Islam tidak dituntut untuk meminta jaminan kepada nasabah/mudharib, akan tetapi bank-bank syariah pada umumnya meminta berupa bentuk jaminan, hal ini dilakukan pihak bank syariah untuk menegaskan jaminan tersebut ada hanya untuk memastikan kembalinya modal, sebab dana yang diberikan kepada nasabah/mudharib itu adalah pada umumnya dana yang dihimpun dari masyarakat luas.
Adanya jaminan atau penjamin dari nasabah/mudharib kepada pihak bank syariah bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko-risiko seperti nasabah/mudharib tidak mempergunakan dana yang diberikan sebagaimana mestinya atau hanya memberikan keuntungan pembiayaan tersebut kepada dirinya pribadi saja atau yang dikenal dengan Moral Hazard.
Maka bank syariah dapat menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada nasabah/mudharib antara lain:

1.  Menetapkan syarat agar jumlah atau nilai jaminannya lebih besar dari modal yang dipinjam oleh nasabah/mudharib.
2.      Menetapkan syarat agar nasabah/mudharib melakukan bisnis yang risikonya lebih rendah.
3.      Menetapkan syarat agar nasabah/mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan.
4. Menetapkan syarat agar nasabah/mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah[23]
Terhadap keadaan nasabah/mudharib tertentu dan pihak bank telah memiliki keyakinan yang cukup terhadap kemampuannya maka bank dapat menerima jaminan tambahan yang diberikan oleh nasabah/mudharib berupa proyek yang dibiayai dari pembiayaan yang diberikan bank tersebut, juga dengan hak tagih dari nasabah/mudharib yang timbul dalam usahanya tersebut. Untuk lebih menjamin pengembalian dana yang diberikan pihak bank kepada nasabah/mudharib, pihak bank dapat menyarankan kepada nasabah/mudharib supaya untuk memasukkan proyek pembiayaan atau usaha yang dikelola nasabah/mudharib tersebut ke asuransi seperti syariah Takaful, hal ini berguna untuk menjamin ketika sewaktu-waktu nasabah/mudharib mengalami musibah maka fihak asuransi akan melunasi hutangnya, dengan kata lain tagihan hutang dari nasabah/mudharib tersebut akan beralih kepada pihak asuransi.

 BAB IV
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pelaksanaan perjanjian pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (Al-Mudharabah) adalah sebagai berikut:
a.    Mudharabah merupakan perjanjian atas suatu jenis perkongsian di mana pihak pertama (Shahibul maal) menyediakan dana dan pihak kedua (Nasabah/ Mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Dimana landasan perjanjian pembiayaan mudharabah berdasarkan kitab suci Al-Qur’an, Al-Hadist, Dewan Fatwa Syari’ah Nasional MUI, Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia.
b.   Dalam Pembiayaan mudharabah muthlaqah memberikan fasilitas dan otoritas serta hak sepenuhnya kepada mudharib atau nasabah/mudharib untuk melakukan usaha dan mengelola dana yang diperoleh dari pembiayaan mudharabah ini sesuai dengan yang diinginkannya dan hal tersebut akan disebutkan dalam perjanjian atau akad/ kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak.
c.  Dalam pembiayaan Mudharabah Muqayyadah, dimana Bank sebagai wakil Shahibul Maal menentukan pembatasan atau memberikan syarat kepada nasabah selaku Mudharib dalam mengelola dana seperti untuk melakukan Mudharabah bidang tertentu, cara, waktu dan tempat tertentu saja.
d.    Pelaksanaan perjanjian pembiayaan penyaluran dana berdasarkan prinsip bagi hasil dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi
e.    Pembiayaan Mudharabah dilakukan tanpa perlu adanya penyerahan jaminan oleh nasabah, namun dalam prakteknya untuk menghindari terjadinya penyimpangan oleh pengelola usaha/nasabah dan untuk mengurangi resiko, pihak Bank akan meminta jaminan dari nasabah bahwa ia sanggup mengembalikan pembiayan Mudharabah tertentu sesuai dengan yang telah diperjanjikan.

B.       Saran
1.  Pihak-pihak yang terkait dalam masalah perbankan khususnya Bank berdasarkan syariah lebih mensosialisasikan keberadaan Bank Syariah kepada masyarakat, terutama terhadap persepsi sebagian masyarakat yang pro dan kontra terhadap halal dan haramnya riba atau bunga Bank serta terhadap keunggulan konsep perbankan syariah yang berdasarkan prinsip kemitraan.
2.   Peran pihak Bank Syariah dalam memberdayakan pengusaha kecil/golongan ekonomi lemah digiatkan terutama dalam penyediaan pembiayaan/modal serta persyaratan jaminan dipermudah, namun tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, guna menghindarkan risiko kerugian bagi pihak

  DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, PT. Sari Agung, Jakarta, 2005.
Abdul Ghofur Ansory, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia,  Citra Media, Yogyakarta, 2006. 
Adiwarman A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. 
          Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2002. 
           Ascaya Diana Yunita, Bank Syari’ah: Gambaran Umum, PPSK BI, Jakarta, 2005. 
Ascary, Akad dan Produk Bank Syari’ah, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 2007.
Fachruddin, Analisa Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan dengan Prinsip Mudharabah Pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Medan, Tesis, PPS USU, Medan 2008.
Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006.
           Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001.
Rachmat Syafi’i, fiqh Muamalah, Pustaka setia, Bandung, 2004. 
Yusuf Qordhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Perss, Jakarta, 1997.
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah



[1] Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2002, hal. 123. 
[2] Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 
[3] Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[4] Yusuf Qordhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Perss, Jakarta, 1997,hal. 184. 
[5] Abdul Ghofur Ansory, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Citra Media, Yogyakarta, 2006, hal.1. 
[6] Ibid., hal. 19. 
[7] Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 
[8] Rachmat Syafi’i, fiqh Muamalah, Pustaka setia, Bandung, 2004, hal. 44. 
[9] Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 60.
[10] Adiwarman, A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.123. 
[11] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal.75.
[12] Ibid, hal. 74.
[13] Ibid, hlm.3 
[14] Pasal 1 ayat (25) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 
[15] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, Op Cit., hal. 65. 
[16] Ibid, hlm.114 
[17] Ascaya Diana Yunita, Bank Syari’ah: Gambaran Umum PPSK BI, Jakarta, 2005,  hal.21. 
[18]  Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Wacana Ulama Dan Cendekiawan, Tazkia Islami dan BI, Jakarta, 1999, hal.173. 
[19]  Ascary, Akad dan Produk Bank Syari’ah, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 2007, Hal..65. 
[20] Antonio, Muhammad Syafi’i, Op., Cit., hal. 173. 
[21] Ascary,,Op.,Cit., hal. 69 
[22] Adiwarman,A.Karim, ,Op., Cit., hal. 216. 
[23] Adiwarman,A.Karim, ,Op., Cit, hal. 214.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar