PENEGAKAN
HUKUM
DALAM
SISTEM PERADILAN INDONESIA
Oleh : Budi Harman, SH
A. Pendahuluan.
Penegakan
hukum menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa yg berdasarkan
hukum (Rechtstaat), tugas dan
tanggung jawab masyarakat, lembaga kepolisian, kejaksaan, peradilan dan
lembaga-lembaga advokasi.
Harapan seluruh masyarakat yang mendambakan keadilan terwujud di Indonesia maka
penegakan hukum yg adil dan menjamin kepastian hukum harus tidak boleh tidak
untuk diwujudkan oleh lembaga-lembaga / instansi yang berkaitan dengan
penegakan hukum agar berperan aktif dengan menjunjung tinggi keadilan
masyarakat.[1]
Peningkatan kinerja lembaga
peradilan dan institusi penegak hukum lainnya yang disertai semangat untuk
tetap menjaga kejujuran dan keadilan dalam pelaksanaannya. Didalam membicarakan
peradilan senantiasa berada pada domain aturan perundang-undangan, sehingga
peradilan dilihat sebagai komunitas yang tampak tertib dan teratur karena hanya
menampilkan bagian depannya (Frontside).
Sedangkan bagian belakang Peradilan maupun lembaga penegak hukum lainnya tidak
diamati. Artinya apa yang terjadi dibalik proses pemeriksaan di kepolisian,
kejaksaan dan pengadilan tidak terjangkau oleh pengamatan.[2]
Bagian penting dalam
penegakan hukum adalah peranan dari penegak hukum untuk mencermati kasus posisi
dengan segala kaitannya termasuk juga pihak-pihak yang terkait dengan kasus
itu, membutuhkan kecermatan yang terkait dengan perundang-undangan yang
dilanggar, sejauh mana pelanggaran itu. Dalam melaksanakan itu perlu penafsiran
(interpretasi) yang mendalam maka
perlu dedikasi, kejujuran dan kinerja yang tinggi.
Penafsiran yang mendukung
terwujud keadilan masyarakat yaitu : Gramatikal, Historis, Filosofis dll. Dalam
pelaksanaannya aparatur penegak hukum lebih bertumpu pada penafsiran gramatikal
yang mengacu pada rumusan aturan perundang-undangan. Padahal dengan penafsiran
gramatikal itu saja, tidak cukup mendukung terwujud keadilan dan penegakan
hukum yang proporsional serta adil, tetapi harus didukung penafsiran yang
lainnya misal penafsiran filosofis, mengapa seseorang melakukan/ tidak
melakukan atau menerima sesuatu. Dengan penafsiran gramatikal dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Tetapi dengan penafsiran filosofis
misalnya, mengapa mengambil sesuatu mungkin karena kelaparan, sangat terpaksa
dan yang diambil nilainya kecil sekali, sehingga dengan penafsiran filosofis
tersebut mungkin akan dapat melepaskan orang tersebut dari jeratan hokum.[3]
Kata
“carut-marut”
sering dipakai untuk menggambarkan suasana kacau-balau bak benang kusut.
Berbagai fakta yang terjadi dalam sistem hukum[4] dan peradilan kita sungguh
sangat bertolak belakang dengan pernyataan para elit dan para hamba hukum yang
sering dengan lantang mengatakan “negara kita adalah negara hukum” atau “demi
hukum”. Setelah disuguhi berita dan tayangan kasus Prita yang gara-gara
curhatan hati dalam emailnya atau kasus Ibu Minah yang gara-gara hanya memetik
tiga butir buah kakao dipidana kurungan 45 hari dan terakhir ini kasus yang
sangat menghebohkan dunia hukum yaitu tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi
dalam kasus suap pemilu kepala daerah.
Kejadian demi kejadian dalam sistem hukum dan peradilan kita makin
mempertontonkan bahwa betapa inkonsistensinya penegakan hukum. Semakin pula menyuguhkan
fakta bahwa yang memiliki uang dan kekuasaanlah mendapat tempat istimewa dalam
sistem hukum dan peradilan kita. Uang telah mengendalikan segalanya. Sedangkan
rakyat kecil (“wong cilik” dalam pengertian sebenarnya) begitu gampang
ditangkap, diadili, dan dijebloskan ke sel tahanan; dengan dakwaan yang masih
bisa diperdebatkan baik dari sisi hukum positif maupun dari sisi ‘rasa
keadilan’ yang sesungguhnya. Konsep apapun yang dianut tentang pengertian
keadilan tetapi secara manusiawi tidak dapat disangkal bahwa masalah hakiki
yang terjadi dari semua gambaran diatas adalah ketidak adilan.[5]
Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau
konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat
rekayasa sosial (tool of social
engineering). Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu
konflik antara dua
pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini
munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang
bersifat netral dan tidak memihak. Salah
satu sumber utama konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah
kondisi penegak hukum di Indonesia yang sangat lemah.[6]
Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang
berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang
diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang
seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak
yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak
kepada yang kuat dan berkuasa. Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap
hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk mewujudkan
ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi
tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.
Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus
segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan
membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi
masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola
kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian
konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar
jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh
sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak
yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan
ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia.
B. Permasalahan.
Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik
dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi
kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut,
satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah ketidak
konsistenan (inkonsistensi) penegakan hukum oleh
aparat.
C. Pembahasan.
Dalam
kacamata hukum, penegakan hukum itu melandaskan pada prinsip-prinsip The
Rule of Law, yaitu menempatkan semua orang/ tersangka/ terdakwa sama
sederajat di depan hukum (Equal Before
the Law), menempatkan semua orang memiliki perlindungan yang sama di depan
hukum (Equal Protection On the Law),
dan menempatkan semua orang memiliki keadilan yang sama di bawah hukum (Equal Justice Under the Law).
Prinsip-prinsip tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik di negara kita[7].
Hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia
menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa.
Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di
Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu
akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti
sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum,
bagi kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan
didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan
hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.
Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan
hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata
hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut
semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau
hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan
kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan
penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan
disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.[8]
Dalam sistem hukum dimanapun didunia,
keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga
pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem
hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau
kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.[9]
Inkonsistensi
penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun
lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun
inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media
elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang
kaya, dan sebagainya). Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari,
baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa
terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya.
1. Kondisi Sistem Peradilan Saat Ini.
Hukum merupakan urat nadi
dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan
makmur. Muladi menyebutkan bahwa sejak Indonesia merdeka, tema negara hukum
paling banyak mendapat sorotan. Sebagian dikarenakan kelemahan yang nyata pada
lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Institusi-institusi hukum tidak berjalan
sebagaimana mestinya yaitu menurut tarafkeinginan, harapan, dan tuntutan rakyat
dari hampir semua tingkatan masyarakat[10].
Donald Black menyebut hukum
adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control) sehingga
sistem hukum adalah sistem kontrol sosial yang di dalamnya diatur tentang
struktur, lembaga, dan proses kontrol sosial tersebut[11]. Friedman juga
menyebutkan bahwa yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri yaitu
sebagai kontrol sosial (ibarat polisi), penyelesaian sengketa (dispute
settlement), skema distribusi barang dan jasa (good distributing
scheme), dan pemeliharaan sosial (Social maintenance)[12].
Sejak Indonesia merdeka
sampai saat ini, kinerja hukum dan penegak hukum masih dianggap kurang memenuhi
harapan dan perasaan keadilan masyarakat. Lembaga peradilan yang seharusnya
menjadi benteng terakhir (last forttress) untuk mendapatkan keadilan
sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan. Akibatnya, rasa hormat
dan kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal
mungkin orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke pengadilan.
Pada umumnya di
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dijumpai demam untuk memodernisir
hukumnya. Tetapi Friedman melihat, bahwa modernisasi ini umumnya hanya
menyangkut unsur struktur dan substansinya saja, sedangkan kultur hukumnya
tidak mendapat perhatian yang seksama. Dengan demikian maka modernisasi hukum
seperti ini belum dapat menjawab pertanyaan “apakah yang selanjutnya dapat
dihasilkan oleh hukum yang telah menjadi modern seperti ini?”. Apakah ia dapat
menolong meningkatnya GNP? Apakah ia mampu menggerakkan perubahan dalam
masyarakat. Pada pokoknya Friedman ingin mengingatkan tentang pentingnya
peranan kultur hukum, yaitu nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi
bekerjanya hukum.
Kondisi yang sama juga
dihadapi Indonesia. Dalam bidang hukum secara garis besar dapat dikemukakan
bahwa hambatan utama yang dihadapi adalah pembuatan hukum dan penegakan
hukumnya. Dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem
peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan dapat dirinci sebagai
berikut[13]:
1.
Hukum hanya
dapat dinikmati oleh golongan yang mampu;
2.
Mencari
keadilan adalah upaya yang mahal;
3.
Aparat
penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak senantiasa bersih);
4.
Kualitas
profesi di bidang hukum yang kurang memadai;
5.
Ada
beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten.
Buku Reformasi Hukum di
Indonesia, menyimpulkan hasil penelitian tentang penegakan hukum di Indonesia
menyatakan antara lain[14]:
1.
Kurangnya
rasa hormat masyarakat pada hukum;
2.
Tidak
adanya konsistensi penerapan peraturan oleh aparat pengadilan;
3.
Management
pengadilan sangat tidak efektif (maksudnya : mekanisme pengawasan);
4.
Peranan
yang dominan dari eksekutif membawa pengaruh yang tidak sehat terhadap
pengadilan (Peradilan yang tidak independent, karena dualisme kekuasaan
kehakiman);
5.
Penegakan
hukum yang berbau praktek korupsi , dan keberpihakan yang menguntungkan
pemerintah.
Sistem peradilan di
Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan
dalam prakteknya. Sisa-sisa prilaku sebagai bangsa terjajah masih nampak di
kalangan para hakim. Dari sisi ini paling tidak ada tiga hal yang dapat dilihat
yaitu : Pertama, hakim-hakim tidak mempunyai kepercayaan diri untuk mengutip
yurisprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia. Kedua, kemungkinan memang tidak
ada putusan hakim (MA) yang dapat dianggap berkualitas untuk kasus itu. Ketiga,
menganggap yurisprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu[15].
Permasalahan yang berkaitan
dengan hukum positif dan keadaan supremasi hukum saat ini juga terletak pada
kualitas perundang-undangan yang mencakup kemungkinan-kemungkinan negatif
sebagai berikut[16].
1.
Perundang-undangan
warisan kolonial yang sudah tidak memadai dengan suasan kemerdekaan. Sebagai
contoh : ketentuan tentang “Hatzaai Artikelen” (Pasal 154, Pasal 156 KUHAP)
yang bertentangan dengan kebebasan menyatakan pendapat, pasal-pasal yang memidana
pengemisan dan penggelandangan (Pasal 504 dan Pasal 505 KUHAP);
2.
Perundang-undangan
yang diciptakan setelah Indonesia merdeka tetap dinilai bermasalah sehingga
telah ditinjau kembali. Contoh Undang-Undang No. 11 PNPS 1963, yang merupakan
gambaran sistem otoriter;
3.
Undang-undang
yang karena sesuatu hal belum beradaptasi dengan perkembangan internasional
(sekalipun dimungkinkan) misalnya, ratifikasi dokumen internasional HAM masih
sangat rendah intensitasnya. Contoh : belum diaturnya pertanggungjawaban korporasi
(corporate criminal hability ) dalam tindak pidana korupsi;
4.
Penegakan
hukum yang tidak bijaksana karena bertentangan dengan aspirasi masyarakat dan
rasa keadilan masyarakat yang kadang-kadang terlalu menekankan kepastian hukum
tetapi merugikan keadilan;
5.
Kesadaran
hukum yang masih rendah yang lebih banyak berkisar dengan kualitas sumber daya
manusianya, sehingga terjadi kesenjangan antara “law awarenes/lawacquitance”
dengan “law behaviour” (aspek kesadaran hukum). Contohnya :
praktek-praktek penyiksaan dalam penegakan hukum, padahal jelas melanggar Pasal
422 KUHAP;
6.
Rendahnya
pengetahuan hukum, sehingga menimbulkan kesan tidak profesional, dan tidak
jarang mengakibatkan malpraktek di bidang penegakan hukum (aspek illteracy).
Misalnya : masih banyak praktek main hakim sendiri baik antar warga masyarakat
maupun oknum penegak hukum terhadap warga masyarakat;
7.
Mekanisme
Lembaga Penegak Hukum yang fargmentasi sehingga tidak jarang menimbulkan
disparitas penegakan hukum dalam kasus yang sama atau kurang lebih sama;
8.
Budaya
hukum tentang HAM yang belum terpadu sebagai akibat perbedaan persepsi tentang
HAM;
Bagir Manan menyebutkan
bahawa keadaan hukum (the existing legal system) Indonesia dewasa ini
menunjukkan hal-hal sebagai berikut[17].
1.
Dilihat
dari substansi hokum, asas dan kaidah, hingga saat ini terdapat berbagai sistem
hukum yang berlaku diantaranya sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem
hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan
akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut
dimaksudkan untuk membiarakan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum
tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan
bagi suatu pergaulan yang modern;
2.
Ditinjau
dari segi bentuk, sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada
bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa
mengarahakan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah
hukum adat atau hukum islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum
ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut[18]. Penggunaan Yruisprudensi
dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan
hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama;
3.
Hingga saat
ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia
Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam
kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung
kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum
maupun perkembangan masyarakat;
4.
Keadaan
hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel).
Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara,
bahkan pula dari badan justisial. Peraturan kebijakan merupakan instrumen yang
selalu melekat pada administrasi negara. Yang menjadi masalah, adakalanya
peraturan kebijakan tersebut kurang memperhatikan tatanan hukum yang berlaku.
Berbagai aturan kebijakan menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku karena terlalu menekankan aspek doelmatigheid” dari pada “rechtsmatigheid”.
Hal-hal semacam ini sepintas lalu dapat dipandang sebagai “terobosan” tas
ketentuan-ketentiuan hukum yang dipandang tidak memadai lagi. Namun demikian dapat
menimbulkan kerancuan dan ketidak pastian hokum;
5.
Keadaan
lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum
khususnya peraturan perundang-undangan – sering dipandang sebagai urusan
departemen bersangkutan. Peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah
semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri. Peraturan perundang-undangan
industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan;
6.
Tidak pula
jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan
teoretik yang dipergunakan;
7.
Keadaan
hukum kita – khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kurun
waktu dua puluh lima tahun terakhir – sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out
of date) . Secara obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berjalan begitu cepat, sehingga
hukum mudah seka;i tertinggal di belakang. Secara subyektif, berbagai peraturan
perundang-undangan dibuat untuk mengatasi keadaan seketika sehingga kurang memperhatikan
wawasan ke depan. Kekurangan ini sebenranya dapat dibatasi apabila para penegak
hukum berperan aktif mengisi berbagai kekososngan atau memberikan pemahaman
baru suatu kaidah. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih
suka memilih sebagai “aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan
perundang-undangan.
Ediwarman menyebutkan bahwa
berbagai krisis yang terjadi saat ini di Indonesia sesungguhnya berpangkal
tolak pada krisis prilaku[19]. Sunaryati Hartono menyatakan
bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang berkaitan langsung dengan
krisis hukum disebabkan oleh[20]:
1.
Karena
aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat, terutama
bidang hukum sangat diabaikan;
2.
Karena
kejujuran dalam kata dan perilaku semakin ditinggalkan, baik dalam kehidupan
masyarakat dan bernegara, maupun dalam kehidupan pribadi. Ini tercermin dari
perkembangan bangsa Indonesia yang dalam 30 tahun terakhir menjadi sampai
kabur, berbunga-bunga karena banyak menggunakan eufemisme;
3.
Karena cara
berfikir bangsa Indonesia semakin menjadi formalistis, birokratis dan munafik,
legalistis, hal mana mendukung sikap hipokritis pula, dan kurang memperhatikan
arti intrinsik dan yang sebenarnya dari suatu kata atau pengertian;
4.
Karena
elite baru dan orang kaya baru masyarakat Indonesia semakin menjadi feodal dan
mengadopsi cara-cara kehidupan orang-orang Belanda yang dimasa kolonial hidup
di Indonesia.
Dari berbagai kasus yang menimpa pengadilan setidaknya terdapat
tiga kritik bagi lembaga peradilan kita. Pertama, adalah lemahnya moral dan
profesionalisme. Kedua, adalah lemahnya budaya hukum masyarakat yang menyangkut
persepsi masyarakat terhadap pola penegakkan hukum dan Ketiga, adalah lemahnya
kemandirian dan kebebasan hakim (lemahnya sistem peradilan).
2. Konflik Sosial Dari Aspek Penegakan Hukum.
Konflik
yang dalam bahasa Indonesia acap kali disebut sebagai pertentangan atau
perselisihan dapat terjadi pada hubungan yang bersifat individual yang terjadi
sebagai akibat perilaku atau perebutan kepentingan masing-masing individu yang
bersangkutan. Kepentingan itu bisa berkenaan dengan harta, kedudukan atau
jabatan, kehormatan, dan lain sebagainya. Konflik sosial berarti pertentangan
antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang diikat atas dasar suku,
ras, gender, kelompok, status ekonomi, status sosial, bahasa, agama, dan
keyakinan politik, dalam suatu interaksi sosial yang bersifat dinamis. Baik
dalam masyarakat homogin maupun dalam masyarakat majemuk konflik sosial
merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan menjadi unsure dinamis yang melahirkan
berbagai kreatifitas masyarakat. Konflik sosial mustahil dihilangkan sama
sekali. Yang harus dicegah adalah konflik yang menjurus pada pengrusakan dan
penghilangan salah satu pihak atau para pihak yang berkonflik. Oleh karena itu
konflik harus dikendalikan, dikelola, dan diselesaikan melalui hukum. Yang
berarti melalui jalan damai ( konsensus
) [21].
Konflik dapat bersifat
laten dan dapat pula bersifat manifest. Konflik yang bersifat laten adalah
pertentangan yang tertutup dan belum mencuat terbuka kepermukaan. Misalnya,
kesenjangan dalam pengupahan antara pekerja perempuan dengan pekerja laki-laki
dalam suatu perusahaan yang berlangsung secara diam-diam tertutup oleh dominasi
budaya patrimonial pada suatu saat meledak dan menjadi konflik terbuka. Contoh
lain misalnya dominasi posisi badan pemerintahan oleh etnis atau ras tertentu
dapat mengundang kecemburuan dan kekecewaan etnis lain yang merupakan suatu
konflik yang bersifat laten. Suatu konflik laten yang tidak segera diatasi pada
ketikanya akan meletus menjadi perselisihan terbuka[22].
Konflik sosial dapat
terjadi karena berbagai prasangka dan sebab. Seperti, prasangka-prasangka ras,
suku, agama, keyakinan politik atau ideology, dan lain sebagainya, dan sebab
adanya ketidak-adilan dalam akses pada sumberdaya ekonomi dan politik. Adanya
ketidak-adilan akses pada sumberdaya ekonomi dan politik memperparah berbagai
prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial. Sejarah Indonesia
menunjukkan prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial
dipertajam dan diperparah oleh kebijakan negara. Misalnya kebijakan pemerintah
kolonial Belanda yang mengistimewakan golongan Eropa, dan Cina telah
mempertajam prasangka rasial antara golongan Melayu ( pribumi ) dengan golongan
Cina. Akses pada sumberdaya ekonomi dan politik yang diberikan oleh pemerintah
kolonial kepada orang Cina terus menimbulkan konflik sosial dari abad ke 18
hingga hari ini.
Prasangka atas dasar
perbedaan keyakinan politik di antara kelompok-kelompok sosial dipertajam dan
diperparah pula oleh kebijakan negara. Misalnya, kebijakan negara yang
mendiskriminasi orang-orang komunisatau Darul Islam telah memperparah prasangka
yang sudah ada dan pada akhirnya melahirkan konflik antara negara dengan
kelompok sosial tersebut. Dengan demikian kebijakan negara justeru menjadi
sumber yang melahirkan konflik sosial[23].
Dalam negara hukum
konflik baik itu yang bersifat individual atau sosial harus diselesaikan
melalui jalan hukum. Itu berarti sebuah penolakan terhadap jalan kekerasan.
Hukum berarti aturan main yang tidak hanya bersifat formal, tetapi lebih
daripada itu ia mengandung nilai-nilai keadilan. Dalam negara demokrasi hukum
itu hanya dapat memenuhi syarat legitimsasinya bila ia dibentuk melalui proses
konsensus ( bisa bulat atau melalui suara terbanyak ) wakil-wakil rakyat di
parlemen, dan kedua substansi hukum itu memenuhi tuntutan keadilan masyarakat.
Hukum itu kemudian menjadi norma hukum obyektif yang menjadi dasar bagi
tindakan negara. Ia mengatur hubungan antara negara dengan warga negara dan hu
bungan antara badan-badan negara.
Hukum
yang dibentuk melalui proses yang memenuhi syarat legitimasinya itu dijalankan
oleh kekuasaan yudisial yang kompeten dan independen, dalam arti bebas dari
berbagai pengaruh yang dapat menciderai kedaulatan (otonomi) hukum. Kekuasaan
yudisial meliputi wewenang penyidikan oleh Polisi, wewenang penuntutan oleh
Jaksa Penuntut Umum, dan Pengadilan oleh Hakim. Polisi, Jaksa, dan Hakim inilah
merupakan sub-sistem yang membentuk sistem yudisial. Setiap sub-sistem yudisial
akan menghadapikasus konkrit dan dituntut untuk
menerapkan norma hukum yang abstrak itu dalam situasi konkrit. Disitu
masing-masing sub-sistem akan menghadapi kasus nyata dimana dapat terjadi
ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan keadilan hukum.
Dalam menghadapi
situasi konkrit itu tidak ada kemutlakan. Yang berarti yang dituntut adalah
keseimbangan yang terukur dan akuntable antara kepas$tian hukum dan keadilan
hukum. Itu berarti keputusan yang diambil oleh tiap sub-sistem yudisial harus
bernalar dan selalu dapat diuji dan dipertanggungjawabkan secara terbuka.
Dengan cara pendekatan ini akan dapat dihindari praktek penegakan hukum yang
sewenang-wenang dan kolutif seperti banyak kita saksikan di masa lalu maupun
hari-hari ini. Bila hukum tidak adil dan proses penegakannya kolutif dan abuse
sudah dapat dipastikan hukum akan gagal menjalankan fungsinya untuk
menyelesaikan konflik dan mengintegrasikan para pihak yang bersengketa. Hukum
dan penegakannya justeru menjadi sumber terjadinya konflik sosial. Sebuah
tragedy yang tidak kita kehendaki[24].
D. Penutup.
Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan
kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam
(nachtwachterstaat). Sejak awal kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah
menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola berdasarkan hukum.
Ketika
memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini
harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum. Semua harus
diselenggarakan secara teratur (in order)
dan setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi yang sepadan.
Penegakkan
hukum, dengan demikian, adalah suatu kemestian dalam suatu negara hukum.
Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan kesejahteraan suatu t
negara. Karena, negara-negara maju di dunia biasanya
ditandai, tidak sekedar perekonomiannya maju, namun juga penegakan
hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) –nya berjalan baik.
Banyak
pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai ‘jalan di tempat’ ataupun
malah ‘tidak berjalan sama sekali.’ Pendapat ini mengemuka utamanya dalam
fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum
cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan
‘penjahat-penjahat kecil’ daripada buronan kelas kakap yang lama
bertebaran di dalam dan luar negeri.
Pendapat
tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi korupsi
saja. Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah
hukum sendiri sudah luas. Hukum tidak semata-mata peraturan
perundang-undangan namun juga bisa bersifat keputusan kepala adat. Hukum-pun
bisa diartikan sebagai pedoman bersikap tindak ataupun sebagai petugas.
Dalam
suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan
sebagai suatu isi hukum (content of
law), tata laksana hukum (structure
of law) dan budaya hukum (culture of
law). Sehingga, penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui
perundang-undangan, namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan
fasilitas hukum. Juga, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana
menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum.
Masyarakatpun
harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu.
Maka, program penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus
terus menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak
dari warganegara untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang tepat dan benar
akan hal-hal yang penting dan berguna bagi kelangsungan hidupnya.
Akhirnya,
penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan kepastian
hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya
keadilan (justice), kepastian hukum
(certainty of law), dan kesebandingan
hukum (equality before the law).
Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan
penegakan hak asasi manusia. Penegakan hukum jangan dipertentangkan dengan
penegakan hak azasi manusia.
Daftar
Pustaka
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta,2008.
Anton Reihanhart, Masalah Hukum (Dari Kratalogi Sampai
Kwitansi), Aksara Persada, Jakarta, 1985.
Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan
Perundang-undangan Nasional, Makalah, Jakarta, 1993.
Kapita
selekta penegakan hukum di Indonesia Cet
1, Prestasi Pustaka, 2006,
Mieke Komar, Etty R.
Agoes, Eddy Damian (Editor), Kumpulan
Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M.,
Penerbit Alumni Bandung, 1999.
R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul
Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pakar Pusat Kajian Reformasi, Jakarta,
2001.
Satjipto Rahardjo, Penegakan
Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.
Satjipto Rahardjo, Membedah
Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.
Sunarmi,
Membangun Sistem Peradilan Di Indonesia,
e-USU Repository, Universitas Sumatera
Utara, 2004.
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cet. III, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008.
Zudan Arif Fakrullah,
Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang Berkualitas, Artikel, Jurnal
Keadilan, Vol 1 No. 3, September 2001.
Teguh Prasetyo dan
Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju
Masyarakat, yang berkeadilan dan bermartabat, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2013.
Achmad Ali, Menguak
Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) :Termasuk
Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Vol. I, Kencana, Jakarta, 2009.
Abdul Hakim G Nusantara, Konflik Sosial
Dari Aspek Penegakan Hukum (pdf), http://www.scribd.com/doc/23421927/AHGN-Konflik-Sosial-Dari-Aspek-Penegakan-Hukum, Akses Internet
tanggal 25 Januari 2014.
Eldo Denara, Carut Marut Penegakan Hukum di Indonesia, http://matahatifh.wordpress.com/2010/01/16/carut-marut-penegakan-hukum-di-indonesia-oleh-eldo-denara/,
Akses Internet tanggal 25 Januari 2014.
[1] Kapita selekta, penegakan
hukum di Indonesia, Cet. I, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hal. 133.
[2] Ibid., hal.
134.
[3] Ibid., hal.
136-137.
[4] Menurut
Friedman, system hukum merupakan suatu system yang meliputi substansi,
struktur,dan budaya. Dengan kata lain, system hukum secara cakupan materi
kajian menyangkut legislasi (produk hukum), struktur dan budaya hukum.
Lihat Friedman dalam Ade Maman Suherman, Pengantar
Perbandingan Sistem Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2008, hal. 11.
[5] Anton Reihanhart, Masalah Hukum (Dari Kratalogi Sampai Kwitansi), Aksara Persada,
Jakarta, 1985, hal. 1.
[6] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 73.
[7] Eldo
Denara, Carut Marut Penegakan Hukum di
Indonesia, http://matahatifh.wordpress.com, akses internet
tanggal 19/04/2010 10:57.
[8] Satjipto
Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hal. Xiii.
[9] Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hal. 270
[10] Muladi dalam kata sambutan,penerbitan buku R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul
Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pakar Pusat Kajian Reformasi, Jakarta,
2001, hal. v.
[14] Ibid., hal. 5.
[15] Zudan Arif
Fakrullah, Membangun Citra Hukum Melalui
Putusan Hakim Yang Berkualitas, Vol. 1, No. 3, Artikel, Jurnal Keadilan, September
2001.
[16] RE Baringbing, Op Cit.,
hal. 125.
[17] Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, dalam
Mochtar Kusumaatmaja : Pendidik
&Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar
Kusumaatmaja, SH. LL.M)., Editor Mieke Komar, Etty R.
Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal. 238 – 245.
[18] Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional,
Makalah, Jakarta, 1993, hal. 2.
[19] Ediwarman Dalam Sunarmi, Membangun Sistem Peradilan Di Indonesia,
e-USU Repository, Universitas Sumatera
Utara, 2004, Hlm.7.
[20] Sunaryati Hartono, Reformasi Total untuk Mengatasi Krisis Ekonomi dan Krisis Total Yang
Sedang Melanda Indonesia, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr.
Mochtar Kusumaatmaja, Op cit, hlm
274 – 275.
[21]
Abdul Hakim G Nusantara, Konflik Sosial
Dari Aspek Penegakan Hukum (pdf), Akses Internet tanggal 30/06/2010 13:35 hal. 1.
[22] Ibid., hal. 2.
[24] Ibid., hal. 2.