Rabu, 27 Agustus 2014

Penegakan Hukum Dalam Sistem Peradilan Indonesia




PENEGAKAN HUKUM

DALAM SISTEM PERADILAN INDONESIA

Oleh : Budi Harman, SH
A.  Pendahuluan.

Penegakan hukum menjadi tugas dan tanggung jawab seluruh komponen bangsa yg berdasarkan hukum (Rechtstaat), tugas dan tanggung jawab masyarakat, lembaga kepolisian, kejaksaan, peradilan dan lembaga-lembaga advokasi. Harapan seluruh masyarakat yang mendambakan keadilan terwujud di Indonesia maka penegakan hukum yg adil dan menjamin kepastian hukum harus tidak boleh tidak untuk diwujudkan oleh lembaga-lembaga / instansi yang berkaitan dengan penegakan hukum agar berperan aktif dengan menjunjung tinggi keadilan masyarakat.[1]

Peningkatan kinerja lembaga peradilan dan institusi penegak hukum lainnya yang disertai semangat untuk tetap menjaga kejujuran dan keadilan dalam pelaksanaannya. Didalam membicarakan peradilan senantiasa berada pada domain aturan perundang-undangan, sehingga peradilan dilihat sebagai komunitas yang tampak tertib dan teratur karena hanya menampilkan bagian depannya (Frontside). Sedangkan bagian belakang Peradilan maupun lembaga penegak hukum lainnya tidak diamati. Artinya apa yang terjadi dibalik proses pemeriksaan di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tidak terjangkau oleh pengamatan.[2]

Bagian penting dalam penegakan hukum adalah peranan dari penegak hukum untuk mencermati kasus posisi dengan segala kaitannya termasuk juga pihak-pihak yang terkait dengan kasus itu, membutuhkan kecermatan yang terkait dengan perundang-undangan yang dilanggar, sejauh mana pelanggaran itu. Dalam melaksanakan itu perlu penafsiran (interpretasi) yang mendalam maka perlu dedikasi, kejujuran dan kinerja yang tinggi.

Penafsiran yang mendukung terwujud keadilan masyarakat yaitu : Gramatikal, Historis, Filosofis dll. Dalam pelaksanaannya aparatur penegak hukum lebih bertumpu pada penafsiran gramatikal yang mengacu pada rumusan aturan perundang-undangan. Padahal dengan penafsiran gramatikal itu saja, tidak cukup mendukung terwujud keadilan dan penegakan hukum yang proporsional serta adil, tetapi harus didukung penafsiran yang lainnya misal penafsiran filosofis, mengapa seseorang melakukan/ tidak melakukan atau menerima sesuatu. Dengan penafsiran gramatikal dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana. Tetapi dengan penafsiran filosofis misalnya, mengapa mengambil sesuatu mungkin karena kelaparan, sangat terpaksa dan yang diambil nilainya kecil sekali, sehingga dengan penafsiran filosofis tersebut mungkin akan dapat melepaskan orang tersebut dari jeratan hokum.[3]

Kata “carut-marut” sering dipakai untuk menggambarkan suasana kacau-balau bak benang kusut. Berbagai fakta yang terjadi dalam sistem hukum[4] dan peradilan kita sungguh sangat bertolak belakang dengan pernyataan para elit dan para hamba hukum yang sering dengan lantang mengatakan “negara kita adalah negara hukum” atau “demi hukum”. Setelah disuguhi berita dan tayangan kasus Prita yang gara-gara curhatan hati dalam emailnya atau kasus Ibu Minah yang gara-gara hanya memetik tiga butir buah kakao dipidana kurungan 45 hari dan terakhir ini kasus yang sangat menghebohkan dunia hukum yaitu tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi dalam kasus suap pemilu kepala daerah.

Kejadian demi kejadian dalam sistem hukum dan peradilan kita makin mempertontonkan bahwa betapa inkonsistensinya penegakan hukum. Semakin pula menyuguhkan fakta bahwa yang memiliki uang dan kekuasaanlah mendapat tempat istimewa dalam sistem hukum dan peradilan kita. Uang telah mengendalikan segalanya. Sedangkan rakyat kecil (“wong cilik” dalam pengertian sebenarnya) begitu gampang ditangkap, diadili, dan dijebloskan ke sel tahanan; dengan dakwaan yang masih bisa diperdebatkan baik dari sisi hukum positif maupun dari sisi ‘rasa keadilan’ yang sesungguhnya. Konsep apapun yang dianut tentang pengertian keadilan tetapi secara manusiawi tidak dapat disangkal bahwa masalah hakiki yang terjadi dari semua gambaran diatas adalah ketidak adilan.[5]

Salah satu fungsi hukum adalah alat penyelesaian sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian sosial dan alat rekayasa sosial (tool of social engineering). Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Salah  satu sumber utama konflik dan kekerasan di berbagai daerah adalah kondisi penegak hukum di Indonesia yang sangat lemah.[6]

Pelaksanaan hukum di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik, seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa. Pengembalian kepercayaan masyarakat terhadap hukum sebagai alat penyelesaian konflik dirasakan perlunya untuk  mewujudkan ketertiban masyarakat Indonesia, yang oleh karena euphoria “reformasi” menjadi tidak terkendali dan cenderung menyelesaikan masalah dengan caranya sendiri.

Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka di luar jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan inkonsistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri, selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara. Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat Indonesia.



B.     Permasalahan.

Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik dari sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam adalah ketidak konsistenan (inkonsistensi) penegakan hukum oleh aparat.



C.    Pembahasan.

Dalam kacamata hukum, penegakan hukum itu melandaskan pada prinsip-prinsip The Rule of Law, yaitu menempatkan semua orang/ tersangka/ terdakwa sama sederajat di depan hukum (Equal Before the Law), menempatkan semua orang memiliki perlindungan yang sama di depan hukum (Equal Protection On the Law), dan menempatkan semua orang memiliki keadilan yang sama di bawah hukum (Equal Justice Under the Law). Prinsip-prinsip tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik di negara kita[7].

Hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Dia menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa. Apabila proses tersebut benar, idealitas yang dibangun dalam penegakan hukum di Indonesia sejajar dengan upaya bangsa mencapai tujuan bersama. Idealitas itu akan menjauhkan dari praktek ketimpangan hukum yang tak terkendali seperti sekarang ini. Sehingga Indonesia dimasa depan tidak ada lagi dskriminasi hukum, bagi kaum papa karena hukum tak hanya melayani kaum kaya. Apabila kesetaraan didepan hukum tak bisa diwujudkan, keberpihakan itu mutlak. Manusia menciptakan hukum bukan hanya untuk kepastian, tetapi juga untuk kebahagiaan.

            Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan.[8]

Dalam sistem hukum dimanapun didunia, keadilan selalu menjadi objek perburuan, khususnya melalui lembaga pengadilannya. Keadilan adalah hal yang mendasar bagi bekerjanya suatu sistem hukum. Sistem hukum tersebut sesungguhnya merupakan suatu struktur atau kelengkapan untuk mencapai konsep keadilan yang telah disepakati bersama.[9]

Inkonsistensi penegakan hukum ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri, keluarga, maupun lingkungan terdekatnya yang lain (tetangga, teman, dan sebagainya). Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula mereka temui dalam media elektronik maupun cetak, yang menyangkut tokoh-tokoh masyarakat (pejabat, orang kaya, dan sebagainya). Inkonsistensi penegakan hukum ini berlangsung dari hari ke hari, baik dalam peristiwa yang berskala kecil maupun besar. Peristiwa kecil bisa terjadi pada saat berkendaraan di jalan raya.

1.    Kondisi Sistem Peradilan Saat Ini.

Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Muladi menyebutkan bahwa sejak Indonesia merdeka, tema negara hukum paling banyak mendapat sorotan. Sebagian dikarenakan kelemahan yang nyata pada lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Institusi-institusi hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya yaitu menurut tarafkeinginan, harapan, dan tuntutan rakyat dari hampir semua tingkatan masyarakat[10].

Donald Black menyebut hukum adalah kontrol sosial dari pemerintah (law is governmental social control) sehingga sistem hukum adalah sistem kontrol sosial yang di dalamnya diatur tentang struktur, lembaga, dan proses kontrol sosial tersebut[11]. Friedman juga menyebutkan bahwa yang terpenting adalah fungsi dari hukum itu sendiri yaitu sebagai kontrol sosial (ibarat polisi), penyelesaian sengketa (dispute settlement), skema distribusi barang dan jasa (good distributing scheme), dan pemeliharaan sosial (Social maintenance)[12].

Sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, kinerja hukum dan penegak hukum masih dianggap kurang memenuhi harapan dan perasaan keadilan masyarakat. Lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir (last forttress) untuk mendapatkan keadilan sering tidak mampu memberikan keadilan yang didambakan. Akibatnya, rasa hormat dan kepercayaan terhadap lembaga ini nyaris tidak ada lagi sehingga semaksimal mungkin orang tidak menyerahkan persoalan hukum ke pengadilan.

Pada umumnya di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dijumpai demam untuk memodernisir hukumnya. Tetapi Friedman melihat, bahwa modernisasi ini umumnya hanya menyangkut unsur struktur dan substansinya saja, sedangkan kultur hukumnya tidak mendapat perhatian yang seksama. Dengan demikian maka modernisasi hukum seperti ini belum dapat menjawab pertanyaan “apakah yang selanjutnya dapat dihasilkan oleh hukum yang telah menjadi modern seperti ini?”. Apakah ia dapat menolong meningkatnya GNP? Apakah ia mampu menggerakkan perubahan dalam masyarakat. Pada pokoknya Friedman ingin mengingatkan tentang pentingnya peranan kultur hukum, yaitu nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum.

Kondisi yang sama juga dihadapi Indonesia. Dalam bidang hukum secara garis besar dapat dikemukakan bahwa hambatan utama yang dihadapi adalah pembuatan hukum dan penegakan hukumnya. Dalam hal penegakan hukum ini tentu tidak terlepas dari sistem peradilannya dan sorotan utama terhadap kinerja Peradilan dapat dirinci sebagai berikut[13]:

1.    Hukum hanya dapat dinikmati oleh golongan yang mampu;

2.    Mencari keadilan adalah upaya yang mahal;

3.    Aparat penegak hukum (dalam hal ini pejabat peradilan tidak senantiasa bersih);

4.    Kualitas profesi di bidang hukum yang kurang memadai;

5.    Ada beberapa putusan hakim yang tidak selalu konsisten.

Buku Reformasi Hukum di Indonesia, menyimpulkan hasil penelitian tentang penegakan hukum di Indonesia menyatakan antara lain[14]:

1.    Kurangnya rasa hormat masyarakat pada hukum;

2.    Tidak adanya konsistensi penerapan peraturan oleh aparat pengadilan;

3.    Management pengadilan sangat tidak efektif (maksudnya : mekanisme pengawasan);

4.    Peranan yang dominan dari eksekutif membawa pengaruh yang tidak sehat terhadap pengadilan (Peradilan yang tidak independent, karena dualisme kekuasaan kehakiman);

5.    Penegakan hukum yang berbau praktek korupsi , dan keberpihakan yang menguntungkan pemerintah.

Sistem peradilan di Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda sedikit banyak menyulitkan dalam prakteknya. Sisa-sisa prilaku sebagai bangsa terjajah masih nampak di kalangan para hakim. Dari sisi ini paling tidak ada tiga hal yang dapat dilihat yaitu : Pertama, hakim-hakim tidak mempunyai kepercayaan diri untuk mengutip yurisprudensi dari Mahkamah Agung Indonesia. Kedua, kemungkinan memang tidak ada putusan hakim (MA) yang dapat dianggap berkualitas untuk kasus itu. Ketiga, menganggap yurisprudensi asing selalu lebih valid dan bermutu[15].

Permasalahan yang berkaitan dengan hukum positif dan keadaan supremasi hukum saat ini juga terletak pada kualitas perundang-undangan yang mencakup kemungkinan-kemungkinan negatif sebagai berikut[16].

1.    Perundang-undangan warisan kolonial yang sudah tidak memadai dengan suasan kemerdekaan. Sebagai contoh : ketentuan tentang “Hatzaai Artikelen” (Pasal 154, Pasal 156 KUHAP) yang bertentangan dengan kebebasan menyatakan pendapat, pasal-pasal yang memidana pengemisan dan penggelandangan (Pasal 504 dan Pasal 505 KUHAP);

2.    Perundang-undangan yang diciptakan setelah Indonesia merdeka tetap dinilai bermasalah sehingga telah ditinjau kembali. Contoh Undang-Undang No. 11 PNPS 1963, yang merupakan gambaran sistem otoriter;

3.    Undang-undang yang karena sesuatu hal belum beradaptasi dengan perkembangan internasional (sekalipun dimungkinkan) misalnya, ratifikasi dokumen internasional HAM masih sangat rendah intensitasnya. Contoh : belum diaturnya pertanggungjawaban korporasi (corporate criminal hability ) dalam tindak pidana korupsi;

4.    Penegakan hukum yang tidak bijaksana karena bertentangan dengan aspirasi masyarakat dan rasa keadilan masyarakat yang kadang-kadang terlalu menekankan kepastian hukum tetapi merugikan keadilan;

5.    Kesadaran hukum yang masih rendah yang lebih banyak berkisar dengan kualitas sumber daya manusianya, sehingga terjadi kesenjangan antara “law awarenes/lawacquitance” dengan “law behaviour” (aspek kesadaran hukum). Contohnya : praktek-praktek penyiksaan dalam penegakan hukum, padahal jelas melanggar Pasal 422 KUHAP;

6.    Rendahnya pengetahuan hukum, sehingga menimbulkan kesan tidak profesional, dan tidak jarang mengakibatkan malpraktek di bidang penegakan hukum (aspek illteracy). Misalnya : masih banyak praktek main hakim sendiri baik antar warga masyarakat maupun oknum penegak hukum terhadap warga masyarakat;

7.    Mekanisme Lembaga Penegak Hukum yang fargmentasi sehingga tidak jarang menimbulkan disparitas penegakan hukum dalam kasus yang sama atau kurang lebih sama;

8.    Budaya hukum tentang HAM yang belum terpadu sebagai akibat perbedaan persepsi tentang HAM;

Bagir Manan menyebutkan bahawa keadaan hukum (the existing legal system) Indonesia dewasa ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut[17].

1.    Dilihat dari substansi hokum, asas dan kaidah, hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku diantaranya sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarakan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasai untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern;

2.    Ditinjau dari segi bentuk, sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis, Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahakan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut[18]. Penggunaan Yruisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama;

3.    Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat;

4.    Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara, bahkan pula dari badan justisial. Peraturan kebijakan merupakan instrumen yang selalu melekat pada administrasi negara. Yang menjadi masalah, adakalanya peraturan kebijakan tersebut kurang memperhatikan tatanan hukum yang berlaku. Berbagai aturan kebijakan menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku karena terlalu menekankan aspek doelmatigheid” dari pada “rechtsmatigheid”. Hal-hal semacam ini sepintas lalu dapat dipandang sebagai “terobosan” tas ketentuan-ketentiuan hukum yang dipandang tidak memadai lagi. Namun demikian dapat menimbulkan kerancuan dan ketidak pastian hokum;

5.    Keadaan lain dari hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris. Hukum khususnya peraturan perundang-undangan – sering dipandang sebagai urusan departemen bersangkutan. Peraturan perundang-undangan pemerintah daerah adalah semata-mata urusan Departemen Dalam Negeri. Peraturan perundang-undangan industri adalah semata-mata urusan Departemen Perindustrian dan Perdagangan;

6.    Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan;

7.    Keadaan hukum kita – khususnya peraturan perundang-undangan yang dibuat dalam kurun waktu dua puluh lima tahun terakhir – sangat mudah tertelan masa, mudah aus (out of date) . Secara obyektif hal ini terjadi karena perubahan masyarakat di bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berjalan begitu cepat, sehingga hukum mudah seka;i tertinggal di belakang. Secara subyektif, berbagai peraturan perundang-undangan dibuat untuk mengatasi keadaan seketika sehingga kurang memperhatikan wawasan ke depan. Kekurangan ini sebenranya dapat dibatasi apabila para penegak hukum berperan aktif mengisi berbagai kekososngan atau memberikan pemahaman baru suatu kaidah. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian penegak hukum lebih suka memilih sebagai “aplikator” daripada sebagai “dinamisator” peraturan perundang-undangan.

Ediwarman menyebutkan bahwa berbagai krisis yang terjadi saat ini di Indonesia sesungguhnya berpangkal tolak pada krisis prilaku[19]. Sunaryati Hartono menyatakan bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia yang berkaitan langsung dengan krisis hukum disebabkan oleh[20]:

1.    Karena aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dan bermasyarakat, terutama bidang hukum sangat diabaikan;

2.    Karena kejujuran dalam kata dan perilaku semakin ditinggalkan, baik dalam kehidupan masyarakat dan bernegara, maupun dalam kehidupan pribadi. Ini tercermin dari perkembangan bangsa Indonesia yang dalam 30 tahun terakhir menjadi sampai kabur, berbunga-bunga karena banyak menggunakan eufemisme;

3.    Karena cara berfikir bangsa Indonesia semakin menjadi formalistis, birokratis dan munafik, legalistis, hal mana mendukung sikap hipokritis pula, dan kurang memperhatikan arti intrinsik dan yang sebenarnya dari suatu kata atau pengertian;

4.    Karena elite baru dan orang kaya baru masyarakat Indonesia semakin menjadi feodal dan mengadopsi cara-cara kehidupan orang-orang Belanda yang dimasa kolonial hidup di Indonesia.

Dari berbagai kasus yang menimpa pengadilan setidaknya terdapat tiga kritik bagi lembaga peradilan kita. Pertama, adalah lemahnya moral dan profesionalisme. Kedua, adalah lemahnya budaya hukum masyarakat yang menyangkut persepsi masyarakat terhadap pola penegakkan hukum dan Ketiga, adalah lemahnya kemandirian dan kebebasan hakim (lemahnya sistem peradilan).

2.    Konflik Sosial Dari Aspek Penegakan Hukum.

Konflik yang dalam bahasa Indonesia acap kali disebut sebagai pertentangan atau perselisihan dapat terjadi pada hubungan yang bersifat individual yang terjadi sebagai akibat perilaku atau perebutan kepentingan masing-masing individu yang bersangkutan. Kepentingan itu bisa berkenaan dengan harta, kedudukan atau jabatan, kehormatan, dan lain sebagainya. Konflik sosial berarti pertentangan antara kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang diikat atas dasar suku, ras, gender, kelompok, status ekonomi, status sosial, bahasa, agama, dan keyakinan politik, dalam suatu interaksi sosial yang bersifat dinamis. Baik dalam masyarakat homogin maupun dalam masyarakat majemuk konflik sosial merupakan hal yang biasa terjadi, bahkan menjadi unsure dinamis yang melahirkan berbagai kreatifitas masyarakat. Konflik sosial mustahil dihilangkan sama sekali. Yang harus dicegah adalah konflik yang menjurus pada pengrusakan dan penghilangan salah satu pihak atau para pihak yang berkonflik. Oleh karena itu konflik harus dikendalikan, dikelola, dan diselesaikan melalui hukum. Yang berarti melalui jalan damai ( konsensus ) [21].

Konflik dapat bersifat laten dan dapat pula bersifat manifest. Konflik yang bersifat laten adalah pertentangan yang tertutup dan belum mencuat terbuka kepermukaan. Misalnya, kesenjangan dalam pengupahan antara pekerja perempuan dengan pekerja laki-laki dalam suatu perusahaan yang berlangsung secara diam-diam tertutup oleh dominasi budaya patrimonial pada suatu saat meledak dan menjadi konflik terbuka. Contoh lain misalnya dominasi posisi badan pemerintahan oleh etnis atau ras tertentu dapat mengundang kecemburuan dan kekecewaan etnis lain yang merupakan suatu konflik yang bersifat laten. Suatu konflik laten yang tidak segera diatasi pada ketikanya akan meletus menjadi perselisihan terbuka[22].

Konflik sosial dapat terjadi karena berbagai prasangka dan sebab. Seperti, prasangka-prasangka ras, suku, agama, keyakinan politik atau ideology, dan lain sebagainya, dan sebab adanya ketidak-adilan dalam akses pada sumberdaya ekonomi dan politik. Adanya ketidak-adilan akses pada sumberdaya ekonomi dan politik memperparah berbagai prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial. Sejarah Indonesia menunjukkan prasangka yang sudah ada di antara kelompok-kelompok sosial dipertajam dan diperparah oleh kebijakan negara. Misalnya kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang mengistimewakan golongan Eropa, dan Cina telah mempertajam prasangka rasial antara golongan Melayu ( pribumi ) dengan golongan Cina. Akses pada sumberdaya ekonomi dan politik yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada orang Cina terus menimbulkan konflik sosial dari abad ke 18 hingga hari ini.

Prasangka atas dasar perbedaan keyakinan politik di antara kelompok-kelompok sosial dipertajam dan diperparah pula oleh kebijakan negara. Misalnya, kebijakan negara yang mendiskriminasi orang-orang komunisatau Darul Islam telah memperparah prasangka yang sudah ada dan pada akhirnya melahirkan konflik antara negara dengan kelompok sosial tersebut. Dengan demikian kebijakan negara justeru menjadi sumber yang melahirkan konflik sosial[23].

Dalam negara hukum konflik baik itu yang bersifat individual atau sosial harus diselesaikan melalui jalan hukum. Itu berarti sebuah penolakan terhadap jalan kekerasan. Hukum berarti aturan main yang tidak hanya bersifat formal, tetapi lebih daripada itu ia mengandung nilai-nilai keadilan. Dalam negara demokrasi hukum itu hanya dapat memenuhi syarat legitimsasinya bila ia dibentuk melalui proses konsensus ( bisa bulat atau melalui suara terbanyak ) wakil-wakil rakyat di parlemen, dan kedua substansi hukum itu memenuhi tuntutan keadilan masyarakat. Hukum itu kemudian menjadi norma hukum obyektif yang menjadi dasar bagi tindakan negara. Ia mengatur hubungan antara negara dengan warga negara dan hu bungan antara badan-badan negara.

Hukum yang dibentuk melalui proses yang memenuhi syarat legitimasinya itu dijalankan oleh kekuasaan yudisial yang kompeten dan independen, dalam arti bebas dari berbagai pengaruh yang dapat menciderai kedaulatan (otonomi) hukum. Kekuasaan yudisial meliputi wewenang penyidikan oleh Polisi, wewenang penuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan Pengadilan oleh Hakim. Polisi, Jaksa, dan Hakim inilah merupakan sub-sistem yang membentuk sistem yudisial. Setiap sub-sistem yudisial akan menghadapikasus konkrit dan dituntut untuk menerapkan norma hukum yang abstrak itu dalam situasi konkrit. Disitu masing-masing sub-sistem akan menghadapi kasus nyata dimana dapat terjadi ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan keadilan hukum.

Dalam menghadapi situasi konkrit itu tidak ada kemutlakan. Yang berarti yang dituntut adalah keseimbangan yang terukur dan akuntable antara kepas$tian hukum dan keadilan hukum. Itu berarti keputusan yang diambil oleh tiap sub-sistem yudisial harus bernalar dan selalu dapat diuji dan dipertanggungjawabkan secara terbuka. Dengan cara pendekatan ini akan dapat dihindari praktek penegakan hukum yang sewenang-wenang dan kolutif seperti banyak kita saksikan di masa lalu maupun hari-hari ini. Bila hukum tidak adil dan proses penegakannya kolutif dan abuse sudah dapat dipastikan hukum akan gagal menjalankan fungsinya untuk menyelesaikan konflik dan mengintegrasikan para pihak yang bersengketa. Hukum dan penegakannya justeru menjadi sumber terjadinya konflik sosial. Sebuah tragedy yang tidak kita kehendaki[24].


D.  Penutup.

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat) apalagi bercirikan negara penjaga malam (nachtwachterstaat).  Sejak awal kemerdekaan, para bapak bangsa ini sudah menginginkan bahwa negara Indonesia harus dikelola berdasarkan hukum.

Ketika memilih bentuk negara hukum, otomatis keseluruhan penyelenggaraan negara ini harus sedapat mungkin berada dalam koridor hukum.  Semua harus diselenggarakan secara teratur (in order) dan setiap pelanggaran terhadapnya haruslah dikenakan sanksi yang sepadan.

Penegakkan hukum, dengan demikian,  adalah suatu kemestian dalam suatu negara hukum. Penegakan hukum adalah juga ukuran untuk kemajuan dan kesejahteraan suatu t negara.  Karena,  negara-negara maju di dunia biasanya ditandai,  tidak sekedar perekonomiannya maju,  namun juga penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) –nya berjalan baik.

Banyak pihak menyoroti penegakan hukum di Indonesia sebagai ‘jalan di tempat’ ataupun malah ‘tidak berjalan sama sekali.’  Pendapat ini mengemuka utamanya dalam fenomena pemberantasan korupsi dimana tercipta kesan bahwa penegak hukum cenderung ‘tebang pilih’, alias hanya memilih kasus-kasus kecil dengan ‘penjahat-penjahat kecil’  daripada buronan kelas kakap yang lama bertebaran di dalam dan luar negeri.

Pendapat tersebut bisa jadi benar kalau penegakan hukum dilihat dari sisi korupsi saja.   Namun sesungguhnya penegakan hukum bersifat luas. Istilah hukum sendiri sudah luas.  Hukum tidak semata-mata peraturan perundang-undangan namun juga bisa bersifat keputusan kepala adat. Hukum-pun bisa diartikan sebagai pedoman bersikap tindak ataupun sebagai petugas.

Dalam suatu penegakkan hukum, sesuai kerangka Friedmann, hukum harus diartikan sebagai suatu  isi hukum (content of law), tata laksana hukum (structure of law) dan budaya hukum (culture of law).  Sehingga,  penegakan hukum tidak saja dilakukan melalui perundang-undangan,  namun juga bagaimana memberdayakan aparat dan fasilitas hukum.  Juga,  yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana menciptakan budaya hukum masyarakat yang kondusif untuk penegakan hukum.

Masyarakatpun harus senantiasa mendapatkan penyadaran dan pembelajaran yang kontinyu. Maka,  program penyadaran, kampanye, pendidikan, apapun namanya, harus terus menerus digalakkan dengan metode yang partisipatif. Karena, adalah hak dari warganegara untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan yang tepat dan benar akan hal-hal yang penting dan berguna bagi kelangsungan hidupnya.

Akhirnya,  penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan kepastian hukum.  Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan (justice), kepastian hukum (certainty of law), dan kesebandingan hukum (equality before the law).  Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan penegakan hak asasi manusia. Penegakan hukum jangan dipertentangkan dengan penegakan hak azasi manusia.


Daftar Pustaka

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2008.

Anton Reihanhart, Masalah Hukum (Dari Kratalogi Sampai Kwitansi), Aksara Persada, Jakarta, 1985.

Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah, Jakarta, 1993.

Kapita selekta penegakan hukum di Indonesia  Cet 1, Prestasi Pustaka, 2006,

Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian (Editor), Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M., Penerbit Alumni Bandung, 1999.

R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pakar Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001.

Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009.

Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006.

Sunarmi, Membangun Sistem Peradilan Di Indonesia, e-USU Repository, Universitas Sumatera Utara, 2004.

Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

Zudan Arif Fakrullah, Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang Berkualitas, Artikel, Jurnal Keadilan, Vol 1 No. 3, September 2001. 

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum : Pemikiran Menuju Masyarakat, yang berkeadilan dan bermartabat, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2013.

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) :Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Vol. I, Kencana, Jakarta, 2009.

Abdul Hakim G Nusantara, Konflik Sosial Dari Aspek Penegakan Hukum (pdf), http://www.scribd.com/doc/23421927/AHGN-Konflik-Sosial-Dari-Aspek-Penegakan-Hukum,  Akses Internet tanggal 25 Januari 2014.

Eldo Denara, Carut Marut Penegakan Hukum di Indonesia, http://matahatifh.wordpress.com/2010/01/16/carut-marut-penegakan-hukum-di-indonesia-oleh-eldo-denara/, Akses Internet tanggal 25 Januari 2014.















[1] Kapita selekta,  penegakan hukum di Indonesia, Cet. I, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2006, hal. 133.

[2] Ibid., hal. 134.

[3]    Ibid., hal. 136-137.

[4]   Menurut Friedman, system hukum merupakan suatu system yang meliputi substansi, struktur,dan budaya. Dengan kata lain, system hukum secara cakupan materi kajian menyangkut legislasi (produk hukum), struktur dan budaya hukum. Lihat Friedman dalam Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta,2008, hal. 11.

[5]  Anton Reihanhart, Masalah Hukum (Dari Kratalogi Sampai Kwitansi), Aksara Persada, Jakarta, 1985, hal. 1.

[6]   Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 73.

[7]    Eldo Denara, Carut Marut Penegakan Hukum di Indonesia, http://matahatifh.wordpress.com, akses internet tanggal 19/04/2010 10:57.

[8]    Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, 2009, hal. Xiii.

[9]   Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2006, hal. 270

[10] Muladi dalam kata sambutan,penerbitan buku R.E. Barimbing, Catur Wangsa Yang Bebas dari Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Penerbit Pakar Pusat Kajian Reformasi, Jakarta, 2001, hal. v.  

[11] Donald Black Dalam Sunarmi, Membangun Sistem Peradilan Di Indonesia, e-USU Repository, Universitas Sumatera Utara, 2004, hal. 3.

[12] Lawrence Friedman, Dalam Sunarmi, Membangun Sistem Peradilan Di Indonesia, e-USU Repository, Universitas Sumatera Utara, 2004, Hal. 3.


[14]   Ibid., hal. 5.

[15]  Zudan Arif Fakrullah, Membangun Citra Hukum Melalui Putusan Hakim Yang Berkualitas, Vol. 1, No. 3, Artikel, Jurnal Keadilan, September 2001.  

[16]   RE Baringbing, Op Cit., hal. 125.  

[17]   Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, dalam Mochtar Kusumaatmaja : Pendidik &Negarawan (Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahum Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, SH. LL.M)., Editor Mieke Komar, Etty R. Agoes, Eddy Damian, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal. 238 – 245. 

[18]  Bagir Manan, Dasar-dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Makalah, Jakarta, 1993, hal. 2. 

[19] Ediwarman Dalam Sunarmi, Membangun Sistem Peradilan Di Indonesia, e-USU Repository, Universitas Sumatera Utara, 2004, Hlm.7.

[20]  Sunaryati Hartono, Reformasi Total untuk Mengatasi Krisis Ekonomi dan Krisis Total Yang Sedang Melanda Indonesia, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja, Op cit, hlm 274 – 275. 

[21] Abdul Hakim G Nusantara, Konflik Sosial Dari Aspek Penegakan Hukum (pdf), Akses Internet tanggal 30/06/2010 13:35  hal. 1.

[22]  Ibid., hal.  2.



[24] Ibid., hal.  2.