Kamis, 03 Juli 2014

Penegakan Hukum Dalam Kebebasan Hakim




PENEGAKAN HUKUM DALAM KEBEBASAN HAKIM
DI TINJAU DARI PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM
 Oleh: Budi Harman

A.     PENDAHULUAN.
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu Philosophia. Philo atau philein berarti cinta, Sophia berarti kebijaksanaan. Gabungan kedua kata dimaksud berarti cinta kebijaksanaan[1]. Filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Maka obyek filsafat hukum adalah hukum. Norma hukum diperlukan untuk melengkapi norma lain yang sudah ada sebab perlindungan yang diberikan norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibandingkan dengan norma-norma yang lain karena pelaksanaan norma hukum tersebut dapat dipaksakan.
Norma hukum juga terdapat dalam setiap profesi khususnya profesi dibindang hukum. Salah satu profesi hukum tersebut adalah hakim. Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Hakim biasanya mengenakan baju berwarna hitam. Kekuasaannya berbeda-beda di berbagai negara. Dalam pelaksanaannya hakim mempunyai hakekat kebebasan profesi.
Hakekat kebebasan hakim adalah jika seorang hakim dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dalam menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat serta bebas dari berbagai pengaruh dan berbagai kepentingan baik dari dalam maupun dari luar, termasuk kepentingan dirinya sendiri demi tegaknya hukum dan keadilan. Misi hukum yang diemban oleh hakim adalah hakim berada dalam ranah ideal (das sollen) dan ranah empirik (das sein). Adapun tugas hakim adalah menarik ranah ideal ke dalam ranah empirik seakan-akan hukum yang ada di dunia kenyataan dihimbau untuk mengikuti hukum yang ada di dunia ide sebagaimana yang dimaksudkan hukum alam[2].
Namun dalam kenyataannya dapat terjadi semacam jarak antara keadilan individual dan keadilan social dalam suatu putusan hakim. Jarak ini dapat diatasi atau dipersempit, apabila dalam sistem penegakan hukum dapat dengan cermat dikaitkan nilai sosial atau moral (filasafat hukum) terhadap kebebasan hakim dalam memutus perkara dari setiap masalah hukum yang akan ditegakkan. Dengan demikian dalam setiap keadilan individual akan terkandung keadilan sosial.

B.     TINJAUAN PUSTAKA
1.      Pengertian Filsafat Dan Filsafat Hukum.
Semenjak kita duduk di bangku pendidikan lanjutan serta Perguruan Tinggi kita sering mendengar tentang filsafat, apakah sebenarnya filsafat tersebut? Seseorang yang berfilsafat diumpamakan seorang yang berpijak dibumi sedang tengadah ke bintang-bintang, dia ingin mengetahui hakikat keberadaan dirinya, ia berfikir dengan sifat menyeluruh (tidak puas jika mengenal sesuatu hanya dari segi pandang yang semata-mata terlihat oleh indrawi saja). Ia juga berfikir dengan sifat (tidak lagi percaya begitu sajabahwa sesuatu itu benar). Ia juga berfikir dengan sifat spekulatif (dalam analisis maupun pembuktiannya dapat memisahkan spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak), dan tugas utama filsafat adalah menetapkan dasar-dasar yang dapat diandalkan[3].
Kemudian lebih mengerucut lagi adalah Filsafat hukum, yaitu ilmu yang mempelajari hukum secara filosofi, yang dikaji secara luas, mendalam sampai kepada inti atau dasarnya yang disebut dengan hakikat. Dan tujuan mempelajari filsafat hukum untuk memperluas cakrawala pandang sehingga dapat memahami dan mengkaji dengan kritis atas hukum dan diharapkan akan menumbuhkan sifat kritis sehingga mampu menilai dan menerapkan kaidah-kaidah hukum. Filsafat hukum ini berpengaruh terhadap pembentukan kaidah hukum sebagai hukum in abstracto.
Jika kita berbicara filsafat, kita seakan berada pada ranah yang sangat abstrak, dan filsafat hukum merupakan cabang dari filsafat, filsafat hukum mempunyai fungsi yang strategis dalam pembentukan hukum di Indonesia.
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi.
Pakar Filsafat kenamaan Plato (427 - 347 SM) mendefinisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli, Kemudian Aristoteles (382 - 322 SM) mengartikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu ; metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Secara Umum Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.
Kemudian berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum, Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum[4].
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat[5].
Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto menyebutkan sembilan arti hukum, yaitu :
1)      Ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
2)      Disiplin, yaitu suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
3)      Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan.
4)      Tata Hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis.
5)      Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer)
6)      Keputusan Penguasa, yakni hasil proses diskresi
7)      Proses Pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan
8)      Sikap tindak ajeg atau perilaku yang teratur, yakni perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan mencapai kedamaian9) Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk[6].
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritis artinya filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan sebagai hukum ; 1) Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum. 2) Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya.
Lebih jauh Prof. Dr. H. Muchsin, SH. dalam bukunya Ikhtisar Filsafat Hukum menjelaskan dengan cara membagi definisi filsafat dengan hukum secara tersendiri, filsafat diartikan sebagai upaya berpikir secara sungguh-sungguh untuk memahami segala sesuatu dan makna terdalam dari sesuatu itu kemudian hukum disimpulkan sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, berupa perintah dan larangan yang keberadaanya ditegakkan dengan sanksi yang tegas dan nyata dari pihak yang berwenang di sebuah negara[7].

2.      Penegakan Hukum.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau darui sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tatapi dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “Law enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law” Dalam istilah “ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah “ the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

3.      Penegakan Hukum Objektif.
Seperti disebut di muka, secara obyektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup Pengertian hukum formal dan hukum materiil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materiil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian pengertian “law enfocement” dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi “court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice”.
Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung didalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan bukti formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materiil. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang pidana maupun perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisikan penegakan keadilan itu sendiri, sehingga penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Setiap norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subyek hukum dalam lalu lintas hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan.
Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara pararel dan bersilang. Karena itu secara akademis, Hak Asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan da penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.
Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsi ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstiotusionalisme inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar pada hukum (Constitutional democracy).
Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri. Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Lagi pula, pakaha hak asasi manusia dapat ditegakkan?. Bukankah yang ditegakkan itu adalah aturan hukum dan konstitusi yang menjamin hak asasi manusia itu, dan bukannya hak asasi manusia itu sendiri?. Namun, dalam praktek sehari-hari, kita memang sudah salah kaprah. Kita sudah terbiasa menggunakan istilah penegakan “hak asasi manusia “. Masalahnya, kesadaran umum mengenai hak asasi manusia dan kesadaran untuk mengghormati hak-hak asasi orang lain di kalangan kita pun memang belum berkembang secara sehat.

4.      Aparatur Penegak Hukum.
Aparatur penegak hukum menncakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3 elemen penting yang mempengaruhi, yaitu: (i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja ytang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum di negra kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upata menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatr indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belummencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lai dengan tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang memerlukan perhatian yang seksama, yaitu: (i) pembuatan hukum (‘the legislation of law atau Law and rule making), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and promulgation of law) dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) administrasi hukum (the administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut diatas.
Dalam arti luas, The administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah sikembangkan dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-keputusan administrasi negara (beschikings), ataupun penetapan dan putusan (vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah-daerah. Jika sistem administrasinya tidak jelas, bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut dapat terbuka?. Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat taat pada aturan yang tidak diketahuinya?. Meskipun ada teori “fiktie” yang diakui sebagai doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidak tahuan masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosial dan pembudayaan hukum secara sistematis dan bersengaja.

C.     KEBEBASAN EKSISTENSIAL HAKIM DALAM MENEGAKKAN HUKUM DAN KEADILAN.
Secara etimologis makna bebas menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah:
a.   Lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu dan sebagainya, sehingga boleh bergerak, bercakap, berbuat dan sebagainya dengan leluasa).
b.   Lepas dari kewajiban, tuntutan, ketakutan, tidak dikenakan pajak, hukuman dan sebagainya, tidak terikat atau terbatas.
c.   Merdeka (tidak diperintah atau sangat dipengaruhi oleh negara lain)[8].
Arti pada huruf a dan b di atas bersifat umum dan dasariah, sedangkan arti merdeka sudah merupakan arti khusus.
Menurut Rifyal Ka’bah, Sifat merdeka menunjukkan kemandirian hakim dalam memutuskan perkara yang dihadapkan padanya tanpa campur tangan pihak lain, baik eksekutif maupun legislative atau lainnya, namun kemerdekaan hakim tidaklah bersifat mutlak, tetapi dibatasi oleh hukum yang berlaku[9]. disamping dipengaruhi oleh integritas dirinya dalam menetapkan apa yang adil dan tidak adil, hakim harus memutus sesuai dengan apa yang dipandang adil oleh hukum.
Menurut Arbijoto, kebebasan eksistensial bukan berarti lepas dari segala kewajiban atau kekhawatiran dan tangung jawab, melainkan kebebasan sebagai makna eksistensinya selaku manusia, kemandirianya selaku manusia. Sedangkan kebebasan hakim dalam kapasitasnya sebagai makhluk individu mempunyai kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensinya sebagai manusia[10]. Adanya paksaan, ikatan, beban adalah merupakan alienasi yang menekan manusia sedemikian rupa sehingga menghalang-alangi pelaksanaan dirinya sebagai manusia yang utuh dan mandiri[11].
Manusia sebagai makhluk individu mempunyai kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensinya. Jika dikatakan bahwa setiap manusia menginginkan kebebasan bagi dirinya sendiri, maka yang dimaksudkan dengan pernyataan ini bukanlah kebebasan dalam arti “lepas dari segala kewajiban atau kekhawatiran dari tangung jawab” melainkan kebebasan sebagai makna eksistensinya selaku manusia, kemandiriannya selaku manusia.
Kebebasan sebagai arah dan tujuan hidup selaku manusia, adalah kebebasan yang sifatnya sedemikian rupa sehingga orangnya bebas dari aneka ragam alienasi yang menekannya dan bebas pula untuk kehidupan yang utuh, tidak tercela, berdikari dan kreatif, dalam arti kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensi manusia. Menurut pemikiran Albert Camus, memilih kebebasan bukanlah memilih sesuatu melawan keadilan. Sebaliknya kebebasan dipilih karena adanya orang-orang yang menderita dan berjuang untuk memperoleh keadilan[12]. Memisahkan kebebasan dari keadilan adalah dosa social. Kebebasan harus diisi dengan mendahulukan kewajiban daripada hak dan selanjutnya digunakan untuk mengabdi pada keadilan.
Manusia sebagai makhluk otonom bicara kebebasan adalah menyangkut martabat manusia itu sendiri, itulah sebabnya setiap pemaksaan yang kita rasakan tidak hanya menyakitkan melainkan pula merupakan penghinaan, oleh karenanya pemaksaan berarti pengabaian martabat manusia. Pada masa tatanan lama, hakim dalam menjalankan profesinya tidak dapat dikatakan bebas. Hal ini nyata-nyata termaktub dalam Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1964 yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk dalam beberapa hal dapat turun atau campurtangan dalam soa-soal pengadilan. Hal ini oleh para hakim dirasakan adanya pembatasan kebebasan. Sehingga dalam MUNAS Luar Biasa bulan November 1966 terjadi konsesus bahwa sesuai dengan azas legalitas dalam suatu negara hukum, maka legitimasi dari kebebasan hakim dalam menjalankan profesinya tidak dapat diamendir dengan alasan apapun[13].
Jadi yang dimaksud kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Kemampuan itu bersumber pada kemampuan dirinya untuk menentukan tindakannya sendiri. Kemampuan itu bersumber pada kemampuan dirinya untuk berfikir dan berkehendak dan kemudian diimplementasikan dalam tindakannya. Tindakan itu bukan sesuatu di luar dirinya, tindakan itu adalah dengan dirinya sendiri. Pengingkaran terhadap kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya akan menafikan eksistensi hakim sebagai manusia dan ketaatan hakim pada ketentuan perundang-undangan, yang demikian itu akan meniadakan dirinya sendiri.
Kebebasan itu disebut eksistensial karena merupakan ssuatu yang menyatu dengan manusia, artinya termasuk eksistensinya sebagai manusia. Kebebasan itu termasuk kemanusiaan kita, karena kebebasan itu merupakan eksistensi kita, kita biasanya tidak sadar bahwa kita memilikinya, kita baru menyadari kebebasan kita apabila ada yang membatasinya.
Menurut Yahya Harahap, kebebasan hakim jangan diartikan kebebasan yang tanpa batas dengan menonjolkan sikap arrogance of power dengan memperalat kebebasan untuk menghalalkan segala cara, namun kebebasan tersebut relative dengan acuan :
a.   Menerapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya, sesuai dengan asas dan statute law must prevail (ketentuan undang-undang harus diunggulkan);
b.   Menafsirkan hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan (penafsiran sistematik, sosiologis, bahasa, analogis dan acontrario) atau mengutamakan keadilan daripada peraturan perundang-undangan, apabila ketentuan undang-undang tidak potensial melindungi kepentingan umum. Penerapan yang demikian sesuai dengan doktrin equity must prevail (keadilan harus diunggulkan);
c.   Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (rechts vinding), dasar-dasar dan asas-asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis (hukum adat), yurisprudensi maupun melalui pendekatan “realisme” yakni mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama, kepatutan dan kelaziman[14].
Dalam batas-batas tersebut di atas jangkauan kebebasan hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman menyelesaikan sengketa perkara yang diperiksa. Bebas menerapkan hukum yang bersmber dari peraturan perundang-undangan yang “berlaku”, asal peraturan dan perundang-undangan yang bersangkutan tepat dan benar untuk diperlakukan terhadap kasus perkara yang diperiksa.
Demikian pula kebebasan dalam menafsirkan hukum tidak dibenarkan menafsirkan hukum diluar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kebebasan penafsiran yang dibenarkan harus melalui “pendekatan disiplin” yang diakui keabsahannya oleh teori dan praktek seperti pendekatan sistemik atau sosiologis, hakim juga diperbolehkan menggunakan pendekatan penasiran analogis dan a contrario dalam doktrin hukum Islam disamakan dengan qiyas dan istihsan.
Pendek kata, kebebasan hakim dalam melaksanakan kewajiban profesinya bukanlah bebas semau gue namun dibatasi oleh aturan dan norma, sedangkan kebebasan hakim dalam kapasitasnya sebagai makhluk individu mempunyai kebebasan sebagai kesempurnaan eksistensinya sebagai manusia. Adanya paksaan, ikatan, beban adalah merupakan alienasi yang meekan manusia sedemikian rupa sehingga menghalang-halangi pelaksanaan dirinya sebagai manusia yang untuh dan mandiri. Maksud kebebasan disini adalah secara negative tidak adanya paksaan. Konkritnya sebagai tidak adanya keniscayaan dalam arti determinasi, dan secara positif adanya otonomi.

D.    KESIMPULAN.
Kebebasan eksistensial menyatu dengan diri manusia, artinya include eksistensinya sebagai individu. Kebebasan itu termasuk kemanusiaan kita, pengingkaran terhadap kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya berarti menafikan eksistensi hakim sebagai manusia dan ketaatan hakim pada ketetuan perundang-undangan yang demikian itu adalah meniadakan eksistensisi dirinya sendiri. Atribut kebebasan hakim jangan digunakan semau gue karena sikap tersebut adalah bentuk arrogance of power dan pengalpaan eksistensi hakim disamping sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk Tuhan yang diberi amanah sebagai wakil Tuhan di bumi.
Hendaknya setiap ptusan hakim selalu merefleksikan integritas moral yang dilandasi oleh prinsip-prinsip keutamaan moral dan teologal, sehingga keadilan yang diperoleh bukan keadilan yang absurd namun keadilan sesuai dengan yang dirasakan masyarakat luas. Seorang hakim tidak boleh termotivasi sifat hedonisme berlebihan, namun termotivasi melaksanakan cita-cita luhur, yang pada hakekatnya berupa pelayanan pada para pencari keadilan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan etika profesinya.





DAFTAR PUSTAKA.

Sumber Bacaan Buku
Albert Camus, Krisis Kebebasan (Terjemahan Edhi Martono), Yayasan Obor, Jakarta, 1988
Arbijoto, Kebebasan Hakim (refleksi Terhadap Manusia Sebagai Homo Relegiosus), Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2000.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), Cet V, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet.XVI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 2003.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006.
M. Yahya Harahap, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Al-Hikmah, Jakarta, 1994.
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
Rifyal Ka’bah, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Khairul Bayan, Jakarta, 2004.
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984.
Sumber/Bahan Bacaan Internet
Huda Lukoni, SHI.SH, Filsafat Hukum Dan Peranannya Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia,http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/FilsafatHukumdanPerannyadalamPembentukanHukumdiIndonesia.pdf Diakses Tanggal 20 Januari 2014

Suhartono, S.Ag., SH., MH., Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara (Pdf), http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANAHUKUISLAM/Perspektiffilsafathukum.pdf Diakses Tanggal 20 Januari 2014






[1] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 1.
[2] Suhartono, S.Ag., SH., MH., Kebebasan Hakim Dalam Memutus Perkara (Pdf), http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/WACANAHUKUISLAM/Perspektiffilsafathukum.pdf  Diakses Tanggal 20 Januari 2014
[3]  Jujun S. Suriasumantri,  Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Cet. XVI, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003.
[4] Huda Lukoni, SHI.SH, Filsafat Hukum Dan Peranannya Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia, http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/FilsafatHukumdanPerannyadalamPembentukanHukumdiIndonesia.pdf Diakses Tanggal 20 Januari 2014
[5]  Darji Darmodiharjo. dan Shidarta, 2006, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet V, hal. 11.
[6]  Huda Lukoni, SHI.SH, Ibid.
[7]  Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2006, hal.24.
[8]  W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1984).
[9]  Rifyal Ka’bah, 2004, Penegakan Syariat Islam di Indonesia, Jakarta: Khairul Bayan.
[10] Arbijoto, 2000, Kebebasan Hakim (refleksi Terhadap Manusia Sebagai Homo Relegiosus), Jakarta: Mahkamah Agung RI, hal. 95.
[11] M. Yahya Harahap, 1994, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan Agama, Jakarta: Al-Hikmah, hal. 28.
[12]  Albert Camus, 1988, Krisis Kebebasan (Terjemahan Edhi Martono), Jakarta: Yayasan Obor, hal.75.
[13] Arbijoto, Op. Cit., hal. 113.
[14]  M. Yahya Harahap, SH., 2005, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 60-61.

Rabu, 02 Juli 2014

Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan Dengan Prinsip Mudharabah Dalam Hukum Islam


PELAKSANAAN PERJANJIAN PEMBIAYAAN DENGAN PRINSIP MUDHARABAH DALAM HUKUM ISLAM
Oleh : Budi Harman


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Perekonomian yang berbasis pada nilai-nilai dan prinsip Syariah sudah cukup lama dinantikan ummat Islam di Indonesia maupun dari belahan dunia lainnya. Penerapan nilai-nilai dan prinsip Syariah dalam segala aspek kehidupan dan dalam aktivitas transaksi antar ummat didasarkan pada aturan-aturan Syariah sudah cukup lama diperjuangkan dan diharapkan eksis dalam pembangunan ekonomi. Keinginan ini didasari oleh suatu kesadaran untuk menerapkan Islam secara utuh dan total dalam segala aspek kehidupan, sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat (208) yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya (kaffah). Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan, sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Ayat tersebut dengan tegas mengingatkan bahwa selama Islam diterapkan secara parsial, maka ummat Islam akan mengalami keterpurukan duniawi dan kerugian ukhrawi. Hal ini sangat jelas, sebab selama Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata, hanya di ingat pada saat kelahiran bayi, ijab qabul pernikahan, serta penguburan mayat, sementara di marginalkan dari dunia politik ekonomi, perbankan, asuransi, pasar modal, pembiayaan proyek, dan transaksi ekspor-impor, maka ummat Islam telah mengubur Islam dalam-dalam dengan tangannya sendiri.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 menjadi suatu sarana yang sangat strategis dan menggembirakan bagi para entrepreniur terutama pengusaha muslim dalam meneruskan produksi usahanya. Hal ini disebabkan kemampuan dari lembaga perbankan syariah yang berorientasi kepada sistem bagi hasil dapat memberikan keuntungan ke setiap pengelola uang, tidak hanya kepada bank sebagai kreditor yang telah memberikan pinjaman tetapi juga kepada nasabah/mudharib sebagai peminjam modal dalam mengembangkan usaha mereka.
Dari sudut pandang kepentingan ekonomi, pembiayaan perbankan syariah yang menggunakan sistem mudharabah (profit sharing) dalam memperlancar roda perekonomian ummat dianggap mampu menekan terjadinya inflasi karena tidak adanya ketetapan bunga yang harus dibayarkan ke bank,[1] juga dapat merubah haluan kaum muslimin dalam setiap transaksi perdagangan dan keuangan yang sejalan dengan ajaran syariah Islam.
Dari kenyataan ini pelaksanaan sistem ekonomi Islam dan praktek perbankan non bunga menjadi alternatif yang baik, di samping merupakan suatu keharusan dan kewajiban dalam menjalankan anjuran agama, apalagi dengan disahkannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah dan Undang-Undang No.10 Tahun 1998 sebagai Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang tersebut telah mengatur semua kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah.
Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.[2]
Sedangkan Pembiayaan merupakan penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istisna’, transaksi pinjam-meminjam dalam bentuk piutang qardh dan transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank syariah dan /atau unit usaha syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan /atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.[3]
Pembiayaan mudharabah secara tidak langsung adalah bentuk penolakan terhadap sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional dalam mencari keuntungan. Karena itu pelarangan bunga ditinjau dari ajaran Islam merupakan perbuatan riba yang diharamkan dalam Al-qur’an, sebab larangan riba tersebut bukanlah meringankan beban orang yang dibantu dalam hal ini nasabah/mudharib tetapi merupakan tindakan yang memperalat dan memakan harta orang lain tanpa melalui jerih payah dan berisiko serta kemudahan yang diperoleh orang kaya di atas kesedihan orang miskin. [4]

B.     Rumusan Masalah.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
Bagaimana Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan dengan prinsip Mudharabah dalam Hukum Islam.

 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.     Perjanjian Dalam Hukum Islam.
Islam merupakan agama yang bersifat rahmatan lil alamin artinya agama yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ajaran Islam telah membuat pengaturan yang komperehensif dan universal sehingga kehidupan manusia senantiasa saling menjaga hubungan baik antara satu individu dengan individu lainnya dan juga menjaga hubungan yang bersifat transendental spiritual dengan Sang Khaliq yakni Allah SWT.
Hubungan vertikal kepada Allah SWT bisa terwujud dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya, di sisi lain manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lainnya dalam bentuk muamalah baik di bidang harta kekayaan maupun hubungan kekeluargaan, hubungan sesama manusia khususnya di bidang harta kekayaan biasanya dapat diwujudkan dalam bentuk perjanjian atau akad.[5]
Dalam Al-Qur’an ada terdapat dua (2) istilah yang menyangkut dengan perjanjian, yaitu kalimat al-aqdu (akad) dan al-‘ahdu (janji). Al-Qur’an mamakai kalimat pertama dalam arti perikatan atau perjanjian, sedangkan kalimat yang kedua dalam Al-Qur’an berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian. [6]
Dalam Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang memuat adanya hal dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip syariah.[7]
Dalam pandangan ulama syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah, akad merupakan segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual beli dan gadai. [8]
Dari definisi Akad sebagaimana tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa perjanjian atau akad adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri satu sama lainnya, dengan diwujudkan dalam ijab dan qabul yang objeknya sesuai dengan syariah, dengan pengertian lain bahwa perjanjian tersebut berlandaskan keridhoan atau kerelaan secara timbal balik dari kedua belah pihak terhadap objek yang diperjanjikan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dengan demikian akad atau perjanjian akan menimbulkan kewajiban prestasi pada satu pihak dan hak bagi pihak lain atas prestasi tersebut.

B.       Unsur-Unsur Perjanjian (Akad) Dalam Hukum Islam.
Merujuk kepada definisi perjanjian atau akad sebagaimana dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi rukun dan syarat dari suatu perjanjian atau akad tersebut. rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan, sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk semua hal, peristiwa dan tindakan yang dimaksud. Maka rukun dalam perjanjian atau akad adalah ijab dan qabul sedangkan syarat yang harus ada dalam rukun bisa menyangkut subjek atau objek dari suatu perjanjian dimaksud.
Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam perjanjian atau akad adalah sebagai berikut :
1.      Pernyataan Untuk Mengikatkan Diri.
Ijab adalah suatu pernyataan kehendak oleh satu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qabil). Dengan demikian ijab dan qabul harus ada dalam melaksanakan suatu perjanjian atau akad yaitu berupapernyataan dari pihak-pihak untuk mengikatkan diri terhadap perjanjian yang dibuat tersebut.
2.      Pihak-pihak yang berjanji (berakad).
Pihak yang berjanji atau berakad diharuskan sama-sama mempunyai kecakapan hukum dalam tindakan hukum. Dalam istilah fiqhnya harus Mukallaf dengan arti lain orang yang hendak melakukan perjanjian tersebut sudah dewasa menurut ketentuan hukum yang berlaku. Kemudian diharuskan juga yang berakad itu sehat akalnya artinya tidak sedang mengalami gangguan jiwa atau gila, maka pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna, sebab telah mampu untuk bersikap dan bertindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol usaha bisnisnya dengan bijaksana.
3.      Objek Perjanjian (Akad).
Objek akad atau perjanjian adalah sesuatu atau benda-benda yang dijadikan akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang di timbulkan. Bentuk objek akad tersebut dapat berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud seumpama manfaatnya.[9]

C.       Pengaturan Perjanjian Mudharabah Dalam Islam
Untuk perjanjian bagi hasil mudharabah telah dikenal oleh ummat Islam sejak jaman Nabi Muhammad S.A.W. sewaktu Rasulullah berprofesi sebagai pedagang, Rasulullah telah melakukan perjanjian atau akad mudharabah dengan Siti Khadijah yang kemudian hari Siti Khadijah menjadi istri Rasulullah yang pertama.
Dalam prakteknya perjanjian mudharabah antara Khadijah dengan Nabi Muhammad S.A.W. saat itu Khadijah telah mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh Nabi keluar negeri,[10] dari sejarah tersebut dapat dipahami bahwa Khadijah adalah pemilik modal 100 % dan Nabi berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib) yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian atau akad mudharabah merupakan persetujuan perkongsian antara harta dari salah satu pihak dengan kerja atau pengelola usaha dari pihak lain.
Dalam kitab suci Al-Qur’an ummat Islam dianjurkan untuk mencari harta di seluruh penjuru bumi dengan cara yang benar dan halal, sebagaimana dinyatakan dalam surah Al-muzammil ayat (20) yang artinya sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebahagian karunia Allah SWT
Pada surah Jum’ah ayat (10) juga dinyatakan sebagai berikut :
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi ini dan carilah karunia Allah SWT.”
Serta dalam surah Al-Baqarah ayat (198) disebutkan:
“Tidak ada dosa bagi kamu untuk mencari (rezeki hasil perniagaan) Tuhanmu.”
Di antara sunnah Nabi yang berkaitan dengan perjanjian mudharabah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Majah bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda : Tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual beli yang ditangguhkan, melakukan muqharadah (nama lain dari Mudharabah), mencampurkan gandum dengan tepung untuk keperluan keluarga atau rumah tangga bukan untuk dijual.[11]
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, sebagai berikut : Bahwasanya Sayyidina Abbas jikalau memberikan dana kemitra usahanya secara mudharabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak yang berparu-paru basah, jika menyalahi peraturan tersebut yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut, disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah S.A.W dan Rasulullah pun membolehkannya[12]
Perjanjian pembiayaan mudharabah juga di dasari dari keputusan MUI melalui Fatwa Dewan Syariah No.07/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan mudharabah. Di jadikannya fatwa MUI ini sebagai salah satu landasan dalam pembiayaan mudharabah adalah di sebabkan sebuah hadist Nabi Muhammad S.AW yang artinya sebagai berikut :
“Ulama itu adalah pewaris para nabi-nabi” [13]
Dengan di sahkannya Undang-Undang Nomor. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang mengatur tentang pembiayaan mudharabah di perbankan syariah,[14]landasan bagi mudharib serta sahibul maal dalam melakukan perjanjian pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (mudharabah) telah semakin memiliki landasan hukum, hal ini merupakan era baru bagi usaha perbankan syariah di Indonesia.
  
 BAB III
PEMBAHASAN

A.       Pengertian Pembiayaan Mudharabah.
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang artinya memukul atau berjalan, pengertian memukul atau berjalan lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya.[15]
Sedangkan mudharabah secara umum yang terdapat dalam kitab fiqhiyah dan perbankan syariah yaitu sistem pendanaan operasional realitas bisnis, 95[16] dimana baik sebagai pemilik modal biasanya disebut shahibul maal dengan menyediakan modal 100 % kepada pengusaha sebagai pengelola disebut sebagai mudharib untuk melakukan aktivitas produktif dengan syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan yang disebutkan dalam akad mereka.[17]
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan lembaga keuangan syariah kepada pihak lain untuk usaha yang produktif. Pembiayaan mudharabah yang disalurkan oleh bank syariah kepada nasabah/mudharib, terutama pengusaha kecil diharapkan akan mampu meningkatkan dan membesarkan usaha mereka sehingga manfaat yang diperoleh dari pembiayaan mudharabah dapat dirasakan oleh kedua belah pihak, baik pihak bank syariah maupun para pengusaha tersebut.

B.       Jenis-Jenis Pembiayaan Mudharabah.
Secara umum pembiayaan mudharabah dibagi kepada dua jenis, yaitu :
1.       Pembiayaan mudharabah mutlhaqah (General investment)
Pembiayaan secara mudharabah muthlaqah adalah suatu pembiayaan dalam bentuk kerja sama antara shahibul maal dalam hal ini bank syariah dengan mudharib atau nasabah yang cakupannya amat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis, kalau dalam pemabahasan ulama fiqh salafussaleh seringkali menyebutnya dengan contoh “if al ma syi’ta” artinya lakukan sesukamu.[18]
Pada pembiayaan mudharabah mutlaqah ini pihak bank syariah tidak menentukan bentuk usaha, waktu dan daerah bisnis mudharibnya. Hal ini diserahkan sepenuhya kepada pelaku usaha untuk menjalankan bisnisnya sehingga boleh dikatakan dana yang diberikan oleh bank syariah tersebut dapat dikelola oleh mudharib tanpa campur tangan pihak bank. Maka jenis usaha yang akan dijalankan secara mutlak diputuskan oleh mudharib yang dianggap sesuai, sehingga tidak terikat dan terbatas, tetapi ada satu hal yang tidak boleh dilakukan mudharib tanpa seijin bank syariah yaitu nasabah atau mudharib tidak boleh meminjamkan modalnya atau memudharabahkannya lagi kepada pihak lain.[19]
2.       Pembiayaan mudharabah muqayyadah
Pembiayaan mudharabah muqayyadah disebut juga dengan istilah retrected mudharabah / specifed mudharabah, yaitu kebalikan dari pembiayaan mudharabah mutlaqah, dalam pembiayaan ini mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, tempat usaha.[20] Adanya pembatasan ini sering kali mencerminkan kecenderungan shahibul maal dalam memasuki dunia usaha mudharib.

C.       Penerima Pembiayaan Mudharabah.
Berdasarkan prinsip mudharabah bank syariah harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana tersebut, sehingga langkah-langkah dalam proses penyaluran pembiayaan mudharabah ini sesuai dengan karakter dan standart dalam penyaluran dana. Sebelum memberikan pembiayaan pihak bank syariah melakukan penilaian terlebih dahulu terhadap calon mudharib atau nasabah/mudharib yang mengajukan permohonan pembiayaan. Hal ini dilakukan agar pembiayaan yang diberikan selalu memperhatikan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1.      Keamanan pembiayaan (safety) yaitu harus benar diyakini bahwa pembiayaan tersebut dapat dilunasi kembali.
2.      Terarahnya tujuan pembiayaan, yaitu bahwa pembiayaan akan digunakan untuk tujuan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
3.      Menguntungkan, baik untuk bank sendiri maupun kepada mudahrib atau nasabah/mudharib dengan semakin berkembangnya usaha mereka.[21]
Awal dari proses pemberian pembiayaan pada bank adalah ketika para calon nasabah/mudharib telah mengajukan terlebih dahulu permohonan pembiayaan kepada bank syariah. Pada prinsipnya permohonan pembiayaan ini berfungsi sebagai bukti adanya permohonan dari perorangan atau badan usaha kepada bank dengan catatan bahwa permohonan tersebut menyertakan lampiran-lampiran sebagai informasi dalam evaluasi dari pemberian pembiayaan.

D.      Jaminan Dalam Pembiayaan Mudharabah.
Jaminan pembiayaan mudharabah merupakan tuntutan kepada mudharib untuk mengembalikan modal shahibul maal dalam keadaan semula baik untung maupun rugi.[22]
Pihak bank syariah mengambil banyak langkah atau cara untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan dan keuntungan yang diharapkan dari modal tersebut dapat diperoleh sebagaimana yang telah tercantum dalam kontrak.
Keadaan ini biasanya diwujudkan melalui jaminan baik dari mudharib sendiri maupun ada dari pihak ketiga yang menjaminkannya, walaupun sebenarnya dalam fiqh Islam tidak dituntut untuk meminta jaminan kepada nasabah/mudharib, akan tetapi bank-bank syariah pada umumnya meminta berupa bentuk jaminan, hal ini dilakukan pihak bank syariah untuk menegaskan jaminan tersebut ada hanya untuk memastikan kembalinya modal, sebab dana yang diberikan kepada nasabah/mudharib itu adalah pada umumnya dana yang dihimpun dari masyarakat luas.
Adanya jaminan atau penjamin dari nasabah/mudharib kepada pihak bank syariah bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko-risiko seperti nasabah/mudharib tidak mempergunakan dana yang diberikan sebagaimana mestinya atau hanya memberikan keuntungan pembiayaan tersebut kepada dirinya pribadi saja atau yang dikenal dengan Moral Hazard.
Maka bank syariah dapat menerapkan sejumlah batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada nasabah/mudharib antara lain:

1.  Menetapkan syarat agar jumlah atau nilai jaminannya lebih besar dari modal yang dipinjam oleh nasabah/mudharib.
2.      Menetapkan syarat agar nasabah/mudharib melakukan bisnis yang risikonya lebih rendah.
3.      Menetapkan syarat agar nasabah/mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan.
4. Menetapkan syarat agar nasabah/mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah[23]
Terhadap keadaan nasabah/mudharib tertentu dan pihak bank telah memiliki keyakinan yang cukup terhadap kemampuannya maka bank dapat menerima jaminan tambahan yang diberikan oleh nasabah/mudharib berupa proyek yang dibiayai dari pembiayaan yang diberikan bank tersebut, juga dengan hak tagih dari nasabah/mudharib yang timbul dalam usahanya tersebut. Untuk lebih menjamin pengembalian dana yang diberikan pihak bank kepada nasabah/mudharib, pihak bank dapat menyarankan kepada nasabah/mudharib supaya untuk memasukkan proyek pembiayaan atau usaha yang dikelola nasabah/mudharib tersebut ke asuransi seperti syariah Takaful, hal ini berguna untuk menjamin ketika sewaktu-waktu nasabah/mudharib mengalami musibah maka fihak asuransi akan melunasi hutangnya, dengan kata lain tagihan hutang dari nasabah/mudharib tersebut akan beralih kepada pihak asuransi.

 BAB IV
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pelaksanaan perjanjian pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (Al-Mudharabah) adalah sebagai berikut:
a.    Mudharabah merupakan perjanjian atas suatu jenis perkongsian di mana pihak pertama (Shahibul maal) menyediakan dana dan pihak kedua (Nasabah/ Mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Dimana landasan perjanjian pembiayaan mudharabah berdasarkan kitab suci Al-Qur’an, Al-Hadist, Dewan Fatwa Syari’ah Nasional MUI, Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Peraturan Bank Indonesia.
b.   Dalam Pembiayaan mudharabah muthlaqah memberikan fasilitas dan otoritas serta hak sepenuhnya kepada mudharib atau nasabah/mudharib untuk melakukan usaha dan mengelola dana yang diperoleh dari pembiayaan mudharabah ini sesuai dengan yang diinginkannya dan hal tersebut akan disebutkan dalam perjanjian atau akad/ kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak.
c.  Dalam pembiayaan Mudharabah Muqayyadah, dimana Bank sebagai wakil Shahibul Maal menentukan pembatasan atau memberikan syarat kepada nasabah selaku Mudharib dalam mengelola dana seperti untuk melakukan Mudharabah bidang tertentu, cara, waktu dan tempat tertentu saja.
d.    Pelaksanaan perjanjian pembiayaan penyaluran dana berdasarkan prinsip bagi hasil dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi
e.    Pembiayaan Mudharabah dilakukan tanpa perlu adanya penyerahan jaminan oleh nasabah, namun dalam prakteknya untuk menghindari terjadinya penyimpangan oleh pengelola usaha/nasabah dan untuk mengurangi resiko, pihak Bank akan meminta jaminan dari nasabah bahwa ia sanggup mengembalikan pembiayan Mudharabah tertentu sesuai dengan yang telah diperjanjikan.

B.       Saran
1.  Pihak-pihak yang terkait dalam masalah perbankan khususnya Bank berdasarkan syariah lebih mensosialisasikan keberadaan Bank Syariah kepada masyarakat, terutama terhadap persepsi sebagian masyarakat yang pro dan kontra terhadap halal dan haramnya riba atau bunga Bank serta terhadap keunggulan konsep perbankan syariah yang berdasarkan prinsip kemitraan.
2.   Peran pihak Bank Syariah dalam memberdayakan pengusaha kecil/golongan ekonomi lemah digiatkan terutama dalam penyediaan pembiayaan/modal serta persyaratan jaminan dipermudah, namun tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, guna menghindarkan risiko kerugian bagi pihak

  DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, PT. Sari Agung, Jakarta, 2005.
Abdul Ghofur Ansory, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia,  Citra Media, Yogyakarta, 2006. 
Adiwarman A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. 
          Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2002. 
           Ascaya Diana Yunita, Bank Syari’ah: Gambaran Umum, PPSK BI, Jakarta, 2005. 
Ascary, Akad dan Produk Bank Syari’ah, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 2007.
Fachruddin, Analisa Pelaksanaan Perjanjian Pembiayaan dengan Prinsip Mudharabah Pada PT. Bank Syariah Mandiri Cabang Medan, Tesis, PPS USU, Medan 2008.
Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006.
           Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001.
Rachmat Syafi’i, fiqh Muamalah, Pustaka setia, Bandung, 2004. 
Yusuf Qordhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Perss, Jakarta, 1997.
Undang-Undang No.21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah



[1] Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2002, hal. 123. 
[2] Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 
[3] Pasal 1 Angka 25 Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[4] Yusuf Qordhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani Perss, Jakarta, 1997,hal. 184. 
[5] Abdul Ghofur Ansory, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam Di Indonesia, Citra Media, Yogyakarta, 2006, hal.1. 
[6] Ibid., hal. 19. 
[7] Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 
[8] Rachmat Syafi’i, fiqh Muamalah, Pustaka setia, Bandung, 2004, hal. 44. 
[9] Gemala Dewi,dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 60.
[10] Adiwarman, A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.123. 
[11] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hal.75.
[12] Ibid, hal. 74.
[13] Ibid, hlm.3 
[14] Pasal 1 ayat (25) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 
[15] Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, Op Cit., hal. 65. 
[16] Ibid, hlm.114 
[17] Ascaya Diana Yunita, Bank Syari’ah: Gambaran Umum PPSK BI, Jakarta, 2005,  hal.21. 
[18]  Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Wacana Ulama Dan Cendekiawan, Tazkia Islami dan BI, Jakarta, 1999, hal.173. 
[19]  Ascary, Akad dan Produk Bank Syari’ah, PT.Raja Grafindo, Jakarta, 2007, Hal..65. 
[20] Antonio, Muhammad Syafi’i, Op., Cit., hal. 173. 
[21] Ascary,,Op.,Cit., hal. 69 
[22] Adiwarman,A.Karim, ,Op., Cit., hal. 216. 
[23] Adiwarman,A.Karim, ,Op., Cit, hal. 214.